Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Narima ing Pandum (Bahasa Jawa: hal bersyukur dan pasrah)


Ungkapan narima ing pandum (narima = menerima; pandum = bagian) adalah istilah dalam bahasa Jawa berupa ajaran (ajakan) untuk bersikap pasrah dan senantiasa bersyukur atas apa yang telah menjadi bagian (hidup) manusia. Kata “bagian” bisa mencaku parti yang sangat luas, bisa terkait dengan alam semesta atau kodrat manusia itu sendiri.

Ketika lahir di dunia, manusia dihadapkan pada realitas alam raya yang sudah “diatur” sedemikian rupa oleh pencipta-Nya. Tata ciptaan yang sudah baik itu memungkinkan manusia untuk mengelolanya sedemikian rupa karena ia adalah makhluk yang berakal budi. Secara negatif, akal budi ini jugalah yang membuka kemungkinan bagi manusia untuk berbuat sewenang-wenang kepada tata ciptaan itu. Berangkat dari sini, kearifan lokal dari daerah Jawa ini bisa mendapat posisi untuk meredam kesewenang-wenangan manusia itu.

Sebelum menuju pada penjelasan tentang peran ungkapan tersebut, baik apabila dilihat lebih dahulu posisi manusia dalam semesta. Kemahakuasaan Allah dalam tata ciptaan digambarkan dalam istilah Gusti Allah kang murbeng dumadi atau Tuhan yang berkuasa atas segala ciptaan (Rahyono 2009:106). Lalu apakah peran manusia? Manusia hanyalah unsur kecil dalam tata ciptaan itu. Ia tak berdaya dan digambarkan sebagai bagian dari jagad cilik (semesta yang kecil), sedangkan alam semesta digambarkan sebagai jagad gedhe (semesta yang besar). Di sini tampak sekali keterbatasan manusia. Ia amat bergantung pada alam semesta dan pencipta-Nya

Manusia adalah ciptaan yang tidak bisa memilih kodratnya. Konsep ini merupakan keniscayaan bagi manusia ketika ia dilahirkan. Ia menerima begitu saja keadaannya tanpa bisa memilih. Hidupnya sudah digariskan oleh Tuhan dan ini diterima sebagai sunattulah (Suratno dan Astiyanto 2005:152). Keadaan di sini bisa meliputi situasi tempat, kemampuan manusia, kebudayaan, hal fisik, dll. Narima ing pandum hendak pertama-tama mengajak manusia untuk menerima lalu setelah bersyukur atas kondisi eksistensialnya sebagaimana telah diberikan oleh Tuhan.

Unsur yang pertama dalam ungkapan ini adalah kepasrahan. Kepasrahan dalam ungkapan ini bisa dipandang secara negatif bila manusia hanya narima saja. Narima yang negatif bisa diartikan dengan tidak berbuat apa-apa dan tidak mengusahakan sesuatu yang lebih. Bila demikian, manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Ia akan terjerumus dalam sikap pasif. Pilihan ini sah-sah saja tapi ini akan menghasilkan ketidakarifan yang akan menenggelamkan kekhasan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak bebas. Justru dengan sikap pasif ini, manusia mengkhianati kemampuannya sebagai makhluk yang mempunyai akal budi.

Tentu saja ungkapan narima ing pandum ini tidak bermaksud untuk membelenggu manusia dalam sikap pasif dan statis. Justru sebaliknya, ungkapan ini hendak menawarkan kearifan yang bernada positif. Karifan yang hendak ditawarkan oleh ungkapan narima ing pandum adalah agar manusia tidak menginginkan pemenuhan kebutuhan hidup yang melebihi batas kemampuannya (Rahyono 2009:114). Penerimaan ini terkait dengan kodrat eksistensial manusia. Seorang pria, sampai kapan pun tidak akan bisa menjadi seorang wanita; demikian pula orang yang terlahir di kebudayaan A tidak bisa meminta untuk lahir di kebudayaan B.

