
Jila Ngere Nenu Sina (Bahasa Lio: Ungkapan untuk hidup yang harmonis, bersih, dan benar)
Ungkapan Jila Ngere Nenu sina, merupakan suatu ungkapan yang ditujukan kepada segenap warga masyarakat Lio di mana pun mereka berada. Ungkapan ini menjadi dasar hidup yang ideal yang menjadi kaidah etis komunitas tradisional Lio yang tertera dalam adat-istiadatnya. Ungkapan Jila Ngere Nenu sina biasanya dilakukan pada saat upacara adat. Baik upacara pernikahan maupun upacara pelepasan salah satu anggota masyarakat ketika ia hendak pergi mencari nafkah di tempat lain atau di tanah rantau.
Ungkapan ini biasanya dilakukan oleh seorang kepala suku setempat yang dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat. Maksud dari ungkapan ini adalah agar setiap anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang harmonis, bersih dan benar. Kebiasaan-kebiasaan serta ketentuan-ketentuan yang terungkapkan dalam tata laku serta ujar-ujar para pengetua dan orang tua-tua, adalah demi keselamatan serta kerukunan warga masyarakatnya (Ozias, 1990:272). Orang Lio dalam menjalani hidup sehari-hari sama sekali tidak menghendaki suatu kehidupan yang tidak damai. Bagi mereka ketentraman dan keharmonisan adalah nomor satu dalam kehidupan warga masyarakatnya.
Bagi masyarakat Lio, pergaulan antar sesama maupun dengan alam dan dengan suatu Realitas Tertinggi bukan suatu larangan melainkan suatu keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dibiarkan bebas untuk bertemu dan saling bercakap-cakap antara satu dengan yang lainnya. Mereka sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesusilaan (bdk, Depdikbud 1977:93).
Jila Ngere Nenu sina adalah ungkapan yang menghendaki adanya suatu kehidupan yang harmonis, bersih dan benar. Kerinduan ini hanya dapat dicapai, apabila setiap insan berusaha menyesuaikan dirinya dengan masyarakat, alam, dunia, nenek moyang, dan dengan Yang Tertinggi. Ini adalah suatu tuntutan adat. Hanya dengan mentaatinya, orang akan hidup bahagia. Ungkapan ini juga ditujukan kepada para warga Lio yang berpergian jauh ke luar daerahnya, atau orang yang datang ke daerah Lio. Mereka diharapkan dapat menyesuaikan dirinya dengan adat setempat, supaya antara mereka dengan kosmos tetap terpelihara keharmonisannya. Hubungan yang sudah terjalin dengan baik harus tetap dijaga.
Orang Lio sangat yakin dengan pesan adatnya bahwa bila ingin hidup bahagia maka bersaudaralah dengan semua orang, berusaha untuk hidup damai dan rukun dengan semua orang, dengan alam dunia, dengan nenek moyang, dan dengan Yang Tertinggi: “Dua Nggae”, tana watu, embu mamao, hu haja, ine ema, tuka bela,aji kae, eja kera, weta ane no imu sama wuru mana”. Ungkapan Jila Ngere Nenu sina menjadi sangat penting bagi masyarakat Lio. Orang Lio dalam keseharian hidupnya sama sekali tidak lupa dengan ungkapan yang indah ini. Mereka tidak segan-segan untuk meminta kepada kepala suku agar ungkapan ini terus dilakukan setiap saat. Ungkapan Jila Ngere Nenu sina sudah menjadi suatu kebiasaan atau tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Ungkapan Jila Ngere Nenu sina dilatarbelakangi oleh keinginan orang Lio untuk hidup dalam ketentraman dan kedamaian. Jika situasi ketentraman dan kedamaian seperti yang diinginkan dirusak maka yang terjadi adalah kehancuran dan ketidakharmonisan. Jila Ngere Nenu sina mengingatkan masyarakat Lio bahwa kehidupan ini adalah suatu kehidupan yang penuh dengan damai dan keharmonisan. Masyarakat Lio diharuskan untuk menciptakan suatu masyarakat yang utuh tanpa perkelahian dan penuh cinta persaudaraan.
