Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Fai Walu Ana Halo (Lio-Ende: janda dan yatim piatu)


Suku Lio terletak di bagian tengah pulau Flores. Suku Lio masuk dalam wilayah kabupatern Ende dan di kenal dengan sebutan orang Lio-Ende. Secara umum di kabupaten Ende hanya memiliki satu suku yakni suku Lio. Dalam kehidupan sehari-hari suku Lio mengenal ada empat kelas sosial yaitu mosalaki (kepala adat), aji-ana, (kerabat dekat), fai walu ana halo (janda yatim piatu dan masyarakat umumnya) dan ata hoo (budak dan pelayan). Kelas pertama adalah mosalaki yang terdiri dari beberapa pejabat adat yaitu mosalaki pu’u sebagai pimpinan dan ria bewa sebagai pelaksana kekuasaan. Kelas kedua terdiri dari aji ana, mereka adalah kelas pendukung para mosalaki yang terdiri dari kaum kerabat para mosalaki. Mereka ini tergolong sebagai orang yang berjasa dalam mempertahankan atau memperluas tanah persekutuan. Kelas ketiga yaitu fai walu ana halo mereka adalah masyarakat kelas bawah sebagai kelas terbesar yang terdiri dari para petani dan masyarakat umumnya (Aron Meko Mbete Dkk, 2008:45). Kelas yang terakhir adalah ata ho’o mereka adalah para pelayan dan budak.

Seiring berkembangnya zaman dan hadirnya agama-agama, sistem perbudakan pun mulai hilang. Bahkan sekarang kelas tersebut telah hilang sama sekali. Dengan demikian yang menjadi kelas terakhir adalah fai walu ana halo. Secara harafia fai walu artinya janda dan ana halo artinya anak yatim piatu. Namun dalam kenyataan terminologi fai walu ana halo tidak diartikan sebagai janda dan yatim piatu tetapi yang dimaksdukan adalah para petani dan masyarakat umum. Sebenarnya para petani bisa digolongkan dalam kelas tersendiri karena tidak semua mereka adalah janda dan anak yatim piatu. Terminologi fai walu ana halo sebenarnya cocok jika diberikan kepada para janda dan yatim piatu.

Dalam kenyataan sehari-hari para janda dan anak yaitu piatu di pandang sebagai kaum yang lemah. Di pandang lemah dalam kaitannya dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Alasan penggunaan terminologi tersebut mungkin karena orang Lio memiliki kesamaan mata pencaharian. Jadi tidak ada pembedaan antara janda, anak yatim piatu, para petani dan masyarakat umum. Alasan kedua mungkin karena penggolongan tersebut tidak dilihat dalam situasi ekonomis tetapi secara adat istiadat. Di mana dalam upacara-upacara adat para fai walu ana halo ikut terlibat dalam berbagai ritus dan upacara adat. Sebagai kelas yang paling bawah fai walu ana halo hidup bergantung pada mosalaki. Mosalaki mengatur pembagian lahan untuk menggarap dan menjamin hak untuk memakai tanah. Selain itu mosalaki menetapkan denda adat atas pelanggaran-pelanggaran dalam mengelola tanah. Kelas masyarakat bawah, fai walu ana halo diberi hak oleh mosalaki hanya sebatas hak pakai atas tanah. Fai walu ana halo memiliki kewajiban untuk mematuhi setiap aturan yang ditetapkan oleh mosalaki. Hingga saat ini kekuasaan mosalaki diakui oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

Meskipun fai walu ana halo masuk dalam kelas bawah, para pemangku adat memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan melindungi fai walu ana halo. Hal ini diungkapkan dalam terminologi “bhoti hale ana halo fai walu raka mbale” (yatim piatu dan para janda harus dilindungi dan dijamin hak hidupnya oleh adat (mosalaki) supaya mendapatkan kehidupan yang layak. Sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan, mosalaki tidak bertindak semena-mena terhadap fai walu ana halo. Justru kekuasaannya digunakan untuk memberikan kesejahteraan kepada fai walu ana halo yang adalah anggota sukunya. Dalam pembagian tanah kepada fai walu ana halo, mosalaki menerapkan sistim keadilan. Oleh karena itu jarang sekali terjadi perkelahian dan pembunuhan karena perebutan tanah. Jika terjadi perkelahian maka tugas mosalaki adalah menyelesaikan pertengkaran di kalangan fai walu ana halo tersebut.

