
Tepa Slira (Bahasa Jawa: tentang sikap tenggang rasa)
Tepa selira adalah ungkapan dalam bahasa Jawa diambil dari 2 kata, yakni tepa (ukuran yang pas) dan slira (badan). Ungkapan tepa slira hendak menggambarkan sebuah perilaku etika sosial dalam budaya Jawa. Tepa slira berarti menjadikan diri sendiri sebagai ukuran atas perbuatan yang dikenakan kepada orang lain (bdk. Suratno dan Astiyanto 2005:209). Dalam bahasa Indonesia, ungkapan yang bisa menggambarkan tepa slira adalah tenggang rasa.
Di pihak lain, tepa slira kiranya punya makna yang lebih khas daripada tenggang rasa. Tepa slira adalah sebuah ajakan untuk memperlakukan orang lain dengan sebaik-baiknya karena diri sendiri juga ingin diperlakukan dengan baik. Ungkapan ini juga mengingatkan orang untuk menaruh hormat kepada siapa saja dan tidak berlaku sewenang-wenang. Ini adalah salah satu “alat” kontrol sosial yang apik dalam hirarki (Jawa).
Tepa slira mempunya makna mengajak yang positif, yakni melakukan dan jangan melakukan. Ajakan positif itu berbunya: lakukanlah apa sesuatu hal kepada orang lain yang mana kamu ingin juga diperlakukan seperti. Sedangkan ajakan yang negatif itu berbunyi: jangan melakukan hal kepada orang lain yang mana kamu tidak ingin diperlakukan seperti itu.
Tata krama (tata perilaku) dan unggah-ungguh (sopan santun dalam berbahasa) adalah representasi dari stratifikasi dalam budaya Jawa. Stratifikasi yang berbau hirarkis itu diterapkan untuk menjaga harmoni dan ketertiban sosial (Mulder 1983:46). Bila disalahgunakan, hal semacam ini bisa menumbuhkan sikap sewenang-wenang bagi mereka yang berada di puncak hirarki. Namun dengan tepa slira, mereka yang mempunyai status sosial tinggi diajak untuk mengayomi mereka yang berada di lapisan sosial bagian bawah.
Penerapan tepa slira akan membawa seseorang pada karakter yang halus, budi bahasa yang baik dan siakp sopan santun (Suratno dan Astiyanto 2005:211). Seseorang yang menganut prinsip tepa slira dengan taguh akan selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Hal ini dikarenakan ia selalu “bertemu dengan dirinya sendiri” ketika berelasi dengan orang lain. Kondisi ini akan menumbuhkan situasi amemangun karyenak tyasing sasama (membangun suasa yang membuat hati orang lain senang). Ini adalah kondisi ideal yang hendak dibangun dalam masyarakat Jawa. Situasi yang demikian perlu dibangun atas kerjasama mereka yang berada di kalangan atas hirarki (para pemimpin) maupun yang berada di kalangan bawah (rakyat). Setiap lapisan hirarki harus saling menjaga agar terbentuk satu relasi yang tentram, damai, dan tenang dalam masyarakat.
Sasaran yang ingin dicapai dari penerapan tepa slira ini adalah hidup yang rukun dan saling menghormati. Menurut Suseno (1984:38) kedua hal ini adalah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Rukun adalah keadaan yang selaras dan damai di mana semua pihak bisa saling menerima, bekerja sama dan sepakat. Apabila ada seseorang melanggar prinsip rukun dengan menggunakan kata, sikap dan tindakkan yang tidak pantas maka akan muncul perasaan tidak enak di dalam kelompok.
Sikap saling menghormati sebagai tujuan berarti masyarakat Jawa bercita-cita tentang suatu kelompok yang teratur baik dan menjadi satu kesatuan. Seorang harus menjaga yang lain baik dalam kata, sikap dan tindakan. Penerimaan akan status sosial diri dan orang lain akan menjadi jaminan kesatuan ini. Ambisi, persaingan dan sikap kurang sopan hendaknya dicegah agar sosietas tetap selaras dan damai (bdk. Suseno 1984:60).
