Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Mi Are (Bahasa Lio: Syukuran Atas Hasil Panen)


Mi are merupakan suatu bentuk syukuran atas hasil panen yang diperoleh dalam satu musim tanam. Upacara mi are ini dilakukan untuk mengucap syukur atas hasil panen dari segala jenis tanaman. Menjelang matahari terbenam, para tetua adat dari kampung tersebut berkumpul di depan rumah adat untuk mengikuti upacara tersebut.

Ada beberapa tahapan penting dalam ritual mi are ini. Upacara diawali dengan pemberian persembahan kepada leluhur atas semua hasil panen yang diperoleh salam semusim tanam. Wujud tertinggi penguasa semesta alam oleh masyarakat Lio di sebut Du’a Nggae. Sebutan ini sepadan dengan sebutan Mori Kraeng pada masyarakat Manggarai, Nggae Dewa pada masyarakat Ngadha (bdk, Kompas 2011:22).

Sebelum dipersembahkan kepada leluhur, seluruh masyarakat tidak boleh memakan hasil panen. Jika hal itu dilanggar, diyakini bahwa musim berikutnya akan terjadi gagal panen bagi masyarakat setempat. Orang yang memakan hasil panen tanpa terlebih dahulu memberi persembahan atau sesajian kepada leluhur akan dikenai hukum adat di mana ia harus menyerakan satu ekor babi kepada ketua adat untuk di persembahkan kepada leluhur.

Upacara sesajian mi are yang dilakukan pada petang hari itu berupa nasih merah dan hati ayam. Sesajian itu selain ditujukan kepada penguasa alam semesta tetapi juga kepada arwah leluhur. Di dekat tempat persembahan terpampang benda pusaka seperti emas dan beberapa lainnya yang sangat dihormati oleh masyarakat adat. Ritual diawali dengan doa kepada leluhur yang diwakili oleh ketua adat masyarakat setempat dalam rumah adat. Doa yang disampaikan oleh ketua adat tersebut bermaksud untuk memanggil para leluhur untuk makan persembahan yang telah disediakan oleh masyarakat setempat. Persembahan kepada leluhur tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak lupa akan leluhurnya.

Doa yang disampaikan dalam upacara mi are tersebut juga berupa permohonan agar ternaknya berkembang biak, hasil pertanian berlimpah, dijauhkan dari serangan hama, dari segala macam penyakit dan bencana alam. Mereka sangat yakin bahwa doanya akan didengarkan dan dikabulkan oleh leluhur mereka. Mereka berjanji kepada leluhurnya akan terus mewariskan kebiasaan ini dari generasi ke generasi dan juga meminta kepada leluhur agar anak cucunya dilindungi. Di akhir doa, mereka berjanji untuk berbuat baik, jika melanggar, mereka siap dihukum (Kompas, 2011: 24).

Acara inti dari syukuran ini adalah kela nio (membela kelapa) untuk penyucian kesalahan yang telah dilakukan oleh masyarakat Lio. Jika kelapa langsung terbelah dua dengan ukuran yang sama maka diyakini sebagai pertanda baik. Apabila kelapa yang dibelah itu terpecah-pecah, ukurannya tidak sama atau ada yang terluka, hal itu dianggap sebagai pertanda kurang baik, sehingga harus secepat mungkin berdoa kepada leluhur agar terhindar dari bahaya. Setelah selesai upacara belah kelapa, masyarakat melanjutkan dengan acara gawi (tarian adat Lio) bersama dalam suasana gembira dan sukacita sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur. Tarian tersebut juga sebagai tanda mempererat tali persaudaraan di antara mereka. Tarian itu juga diikuti oleh warga dari kampung sekitar.

Pada hari berikutnya, masyarakat setempat mengadakan makan bersama, ka mi are (makan nasi adat) dalam satu rumah adat. Sesaji bagi leluhur berupa nasi, daging ayam dan cabai. Ketua adat kemudian membagikan kerak nasi, simbol hasil panen untuk dinikmati semua yang hadir di rumah adat. Mendapat kerek nasi diyakini akan mendapat rezeki berlimpah dan selamt. Upacara ini dilakukan bagi kalangan tertutup. Hanya sekitar 30 orang yang memiliki kedudukan dalam suku setempat yang bisa mengikuti. Orang luar yang ingin mengikuti upacara tersebut harus seizin anggota suku dan melalui permohonan pada para leluhur (bdk, Kompas 2011: 24).

