Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Wurumana (Bahasa Lio-Ende: “hal gotong royong”)


Lio adalah nama sebuah suku yang terletak di kabupaten Ende Flores tengah Nusa Tenggara Timur. Suku Lio dikenal juga dengan nama Lio-Ende. Kata Ende di tambah supaya orang tahu bahwa suku tersebut berada di wilayah kabupaten Ende. Sama seperti suku-suku lain di Indonesia suku Lio-Ende juga memiliki aneka budaya dan tradisi. Hingga sekarang suku Lio-Ende masih mempertahankan kebuadayaan dan adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur. Wurumana adalah salah satu warisan yang masih di pertahanakan hingga kini. Wurumana merupakan sebuah tradisi kekeluargaan di mana terjadi saling memberi. Hubungan timbal balik antara berbagai pihak di dalam sebuah keluarga besar ini biasanya terjadi dalam acara-acara keluarga misalnya dalam pesta perkawinan. Wurumana bisa berbentuk tenaga, uang, hewan dan barang yang diperlukan dalam upacara tersebut. Tradisi yang sama terdapat pula di Manggarai Flores. Orang Manggarai menyebutnya sida (meminta sumbangan wajib). Sida dilakukan dalam kesempatan persiapan perkawinan. Sida bisa berbentuk uang atau kuda (Petrus Janggur, 2010: 139-140).

Sebelum acara dilaksanakan pihak yang akan mengadakan acara, memberikan informasi kepada seluruh keluarga besar yang akan diikutsertakan dalam acara tersebut. Informasi disampaikan jauh sebelum acara dilakukan. Tujuannya adalah keluarga besar dapat mempersiapkan diri untuk berpartisipasi dalam acara terebut. Keluarga besar melakukan musyawara (tebo bou, lo mondo) di rumah yang akan melaksanakan acara. Semua anggota keluarga dilibatkan dalam musyawara untuk mempersiapkan segala sesuatu. Hal-hal yang dibicarakan adalah seputar biaya, tempat dan waktu terselenggaranya acara. Keluarga pelaksana acara menyampaikan apa saja yang masih kurang sehingga dapat dibantuh oleh anggota keluarga besar. Musyawara juga membentuk panitia, singkat kata tebo bou, lo mondo dilakukan untuk kelancaran acara.

Wurumana memiliki beberapa kategori dan dalam pelaksanaannya ada yang bersifat terikat dan ada juga yang tidak. Adat istiadat Lio-Ende mengenal tiga golongan wurumana. Pertama adalah ana embu (anak, moyang) mereka adalah orang yang memiliki kewajiban untuk memberikan emas, uang dan hewan. Pihak yang juga termasuk dalam golongan pertama ini adalah mereka yang merasa sebagai saudari dengan pihak pria. Pihak saudari (kaum wanita) harus memenuhi dan memberi bantuan kepada pihak saudara (kaum pria) oleh karena garis keturunan.

Golongan kedua adalah ine ame (ibu ayah) mereka adalah pihak yang wajib memberikan sandang dan pangan atau barang-barang lainnya selain emas, hewan dan uang. Ine ame adalah ayah dan saudara laki-laki. Pada umumnya keluarga dari isteri dan orang yang merasa dirinya adalah saudari dengan istri. Golongan ketiga adalah tuka bela-aji kae (keluarga jauh atau kerabat). Golongan ketiga ini dapat menyumbangkan tenaga atau barang. Bantuan dari tuka bela aji kae tidak bersifat wajib tapi sukarela. Pemberian berdasarkan kesadaran untuk saling tolong menolong sebagai saudara tanpa ada paksaan (https://www.marlin-bato.com).

Pada dasarnya manusia memiliki jiwa sosial. Tidak ada satu manusiapun yang tidak membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Hidup manusia selalu terpaut dengan manusia lain. Wurumana ala suku Lio-Ende memperlihatkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri dalam mempertahankan hidupnya. Manusia Lio-Ende memiliki kesadaran etis berkaitan dengan kehidupan bersama. Kehidupan bersama yang membutuhkan tangan-tangan lain untuk menopan hidup.

Saling tolong menolong dalam kehidupan merupakan tindakan kebaikan dan apa yang disebut dengan baik itu harus dilakukan. Keharusan ini timbul dari sebuah kenyataan bahwa hidup harus dibela dan diperjuangkan. Manusia memiliki di dalam dirinya kodrat baik. Kodrat baik manusia mencetuskan “harus”. Menurut Aristoteles, apa yang di pandang sebagai baik itu harus dilakukan karena memiliki tujuan yakni kebahagiaan (Armada Riyanto, 2014: 275).

