Unggah Ungguh (Bahasa Jawa: hal sopan santun dalam berbahasa)
Unggah ungguh berasal dari dua kata Bahasa Jawa, yakni unggah (naik) dan ungguh (diambil dari kata lungguh yang berarti duduk). Bila disatukan keduanya mempunyai arti menempatkan atau mendudukkan diri atau orang lain sesuai derajat. Ada orang yang dilungguhke (didudukkan) dan ada yang diunggahke (dinaikkan). Unggah ungguh mau menunjukkan suatu tradisi kebiasaan sopan santun dalam budaya Jawa. Khusus dalam unggah ungguh, sopan santun ini diwujudkan dalam penggunaan Bahasa.
Dalam bahasa Jawa ada dua tingkat bahasa, yakni ngoko dan krama (Andayani 2011:86). Penggunaan masing-masing speech level ini pun berbeda-beda tergantung situasi dan lawan bicara. Untuk pembicaraan antara guru dan murid misalnya, tata bahasa yang digunakan oleh murid adalah krama namun guru bisa menggunakan bahasa ngoko kepada muridnya. Dari sini dapat dilihat bahwa kriteria penggunaan speech level tersebut adalah status sosial. Yang muda menghormati yang tua dengan menggunakan bahasa krama. Hal yang berbeda terjadi tatkala misalnya, murid itu menjadi seorang bupati. Ketika ia berbicara dengan gurunya tadi, ia tak wajib lagi menggunakan bahasa krama. Ia dapat menggunakan bahasa ngoko karena ia berstatus tinggi.
Selain ditentukan oleh status sosial, pemilihan speech level ini ditentukan juga oleh “jarak” yang terbentang dalam percakapan. Apakah yang dimaksudkan dengan “jarak” ini? Hal ini bisa dijelaskan dengan contoh seorang bapak yang betemu dengan bapak yang sebaya. Lumrahnya, apabila lawan bicara seseorang itu sebaya, maka penggunaan bahasa ngoko diperbolehkan. Namun ini menjadi lain tatkala lawan bicara itu adalah orang yang baru sama sekali. Relasi keduanya belum terbangun dengan kokoh dan baik. Maka dari itu pemilihan bahasa yang tepat adalah bahasa krama. Hal ini berbeda ketika misalnya kedua orang tadi merupakan kawan karib. Bahasa ngoko pun dapat digunakan secara wajar.
Unggah ungguh melatih seseorang untuk mempunyai sikap yang peka dalam hal berelasi. Sikap yang peka ini terkait dengan rasa hati-hati dalam membangun sebuah relasi. Apakah relasi yang terbangun ini masih baik-baik saja, canggung, atau sudah tidak baik lagi. Umumnya pada relasi yang sudah terjalin baik dan lama, bahasa ngoko bisa digunakan dengan leluasa dalam percakapan. Namun bila ada bahasa krama yang diselipkan dalam relasi atau percakapan itu maka pasti ada sesuatu yang “tidak wajar”, entah itu ada kehadiran orang ketiga yang status sosialnya lebih tinggi, atau ada maksud lain yang hendak diungkapkan dalam pembicaraan itu. Tentu penialian “tidak wajar” di sini tidak berarti negatif melulu.
Dengan unggah ungguh, seseorang juga bisa mengetahui sifat lawan bicaranya. Apabila seseorang menggunakan Bahasa ngoko secara sewenang-wenang, ada indikasi bahwa ia adalah orang yang arogan, sombong dan tidak sopan. Lain halnya dengan orang yang sering menggunakan bahasa krama. Ada indikasi bahwa ia adalah orang yang halus, sabar dan rendah hati.
Unggah ungguh mengajak orang untuk menyadari keberadaan seseorang dalam relasinya dengan sesama dalam ruang dan waktu. Kesadaran dalam ruang ini terkait dengan ungkapan empan papan (Jawa: ingat tempat). Tentu speech level yang digunakan dalam tampat ibadah akan berbeda dengan yang digunakan dalam ruang makan. Kesadaran dalam waktu mengajak orang Jawa untuk peka terhadap momen-momen pembicaraan.