Ungkapan Jila Ngere Nenu sina merupakan cetusan dari kehadiran orang Lio yang menghendaki suatu kehidupan yang harmonis, damai, dan bersih. Makna dari ungkapan ini lebih bersifat edukatif dan instruktif yang bertujuan mengajar, menasihati, dan mengharuskan segenap masyarakat untuk melaksanakan apa yang menjadi isi/pesan dari ungkapan ini (bdk, Depdikbud 1984: 96). Pelanggaran terhadap pesan adat akan dikenai sanksi yang berat dan harus memberikan sesuatu untuk memulihkan nama baik.
Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat Lio agar apa yang menjadi pesan adat terus dijaga dan dilestarikan dengan baik. Upaya ini dilakukan dengan tujuan supaya apa yang menjadi dasar dalam adat masyarakat setempat tidak hilang. Jila Ngere Nenu sina ditujukan kepada semua anggota masyarakat Lio dan mereka semua harus menghayati ungkpan ini dengan sungguh-sungguh sebab Jila Ngere Nenu sina juga menjadi penentu keakraban dan keharmonisan kehidupan masyarakat Lio.
Konsep mengenai hidup yang harmonis, bersih dan benar sejatinya adalah suatu gagasan yang mengedepankan rasa cinta kepada sesama, alam dan Tuhannya. Harus diakui bahwa relasi yang mendalam antara warga masyarakat dengan alam dan Tuhan akan membawa kehidupan ke dalam alam kebahagian sempurna yang menjadi cita-cita bersama orang Lio. Mengapa orang Lio sangat menekankan relasi yang demikian? Bagi mereka, manusia cenderung hidup dalam keegoisan dan keangkuhan. Jika mereka hidup dalam dua kecenderungan yang buruk ini maka relasi yang harmonis, bersih dan benar tidak akan tercapai. Karena itu, oarng-orang Lio menjauhkan diri dari sikap egois dan angkuh karena akan membawa kehancuran.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Lio, relasi dengan sesama, alam dan Tuhan adalah hal yang utama. Relasi ini adalah suatu relasi yang utuh tanpa cacat. Manusia memelihara alam, alam membantu manusia dalam keberlangsungan hidupnya dan Tuhan sebagai pencipta adalah tujuan akhir hidupnya. Relasi ini adalah relasi yang penuh, relasi yang juga dirindukan semua orang. Relasi yang mampu membawa manusia pada kedamaian hidup secara penuh. Konsep masyarakat Lio tentang relasi yang membawa damai meruntuhkan gagasan Julius Caesar. Bagi Julius Caesar, jika kita menginginkan damai maka bersiap-siaplah untuk berperang (bdk, Riyanto 2013: 83).
Masyarakat Lio dalam relasi yang berujung pada hidup damai tidak pernah berawal dari apa yang dinamakan perang. Dari dahulu hingga sekarang orang Lio dijauhi dari situasi perang. Bagi mereka, untuk tercapai hidup yang damai tidak perlu didahului dengan perang. Perang bagi mereka hanya dapat membawa kehancuran bukan damai. Damai dalam konsep orang Lio adalah damai yag tidak lahir dari perang. Situasi damai tak pernah lahir dari aksi-aksi anarkis atau peluru yang menghujani rumah-rumah penduduk atau kekuatan militer tertentu.
Damai hanya lahir dari relasi yang indah antara sesama, dari kemampuan berdialoq dengan sesama, dari kerendahan hati untuk mendengarkan orang lain. Menghargai eksistensi yang lain juga menjadi pemicu terciptanya damai dan hidup yang harmonis, bersih dan benar. Jila Ngere Nenu sina menjadi semacam kunci bagi masyarakat Lio untuk hidup dalam suasana damai, tentram, harmonis, berisih, dan benar. Menerima orang lain dan menghormati orang lain adalah sekian cara untuk mencapai hidup yang damai.
Bibliografi
Departemen pendidikan dan kebudayaan. 1977. Adat istiadat darah nusa tenggara timur, Jakarta:Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1984. Ungkapan Tradisional yang berkaitan dengan Sila-Sila dalam Pancasila: Daerah Nusa Tenggara Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Fernandez, Stephanus Ozias. 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Riyanto, Armada. 2013. Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.
Lihat Juga
Kula Kame (Bahasa Lio: bertukar-pikiran) | Bou Tebo Mondo Lo (bahasa Lio:hal ”berkumpul bersama”). | Mi Are (Bahasa Lio: Syukuran Atas Hasil Panen) |
Yohanis Yustinus Doi ()