Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Kula Kame (Bahasa Lio: bertukar-pikiran)


Kula Kame merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Lio untuk membicarakan sesuatu hal, entah dalam keluarga inti, keluarga besar, atau dalam kegiatan adat masyarakat Lio. Kula kame adalah suatu kegiatan komunitarian. Dikatakan sebagai suatu kegiatan komunitarian karena bagi masyarakat Lio bertukar-pikiran dalam suatu upacara akan membuat mereka semakin akrab dalam menjalani kehidupan bersama.

Kula Kame menjadi tanda kerja sama yang nyata bagi masyarakat Lio. Biasanya kegiatan atau aktivitas jenis ini nyaris tak terlewatkan bagi masyarakat Lio apabila mereka hendak melakukan suatu kegiatan atau upacara adat masyarakat setempat.

Dalam suatau upacara entah itu upacara keluarga atau upacara adat, masyarakat setempat diharapkan untuk hadir. Hal ini bertujuan untuk mempererat atau memperkokoh jalinan rasa kebersamaan diantara mereka. Lebih dari itu, maksud dari masyarakat setempat wajib hadir adalah agar kegiatan bertuka-pikiran berjalan lancar.

Kula Kame biasanya dilakukan pada waktu malam hari di suatu tempat yang telah ditentukan. Kula Kame juga dapat dilakukan dalam satu rumah adat jika rumah adat tersebut mampu menampung anggota masyarakat yang hendak melakukan aktivitas bertukar-pikiran. Kegiatan kula kame biasanya hanya diikuti oleh orang dewasa saja, anal-anak dan perempuan dilarang untuk mengikuti hal yang demikian. Perempuan sama sekali tidak diperbolehkan untuk ikut serta dalam kegiatan Kula Kame karena dalam adat atau kebiasaan orang Lio, perempuan hanya dapat melakukan urusan dapur saja sedangakan semua acara yang berhubungan dengan adat hanya dapat dilakukan oleh laki-laki saja.

Tempat penyelenggara upacara dalam masyarakat Lio biasanya disesuaikan dengan jenis kegiatan. Pada umumnya, upacara-upacara untuk kepentingan umum diadakan di rumah adat, di rumah pemali atau di altar persembahan kampung. Dapat pula diadakan di ladang atau di kebun misalnya untuk upacara produksi. Juga bisa terjadi di rumah untuk penyelenggaraan upacara yang bersangkutan dengan kepentingan rumah tangga atau keluarga (bdk, Depdikbud 1977: 67).

Kula Kame dalam masyarakat Lio, pada umumnya juga dilakukan dengan menentukan seorang sebagi pemimpin dalam kegiatan tersebut. Seorang pemimpin yang telah ditentukan harus menjadi semacam moderator ketika aktivitas bertukar-pikiran dilakukan. Ia akan menjadi penengah apabila dalam kegiatan tersebut terjadi keributan. Mengenai keributan. Hal ini bisa saja terjadi karena biasanya dalam kegiatan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara yang satu dengan yang lain dan apabila salah satu pihak tetap mempertahankan pendapatnya maka bisa saja keributan terjadi.

Kula Kame yang dijalani oleh orang Lio biasanya disertai dengan suatu aktivitas mbabho gajo (berbincang-bincang bersama). Dalam aktivitas Kula Kame tersebut ada semacam perundingan bersama untuk tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud hanya diketahui oleh mereka yang menjalani aktivitas kula Kame tersebut. Kula Kame juga menandakan adanya kebersamaan dalam keluarga atau masyarakat setempat apabila ada upacara adat. Jika perundingan dalam kegiatan tersebut sudah mencapai kesepakatan bersama biasanya orang Lio menyebutnya dengan gare tei mbeja atau perundingan telah selesai (bdk, Ozias 1990:47).

Kula Kame yang biasa dilakukan dalam masyarakat Lio memiliki suatu ritual khusus sebelum acara itu dilakukan. Biasanya tua adat melakukan persembahan atau sesajian kepada leluhur berupa nasi merah, segelas arak, dan daging ayam terutama hati ayam yang sudah dibakar. Tidak hanya memberikan sesajian kepada leluhur, sebelum acara dimulai biasanya mereka menyampaikan doa kepada Du’a Ngga’e yang diyakini sebagai Tuhan mereka. Du’a Ngga’e adalah sebutan untuk wujud tertinggi masyarakat Lio atau lebih lengkapnya disebut dengan Du’a Gheta Lulu Wula Ngga’e ghale wena tana (Arndt 2002: 26).

