Adigang, Adigung, Adiguna (Bahasa Jawa: tentang sikap rendah hati)
Adigang, adigung, adiguna adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang berisi nasihat agar seseorang tidak berwatak angkuh atau sombong. Ungkapan ini tidak bisa diartikan secara harfiah karena ini diambil dari tulisan Sunan Pakubuwana IV dalam kitab Wulangreh (bdk. Suratno dan Astiyanto 2005:3). Sunan Pakubuwana IV mengambil tiga kata ini dari tiga sifat binatang.
Wonten pocapanipun / adiguna adigang adigung / pan adigang kidang adigung pun esthi / adiguna ula iku / telu pisan mati sampyuh
Si kidang ambegipun / ngendelken kebat lumpatipun / Pan si gajah ngendelken geng ainggil / Si ula ngendelken iku / mandine wisa yen nyakot
Adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kecepatan dan kekuatan larinya. Adigung merupakan watak kesombongan gajah yang karena besar tubuhnya selalu merasa menang dibandingkan hewan lainnya. Adiguna dipakai sebagai gambaran watak ular yang menyombongkan dirinya karena memiliki bisa/racun yang mematikan (Suratno dan Astiyanto 2005:3). Ketiga binatang yang saling menyombongkan diri itu akhirnya hanyut dalam sikap lupa diri dan terlibat dalam pertengkaran yang berujung pada kematian (Hartono 2011:293).
Dalam kehidupan, orang Jawa diharapkan untuk menjunjung tinggi sikap andhap asor atau lembah manah (keduanya berarti sikap rendah hati). Watak sombong amat diharamkan dalam hidup sehari-hari. Setiap individu diharapkan untuk tetap low profile, tidak menonjol dan tidak bersaing; melainkan saling berbagi, patuh, bergantung dan kooperatif (Mulder 1983:72).
Ungkapan ini dapat digunakan sebagai pengingat kepada siapapun yang memiliki kelebihan dalam hal kekuatan, kedudukan dan kekuasaan. Semua milik dan anugerah yang diterima oleh manusia itu merupakan pemberian dari Sang Pencipta dan itu dilihat sebagai amanat yang harus diperankan atau dijalankan dengan baik. Kedudukan, keluasan ilmu dan kedewasaan hanyalah pinjaman dan yang meminjamkan adalah Tuhan (Suratno dan Astiyanto 2005:4).
Mengingat semuanya berasal dari Tuhan, maka sikap sombong bukanlah pilihan. Manusia hanyalah sebuah titik kecil dalam keberadaan dunia yang amat luas. Hidupnya amat bergantung kepada Tuhan dan alam. Hal semacam ini mengajak orang untuk menyangkal dirinya dan melakukan laku tapa.
Pandangan hidup orang Jawa tak bisa dilepaskan begitu saja dari mistiknya yang biasa disebut dengan Kejawen. Sebelumnya sudah disinggung bahwa manusia hanyalah titik kecil dalam dunia ini. Ini disebabkan karena ia adalah jagad cilik (mikrokosmos) dan alam adalah jagad gedhe (makrokosmos). Dalam upaya-upaya mistik, manusia harus mengatasi segi badani itu, seperti emosi, naluri, nafsu dan rasionalitas duniawi. Hal ini diperlukan agar batinnya bebas untuk bersatu dengan Penciptanya (Mulder 1983:14).
Laku tapa yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengalahkan segala kecenderungan jahat dalam diri, termasuk keangkuhan, kesombongan, egoisme, keserakahan, nafsu dan amarah. Segala maca sikap jahat ini adalah representasi dari manusia rumangsa bisa (merasa bisa – hebat). Ini adalah pertentangan dari sikap ideal orang Jawa, yakni bisaa rumangsa (mampulah untuk merasa).