Dalam usaha untuk membangun kerukunan itu, orang Jawa berusaha untuk berlaku sedemikian rupa agar orang lain tidak merasa tersakiti. kaget atau gugup. Sebisa mungkin seseorang mengontrol nada bicaranya. Orang Jawa juga tidak ingin menyampaikan maksudnya secara langsung (high context communication). Rumusan pernyataan “saya rasa” atau “mungkin” menjadi penanda saat orang Jawa mau mengutarakan maksudnya. Hal ini semata-mata dilakukan karena sikap bertele-tele, melainkan menyampaikannya maksudnya secara halus dan “tidak langsung” agar lawan bicara tidak kaget, gugup atau tersakiti hatinya.
Sebisa mungkin orang Jawa mengontrol emosinya. Kadang-kadang mereka harus bertindak atas nama formalitas meski suasana sosial didominasi oleh pengekangan atas kebutuhan komunikasi yang emosional (bdk. Mulder 1983:72-73). Emosi yang meluap-luap jarang ditonjolkan oleh orang Jawa. Apabila emosi itu diluapkan begitu saja, rasa malu akan muncul dalam hati orang Jawa.
Dalam relasinya dengan yang lain, tepa slira mengajak seseorang untuk memandang orang lain “liyan” sebagai “aku”. Orang lain yang berada di luar diriku bukan mereka yang jauh (Riyanto 2011:34). Aku dan mereka yang berada di luar diriku adalah satu bentuk kemanusiaan. Kemanusiaan ini membawa relasi antara aku dan yang lain pada taraf altruistik. Pada taraf ini, “liyan” tidak lagi dianggap sebagai yang asing atau yang dipinggirkan, melainkan mereka yang dirangkul dalam satu komunitas kemanusiaan.
Prinsip tepa slira menjadi amat bergema dalam etika bermasyarakat. Ini bisa menjadi kritik atas berbagai macam bencana kemanusiaan seperti perang, perusakan, tindakan sewenang-wenang, terorisme dan marginalisasi. Bencana ini diawali dengan memandang sesama sebagai murni bukan aku (manusia). Mereka tidak ada kaitannya sama sekali dengan aku. Situasi ini mengotak-kotakkan kemanusiaan yang seharusnya berdiri utuh tak terbagi.
Dengan tepa slira orang tidak diajak untuk maruh benci dan dendam kepada sesama yang berlainan keyakinan, ideologi atau prinsip. Pun tepa slira tidak juga mengajak untuk membenci mereka yang secara fisik berbeda dengan “aku”, misalnya yang difabel, berlainan suku, warna kulit, dan segala perbedaan lainnya. Sebaliknya, tepa slira mengundang setiap “aku” untuk menyatukan diri dengan sesama atau “liyan”. Tepa slira mengajak aku untuk berada di posisi mereka yang berbeda. Tentu saja “aku” selalu ingin diperlakukan dengan baik. Demikian pula halnya “mereka” yang adalah “aku” dalam kemanusiaan. Mereka juga harus diperlakukan dengan baik karena dalam diri mereka tercermin realitas kemanusiaan diriku (bdk. Riyanto 2011:25).
Bibliografi
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta: Gramedia.
Riyanto, Armada Prof. Dr., Marcellius Ari Christy, Paulus Punjung Widodo (eds.). 2011. Aku dan Liyan; Kata Filsafat dan Sayap, Malang: Widya Sasana Publication.
Suratno, Pardi dan Henniy Astiyanto. 2005. Gusti Ora Sare, Yogyakarta: Adi Wacana.
Suseno, Franz Magniz. 1984. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia.
Lihat Juga
Unggah Ungguh (Bahasa Jawa: hal sopan santun dalam berbahasa) | Narima ing Pandum (Bahasa Jawa: hal bersyukur dan pasrah) | Adigang, Adigung, Adiguna (Bahasa Jawa: tentang sikap rendah hati) |
Fidelis Anggiornamento ()