Mosalaki sebagai “pemilik tanah” tidak menggunakan kekuasaannya untuk memeras fai walu ana halo. Hasil usaha dan kerja keras dari fai walu dan halo dalam menggarap tanah digunakan untuk dirinya sendiri. Yang dituntut dari fai walu ana halo adalah keterlibatannya dalam setiap upacara-upacara adat. Hal ini ditekankan agar fai walu ana halo memiliki sikap tahu bersyukur dan menyadari bahwa segala sesatu yang didapatkan merupakan anugerah yang Mahakuasa. Dalam upacara tertentu fai walu ana halo di ajak untuk memohon berkat kepada Du’a Ngga’e (Tuhan Allah) yang Mahakuasa. Kata-kata doa tersebut terdapat dalam upacara Remba (pemanenan hasil ladang seperti umbi-umbian, sirih dan pinang). Dalam bahasa Lio-Ende doa tersebut diucapkan seperti ini:

Ooo Du’a Ngga’e gheta lulu wula. Kami gha oro keu. Susu nggua pu, nama bapu olo. Susu pu no’o keu kinga, nama bapu no’o uwi kulu... Nge bhondo-bhondo ma’e lo’o. Beka kapa-kapa ma’e mbere. Nge ata haki, ria tau dari nia. Nge ata fai tau pede api.

(Ya Tuhan penguasa buana. Kami lambungkan senandung prosesi ini. Dalam pelaksanaan prosesi adat. Ritual suci berlambang pinang dan ubi... Karena itu kami memohon. Berkatilah semua usaha kami. Turunkanlah pria penerus generasi. Turunkanlah wanita penata dapur api) (Aron Meko Mbete Dkk, 2008:142-143).

Simbol lain yang menunjukan kepedulian mosalaki terhadap fai walu ana halo adalah pakaian adat yang di kenakan oleh mosalaki. Satu dari pakaian tersebut adalah destar yang dikenakan oleh mosalaki di kepala yang berbentuk seperti telinga kerbau. Simbol tersebut mau mengatakan kepedulian mosalaki untuk mendengarkan keluh kesah dari para fai walu dan ana halo. Apa yang menjadi harapan fai walu ana halo akan didengarkan oleh mosalaki (Amatus Peta, 2017: 5).

Terminologi fai walu ana halo sebagai kelas pekerja dalam kebudayaan Lio-Ende menjadi tamparan keras bagi dunia kapitalisme masa kini. Di dalam dunia kapitalisme, keahlian seorang pekerja diarahkan pada suatu pencapaian yakni keuntungan bagi sang pemilik modal. Tuntutan lain dari dunia kapitalis adalah kunggulan dari hasil produksi. Para pekerja dituntut untuk bekerja secara profesional demi memacu peningkatan produksi dan mencegah kerugian. Dengan demikian kebebasan dalam profesionalitas seorang pekerja telah hilang. Dunia kapitalis juga menuntut para pekerja untuk memiliki ketaatan terhadap segala norma dan kebijakan (Valentinus Saeng, 2012: 118-119).

Dalam seluruh adat istiadat suku Lio-Ende tidak ada diskriminasi dan ketidakadilan terhadap fai walu dan ana halo. Sebagai kelas bawa mereka mendapat hak untuk hidup sama seperti kelas-kelas lain. Keberadaan mereka diakui dan di jamin kehidupannya. Kebebasan fai walu dan ana halo dihargai dalam hal mengolah dan menggarap lahan yang diberikan oleh mosalaki. Mosalaki tidak mengambil keuntungan dari fai walu ana halo. Fai walu ana halo malahan dibentuk menjadi manusia yang berbudaya dan memilki jiwa religius. Terminologi fai walu ana halo sungguh-sungguh menegur para pemiliki modal agar berlaku adil terhadap para pekerja. Kebebasan sebagai seorang pekerja harusnya diberi ruang. Dalam kebebasan tersebut manusia menemukan dirinya sebagai individu yang memiliki kreativitas dan potensi-potensi serta bakat-bakat.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Mbete, Aron Meko dkk. 2008. Nggua Bapu: Ritual Perladangan Lio-Ende, Denpasar: Pustaka Larasan.

    Peta, Amatus. 2017. “Pakaian Adat Ende Lio Sebagai Warisan Budaya Nusantara dalam Warta Flobamora. 50-Maret 2017.

    Saeng, Valentinus. 2012. Herbert Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, PT Gramedia Pustaka Utama.


    Lihat Juga

    Wurumana (Bahasa Lio-Ende: “hal gotong royong”)  Ragi Lambu, Luka Lesu (Bahasa Lio-Ende: pakaian adat untuk pria Lio-Ende)  Ata Polo (Bahasa Lio-Ende: orang jahat atau suanggi) 

    Oleh :
    Rikardus ()