Menerima apa yang menjadi bagiannya juga bernuansa relasional. Konsep ini mengajak manusia untuk tidak menaruh rasa iri terhadap apa yang menjadi milik sesamanya. Seorang koki tidak akan serta merta bisa menjadi dokter, demikian pula orang yang terlahir dengan ras tertentu tidak akan bisa mengubah dirinya menjadi bagian dari ras lain. Semuanya itu pertama-tama harus diterima sebagai bagian dari hidup. Penerimaan semacam ini pada akhirnya mengajak setiap pribadi untuk menghargai apa yang menjadi milik orang lain. Setiap pribadi itu mempunyai kekhasannya masing-masing dan itu tidak bisa direnggut darinya.

Dalam pola masyarakat, konsep ini mengajak orang untuk menerima kedudukan dan status sosialnya. Orang yang berkedudukan rendah harus hidup sesuai dengan tempat dan tugas hidupnya. Demikian pula halnya dengan orang yang berkedudukan tinggi harus berlaku sesuai garis hidupnya. Masyarakat yang harmonis dan hirarkis ini mencerminkan restu para dewa (Tuhan) dan menampakkan keteraturan kosmos; semuanya sudah diatur oleh Sang Pencipta (bdk Mulder 1983:44). Maka dari itu, ambisi, persaingan dan ketidaksopanan akan dipandang sebagai sumber kekacauan.

Terkait dengan kebutuhan hidup, ungkapan ini mengajak kita untuk tidak serakah. Sudah menjadi keharusan bahwa manusia dalam hidupnya selalu berelasi dengan alam. Manusia bisa memenuhi kebutuhannya dengan bantuan alam. Relasi yang baik antara manusia dana lam adalah ketika manusia yang punya akal budi dan kehendak bisa mengatakan cukup atas kebutuhannya. Tetapi bisa saja terjadi sebaliknya. Tak menutup kemungkinan bahwa manusia bersikap serakah dalam menggunakan kekayaan alam. Akibatnya, alam menjadi rusak. Dan ironisnya, hal ini terjadi karena kehendak manusia sendiri (Fransiskus 2016:7).

Unsur yang kedua dalam ungkapan ini adalah bersyukur. Bersyukur di sini lebih mengarah kepada disposisi pengendalian diri. Rasa syukur di sini dapat dipertemukan dengan proposisi sithik ora ditampik, akeh saya pikoleh (sedikit tidak ditolak, banyak akan diterima). Proporsi demikian mengajak orang untuk senantiasa bahagia dengan apa yang dimilikinya. Kata cukup menjadi pintu masuk ke dalam rasa syukur ini.

Rasa syukur ini bisa dilawankan dengan perilaku konsumtif manusia terhadap alam semesta. Relasi alam semesta sebagai jagad gedhe dan manusia sebagai jagad cilik menjadi tidak harmonis karena keserakahan manusia. Absennya rasa syukur membuat manusia selalu ingin mendapatkan yang lebih. Menaggapi realitas ini Paus Fransiskus (2016:125) menawarkan suatu sikap pertobatan ekologis. Kita sebenarnya dapat mengalami sukacita secara mendalam tanpa terobsesi dengan konsumsi. Ia mengingatkan setiap pribadi untuk kembali ke ajaran yang sudah terkandung dalam berbagai tradisi agama, yakni kurang adalah lebih.

Rasa syukur menawarkan manusia sebauh jalan yang telah dilupakan, yakni jalan kesederhanaan. Jalan ini mengingatkan kita untuk berhenti untuk berkubang dalam perilaku konsumtif dan kembali menghargai hal-hal kecil dan berterima kasih atas apa yang telah diberikan oleh kehidupan (Fransiskus, 2016:125).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Fransiskus. 2016. Laudato Si’; Terpujilah Engkau, terj. Martin Harun, OFM, Jakarta: Dokpen KWI.

    Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

    Suratno, Pardi dan Henniy Astiyanto. 2005. Gusti Ora Sare, Yogyakarta: Adi Wacana.


    Lihat Juga

    Unggah Ungguh (Bahasa Jawa: hal sopan santun dalam berbahasa)  Tepa Slira (Bahasa Jawa: tentang sikap tenggang rasa)  Adigang, Adigung, Adiguna (Bahasa Jawa: tentang sikap rendah hati) 

    Oleh :
    Fidelis Anggiornamento ()