Masyarakat Lio beranggapan bahwa hubungan manusia dengan alam dunia sangat harmonis, sehingga mereka berpikir bahwa manusia berasal dari makhluk dunia dan sebaliknya. Untuk menjelaskannya, ada sebuah cerita mitologis tentang “ibu padi” yang dalam bahasa Lio disebut “Ine Pare”. Diceritakan tentang seorang pria membunuh dan mencincang gadis tersebut. Dari daging gadis, bertumbuhlah padi, sehingga ia disebut”Ine Pare”. Mengapa masyarakat adat berpikir bahwa padi berasal dari seorang gadis. Pikiran ini dimungkinkan oleh karena masyarakat adat melihat ada keserasian hubungan antara manusia dengan makhluk dunia. Mungkin cerita ini hanya bersifat simbolis, supaya orang tidak menyia-nyiakan hasil padi, atau membuang-buang nasi tanpa alasan tetapi dibalik itu bagaimanpun juga hubungan manusia dengan kosmos tetap harmonis (Ozias, 1990:108).

Masyarakat Lio, dengan ritus-ritus yang dilakukan kepada alam semesta, mau menunjukkan bahwa mereka harus mencocokkan diri dengan tuntutan alam, karena hasil panen adalah hadiah atau pemberian dari kosmos. Penyelewengan dari hal ini akan mengakibatkan berkurangnya hasil panen. Untuk ini harus ada upacara untuk menghalalkan panen. Upacara mi are yang dilakukan oleh masyarakat Lio adalah salah satu bentuk syukuran atas pemberian kosmos.

Hubungan yang erat dengan kosmos bagi masyarakat Lio adalah suatu keharusan. Mereka meyakini bahwa setiap hari kosmos terus “berbicara” kepada mereka. Orang Lio sangat peka dengan situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya terutama mengenai gejala-gejala alam. Jika terjadi sesuatu seperti hujan terus menerus walaupun bukan musimnya, mereka yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan anggota masyarakat setempat. Untuk itu masalah tersebut harus diselesaikan segera.

Ritual mi are dalam masyarakat Lio adalah salah satu bentuk kekerabatan antara manusia dengan alam. Ada hubungan timbal balik yang begitu indah antara alam dan manusia. Di sana tersimpan cinta yang memesona yang dipancarkan setiap saat oleh alam untuk manusia. Bagi masyarakat Lio, alam telah menyediakan begitu banyak kebutuhan mereka hanya saja dibutuhkan suatu pengolahan yang tepat dari manusia. Segala hasil panen yang diperoleh setiap musim diyakini sebagai pemberian dari alam. Oleh sebab itu mereka wajib memberi ucapan terima kasih kepada alam lewat upacara-upacara persembahan sesajian salah satunya adalah upacara Mi are ini.

Relasi yang sangat intim antara masyarakat Lio dengan alam ini menunjukkan pula bahwa masyarakat Lio memiliki pengetahuan tentang alam. Mereka mengerti bahwa alam adalah tempat di mana manusia menggantungkan hidupnya. Seorang filosof, Aristoteles, mengatakan bahwa manusia sejauh hidup di dunia pastilah tidak kekurangan sesuatu apa pun sebab segalanya telah disediakan oleh alam. Dalam arti ini Aristoteles mengajarkan “hukum alam” bahwa jangan sampai manusia itu kelaparan atau teralantar, sebab alam pasti menyediakan makanan (Riyanto, 2013: 37).

Dari apa yang dikatakan oleh Aristoteles tersebut, harus diakui bahwa masyarakat Lio adalah masyarakat filosof. Hal ini nampak dari pengetahuan mereka akan alam sebagai tempat bagi mereka untuk memperoleh kehidupan. Relasi dengan alam tidak dipandang sebagai relasi dengan yang lain sama sekali melainkan suatu relasi yang menandakan keakraban yang luar biasa. Masyarakat Lio menjalin relasi dengan alam tidak hanya sebatas syukuran saja tetapi juga memelihara alam dengan baik agar alam tetap terjaga dan terus memberikan kehidupan bagi mereka. Alam hanucr, kehidupan mereka pun terancam.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Fernandez, Stephanus Ozias. 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

    Laporan Jurnalistik Kompas. 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

    Riyanto, Armada. 2013. Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Kula Kame (Bahasa Lio: bertukar-pikiran)  Bou Tebo Mondo Lo (bahasa Lio:hal ”berkumpul bersama”).  Jila Ngere Nenu Sina (Bahasa Lio: Ungkapan untuk hidup yang harmonis, bersih, dan benar) 

    Oleh :
    Yohanis Yustinus Doi ()