Orang Lio berpikir secara kolektif dalam hubungannya dengan seisi kampung. Dalam urusan perkawinan misalnya, banyak pihak melibatkan diri karena suka rela, demi kerukauna dan persaudaraan dalam kampung. Pengadaan acara Kula Kame juga salah satu cara menghimpun anggota-anggota keluarga dan suku, biasanya sebagai langkah awal keterlibatan semua anggota suku sebelum acara adat dimulai. Tujuannya ialah mengumpulkan ide serta menyusun rencana (Ozias, 1990:52).

Aktivitas Kula kame dalam masyarakat Lio juga dapat dilakukan untuk bekerja sama dalam membuat kebun. Biasanya sebelum membuat atau membuka kebun baru, orang Lio pertama-tama mengadakan acara Kula kame ini, dengan maksud agar masyarakat setempat bersama-sama memberikan semacam ide bagaimana seharusnya dimulai pembukaan kebun baru tersebut. Dalam pelaksanaan atau pembuatan kebun baru, orang-orang secara suka rela mengulurkan tangan untuk membantu. Dalam urusan kematian, orang-orang dengan spontan datang membantu keluarga yang berduka. Seperti yang dilakukan di berbagai tempat di NTT, orang Lio juga ikut berpatisipasi dalam kedukaan, yaitu dengan membantu menyelesaikan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rumah kematian (bdk, Oziaz 1990:53) atau membantu membuat kubur, serta ikut serta dalam upacara pemakaman.

Orang Lio dalam hal ini masih mengenal dan menghayati sistem kontrol sosial yang dijalankan secara teratur. Kontrol sosial berupa norma-norma serta ketentuan-ketentuan yang bersifat mengikat, mengatur dan melindungi serta memberi sanksi- sanksi bagi pelanggranya. Tata adat dijadikan norma hukum demi kerukunan kekerabatan. Acara Kula kame memupuk rasa kebersamaan bagi orang Lio. Dalam ritus-ritus terisirat pemikiran sosial-kolektif dalam budaya Lio. Untuk menyukseskan acara Kula kame biasanya harus disertai dengan pengorbanan materi yaitu hewan dan bahan makanan lainnya. Dari segi ekonomi memang tidak ekonomis, namun masyarakat Lio tak mau memikirkannya. Bagi mereka yang menjadi utama dan terpenting adalah kebersamaan, keharmonisan serta rasa persaudaraan tetap utuh.

Konsep mengenai kula kame dalam masyarakat Lio ini sebenarnya adalah suatu aktivitas untuk menjunjung tinggi relasi persahabatan dan ikatan kekerabatan di antara orang Lio itu sendiri. Dengan kegiatan Kula kame,seluruh dari anggota keluarga dalam masyarakat Lio terus menjalin relasi satu sama lain. Aktivitas Kula kame menjadi sarana pemersatu bagi orang Lio. Nilai penting dari acara atau aktivitas ini adalah menghadirkan rasa cinta persaudaraan atau persahabatan di antara mereka dalam kehidupannya sehari-hari.

Apa yang dilakukan oleh orang Lio dalam aktivitas yang menjalin persahabatan ini, mau menunjukkan bahwa orang Lio juga tergolong dalam masyarakat filosofis. Mengenai konsep persahabatan, dapat diambil dari beberapa tokoh yang dengan begitu indah mengurai arti persahabatan. Seorang filosof Yunani Klasik, Aristoteles mengatakan bahwa persahabatan mengatasi keutamaan keadilan. Bila satu sama lain bersahabat, mereka saling memerhatikan, mengormati, menolong dan berbagi. Dalam persahabatan orang tidak kekurangan satu pun. Demikian juga dikatakan oleh Filosof Agustinus. Agustinus mengatakan bahwa tiada hiburan yang lebih tinggi daripada tinggal bersama para sahabat (Riyanto, 2013:112).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Arndt, Paul. 2002. Du’a Nggae: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan Di Wilayah Lio (Flores Tengah), Maumere: Puslit Candraditya.

    Fernandez, Stephanus Ozias. 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

    Departemen pendidikan dan kebudayaan. 1977. Adat istiadat darah nusa tenggara timur, Jakarta:Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya.

    Riyanto, Armada. 2013. Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Bou Tebo Mondo Lo (bahasa Lio:hal ”berkumpul bersama”).  Mi Are (Bahasa Lio: Syukuran Atas Hasil Panen)  Jila Ngere Nenu Sina (Bahasa Lio: Ungkapan untuk hidup yang harmonis, bersih, dan benar) 

    Oleh :
    Yohanis Yustinus Doi ()