Segala kecenderungan jahat dalam diri manusia tadi digambarkan secara apik dalam perang Bharatayuda yang merupakan adegan dari kisah Mahabarata. Di dalamnya termaktub gambaran perang kebaikan melawan kejahatan; keteraturan melawan kekacauan. Dalam kisah Mahabarata, kebaikan tak selalu bekerja sama dengan wujud kebaikan lainnya. Kebaikan bisa saja berjalan beriringan dengan kejahatan (misalnya dendam). Hal ini bisa dilihat dari lakon Karna yang membela Kurawa. Karna adalah keturunan keluarga Pandawa yang merepresentasikan kebaikan. Namun karena ia dibuang oleh Pandawa, Karna pun pada akhirnya membela Kurawa yang mewakili kejahatan.
Dalam kisah Mahabarata, konsep baik dan jahat tidak bisa diberi pemisah yang tegas. Selalu ada noda kejahatan dalam apa yang baik. Ini adalah realitas dari hidup manusia. Kebaikan dan keburukan selalu ada dalam diri manusia. Maka dari itu, pandangan manusia Jawa dalam kehidupan adalah untuk menciptakan keteraturan dan koordinasi, baik yang materiil maupun yang spiritual. Tolok ukurnya adalah dunia batin manusia. Di sanalah ada kebenaran yang hakiki (bdk. Mulder 1983:21-22).
Konsep kebenaran yang berada di dalam batin ini dilukiskan secara dramatis dalam kisah Dewaruci. Adalah tokoh bernama Bima dari keturunan keluarga Pandawa yang hendak melakukan perjalanan mencari air hidup. Untuk mencarinya, ia pergi ke gunung untuk mengalahkan raksasa dan pergi samudera untuk mengalahkan naga. Dalam pertempurannya itu ia tidak menemukan apa-apa. Kelelahanlah yang justru ia dapatkan. Akhirnya Bima pun pingsan. Di ambang batas kesadarannya, Bima bertemu dengan Dewaruci. Uniknya sosok Dewaruci ini mirip sekali dengan dirinya, hanya saja tubuh Dewaruci lebih kecil. Di akhir kisah, Dewaruci menyuruh Bima yang bertubuh besar untuk masuk ke dalam dirinya melalui telinga kiri untuk mengambil air hidup. Inilah simbol penemuan kebenaran yang hakiki dalam diri (hati) manusia.
Karena batin menjadi tolok ukur yang utama, segala hal yang materiil tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang paten. Yang materiil itu selalu berubah-ubah dan bergantung pada nasib dan roda sejarah (cakra manggilingan). Maka dari itu, sebisa mungkin orang Jawa tidak mendewakan segala hal yang berbau materiil. Hal ini hanya mungkin dilakukan bila manusia mengontrol nafsu-nafsunya melalui laku tapa.
Melalui laku tapa orang diajak untuk mengarahkan dirinya pada dunia batin dan bukan pada dunia materiil dengan segala kekuatann, kebesaran dan kesaktiannya (adigang, adigung, adiguna). Semuanya itu bukanlah untuk diri sendiri, melainkan untuk menguasai tubuhnya sendiri agar bisa membudayakan dorongan-dorongannya (Suseno 1984:140). Yang materiil atau lahiriah hendaknya digunakan untuk mempertahankan keseimbangan batin dan berkelakuan dengan tuntutan keselarasan sosial.
Bibliografi
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta: Gramedia
Rohmadi, Muhammad dan Lili Hartono (peny.). 2011. Kajian Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa: Teori dan Pembelajarannya, Surakarta: Pelangi Press.
Suratno, Pardi dan Henniy Astiyanto. 2005. Gusti Ora Sare, Yogyakarta: Adi Wacana.
Suseno, Franz Magniz. 1984. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia.
Lihat Juga
Unggah Ungguh (Bahasa Jawa: hal sopan santun dalam berbahasa) | Narima ing Pandum (Bahasa Jawa: hal bersyukur dan pasrah) | Tepa Slira (Bahasa Jawa: tentang sikap tenggang rasa) |
Fidelis Anggiornamento ()