Perubahan zaman yang terjadi dalam hitungan detik mendesak manusia turut berubah dalam segala hal. Arus globalisasi terus menerus menghantui kehidupan manusia dan memunculkan berbagai persoalan baru. Persoalan baru yang berkaitan dengan pergaulan dan perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat. Perubahan tersebut didukung oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih. Zaman ini memang berbeda dengan zaman dahulu di mana orang-orang hidup dalam persatuan yang menekankan kerjasama. Manusia jatuh dalam perilaku individualisme. Manusia mementingkan diri sendiri dibandingkan kepentingan orang lain. Kepedulian semakin luntur dan menyebabkan orang kurang peka akan situasi disekitarnya.

Perilaku individual membuat orang menutup diri terhadap dunia lain dan mengerjakan segala sesuatu seperti apa yang ia inginkan. Masyarakat kota menjadi salah satu contoh perilaku individual di mana rumah-rumah dipagari tembok yang tinggi. Hal ini menyebabkan kurangnya interaksi dan miskinnya komunikasi diantara masyarakat sekitar. Orang-orang yang tenggelam dalam perilaku individual sering merasa tidak dibutuhkan oleh orang lain dan senang dalam kesendirian. Sebab lain dari perilaku individual adalah kurang menaruh percaya terhadap orang lain. Akibat dari perilaku individual adalah kehilangan empati dan solider terhadap sesama seiring dengan itu juga muncul sikap egois.

Wurumana merupakan warisan nenek moyang Lio-Ende yang ada sejak dahulu kala. Dengan warisan ini orang Lio-Ende dibentuk menjadi manusia yang memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap situasi hidup orang lain. Budaya wurumana merupakan tindakan yang mengundang hubungan timbal balik. Hubungan dan kerjasama ini tidak bersifat memaksa tetapi secara cuma-cuma atau sukarela. Kerelaan seseorang dalam kerja sama dengan orang lain adalah ciri dari wurumana. Wurumana menjadi momen mempererat persatuan dalam hubungan kekeluargaan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan. Wurumana mendesak individu-individu untuk duduk bersama memecahkan sebuah persoalan. Dalam kebersamaan tersebut terjadi interaksi antara satu dengan yang lain.

Wurumana memberikan corak terhadap kebudayaan Lio-Ende yang memiliki sikap solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas tersebut dibuktikan dengan memberikan diri secara suka rela kepada orang yang membutuhkan. Di dalam pemberian diri terkandung nilai cinta kasih terhadap sesama yang berkekurangan. Krisis besar yang melanda dunia zaman ini salah satunya adalah miskin cinta kasih. Cinta kasih seolah-olah hilang dari peredaran zaman dan orang jatuh dalam cinta diri yang begitu tinggi. Membagikan cinta kasih terhadap orang lain menjadi tantangan bagi manusia zaman ini. Orang ditantang untuk menanggalkan ego pribadi dan mau membagi kasih kepada sesama yang kehilangan harapan. Membagikan kasih kepada orang-orang yang merasah di tinggalkan dan hidup sendirian. Ketiadaan kasih merupakan dukacita bagi kita semua yang menginginkan hidup dalam persaudaraan yang sejati. Hidup dalam sebuah komunitas yang saling bahu membahu dalam memecahkan dan menghadapi persoalan kehidupan. Setiap kita yang berkehendak baik siapapun kita, kita semua di panggil untuk terus melakukan perbuatan kasih. Tidak mementingkan diri sendiri tetapi rela mengorbankan diri demi orang lain. Kasih yang kita berikan sangatlah berarti bagi mereka yang putus asa dan ditinggalkan. Kasih memberikan semangat berjuang dan kasih mampu menghalau duka cita dan kecemasan menjadi terang bagi kehidupan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Janggur, Petrus. 2010. Butir-Butir Adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.

    Riyanto, Armada. 2014. Katolisitas Dialogal Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta: Kanisius.

    https://www.marlin-bato.com., diakses pada Kamis, 4 Mei 2017, pkl, 17:30.


    Lihat Juga

    Fai Walu Ana Halo (Lio-Ende: janda dan yatim piatu)  Ragi Lambu, Luka Lesu (Bahasa Lio-Ende: pakaian adat untuk pria Lio-Ende)  Ata Polo (Bahasa Lio-Ende: orang jahat atau suanggi) 

    Oleh :
    Rikardus ()