Menurut Andayani (2011:92) unggah ungguh mempunyai banyak kriteria penggunaan. Aplikasi atau penerapannya ditentukan oleh, tingkat formalitas hubungan persorangan, status sosial, hadirnya orang ketiga, situasi emosi, watak yang berbicara, tujuan, materi. Hal ini patut diperhatikan untuk menjaga keseimbangan hubungan interpersonal.
Dalam dunia kebatinan orang Jawa. Manusia itu terdiri atas sifat-sifat lahir dan potensi-potensi batin (Mulder 1983:22). Ada sebuah kewajiban moral untuk membangun harmoni antara yang lahir dengan yang batiniah. Relasi interpersonal adalah wujud dari yang lahir, tapi yang mendasari relasi itu ada dalam batin seseorang. Batinlah yang harus menjadi penguasa dan pengendali dari yang lahir. Salah satu ungkapan batiniah orang Jawa adalah tata krama (tata perilaku) di mana unggah ungguh menjadi salah satu bagiannya.
Beberapa penjelasan di atas menyiratkan ada unsur hirarki dalam pola relasi orang Jawa. Memang demikianlah halnya. Hirarki yang diungkapkan dalam unggah ungguh hendak memperkuat nilai harmoni tadi. Tidak mungkin berbicara dalam bahasa Jawa tanpa memperhatikan hubungan antara kedudukan si pembicara dengan kedudukan orang yang diajak bicara (Muelder 1983:43). Rasa hormat yang tercermin lewat penggunaan unggah ungguh yang tepat akan menjaga harmoni karena orang diakui derajat atau statusnya dan merasa “dianggap”. Menjadi amat kontras bila unggah ungguh tidak diterapkan dalam bahasa Jawa. Bila tidak diterapkan orang tidak akan mengakui status sosial orang lain, penguasaan sewenang-wenang, arogansi dan previlese.
Suseno (1984:64-69) mengatakan bahwa dengan penerapan unggah ungguh, seorang juga diajak untuk watak wedi, isin dan sungkan (takut, malu dan tidak enak hati). Wedi berarti takut, baik dari yang fisik maupun yang psikologis. Seorang anak Jawa akan belajar untuk wedi kepada orang yang lebih tua dan orang asing. Ketika sifat wedi sudah terpupuk, maka tahap berikutnya adalah belajar untuk isin atau malu.
Malu di sini bisa berarti malu-malu, merasa bersalah dan sifat-sifat sejenis lainnya. Belajar untuk tahu malu adalah cara untuk menjadi pribadi Jawa yang matang. Bila seseorang sudah menyimpang dari sikap isin ini, biasanya teguran yang tajam akan dilayangkan. Teguran ini berupa cap ora ngerti isin (tidak tahu malu). Teguran ini amat pedas dalam budaya Jawa dan akan dihindari sebisa mungkin.
Dua tahap pendidikan ini akan disempurnakan dengan sikap sungkan. Sungkan hampir sama dengan isin tapi maknanya lebih positif, yakni tidak enak hati. Hildrerd Geertz (dalam Suseno 1984:65) menggambarlan sungkan sebagai rasa hormat terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal.
Bibliografi
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta: Gramedia.
Rohmadi, Muhammad dan Lili Hartono (peny.). 2011. Kajian Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa: Teori dan Pembelajarannya, Surakarta: Pelangi Press.
Suseno, Franz Magniz, 1984. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia.
Lihat Juga
Narima ing Pandum (Bahasa Jawa: hal bersyukur dan pasrah) | Tepa Slira (Bahasa Jawa: tentang sikap tenggang rasa) | Adigang, Adigung, Adiguna (Bahasa Jawa: tentang sikap rendah hati) |
Fidelis Anggiornamento ()