Ragi Lambu, Luka Lesu (Bahasa Lio-Ende: pakaian adat untuk pria Lio-Ende)
Di Lio-Ende NTT memiliki pakian adat untuk pria yang disebut dengan ragi lambu luka lesu. Ragi lambu (sarung baju) merupakan busana adat yang dikenakan oleh kaum pria. Secara harafia ragi artinya sarung dan lambu artinya baju. Ragi merupakan hasil tenun ikat masyarakat Lio-Ende. Ragi memiliki corak dan didominasi warna hitam dengan garis-garis vertikal. Ada dua jenis ragi, pertama disebut ragi sura dari (sarung dengan motif garis-garis vertikal) dan yang kedua ragi sura rembe atau mbao (sarung dengan motif garis-garis horisontal) (Amatus Peta, 2017: 4). Sedangkan lambu yang sering dikenakan oleh kaum pria biasanya berwarnah putih polos. Dalam upacara dan tarian para pria biasanya ada yang tidak mengenakan baju. Selain itu ada juga yang hanya mengenakan singlet ataupun baju kaos putih oblong. Baju motif Lio-Ende ada ketika masyarakat mulai mengenal mesin jahit. Dalam ritus-ritus adat jarang sekali ditemukan kaum pria mengenakan baju dengan motif Lio-Ende. Namun yang sesungguhnya dalam upacara-upacara adat para pelaku ritual semestinya tanpa kameja atau baju (Aron Meko Mbete, 2008:161).
Ragi memiliki perlengkapan selain lambu yaitu luka (selendang) dan lesu (destar). Luka merupakan hasil tenun orang Lio-Ende. Luka dikenakan menyilang dari bahu kiri dan di beri peniti di pinggang bagian kanan. Luka terbuat dari bahan untuk sarung perempuan begitu pula dengan motifnya. Lesu di kenakan dengan di ikat pada kepala. Lesu bukanlah hasil tenun daerah Lio-Ende. Untuk mendapatkannya lesu dapat di beli di pasar atau toko. Lesu yang ikat pada kepala berbentuk seperti kerucut. Dalam kebudayaan Jawa lesu dikenakan juga pada kepala namun bentuknya berbeda. Di Jawa lesu di buat seperti topi sedangkan di Lio-Ende di ikat pada kepala dan berbentuk seperti kerucut. Busana adat asli bagi pria Lio-Ende aslinya adalah ragi, luka dan lesu (Aron Meko Mbete, 2008: 161).
Ada kekhususan dalam memakai pakian adat Lio-Ende. Para pemangku adat dan mosalaki (kepala adat) mengenakan lengkap yakni ragi, luka, lesu dan lambu. Mosalaki dan pemangku adat lainnya dalam acara-acara adat mengenakan baju kemeja lengan panjang berwarna putih. Kalau pun ada yang memakai baju kaos, baju tersebut biasanya berkerak. Namun demi menjaga wibawa para Mosalaki mengenakan baju kameja lengan panjang. Pemakaian pakaian adat tersebut melalui sebuah ritual adat. Nama ritual tersebut adalah podi lesu (mengikat lesu di kepala) bao luka (mengalungkan selendang). Ritual Podi lesu bao luka tidak dilakukan setiap kali mengenakan pakian adat. Ritual podi lesu bao luka dilakukan ketika seorang pria ditunjuk sebagai pengganti mosalaki. Ritual podi lesu bao luka merupakan bagian dari rangkian ritual pai talu niu oe (ritual pergantian mosalaki). Calon penerus atau pengganti mosalaki disebut sebagai “dari nia pase la’e” (penerus, pewaris). Secara hurufia dari nia berarti berdiri di depan dan pase la’e pengganti keududukan. Ritual (podi bao) pemakian pakian adat dilakukan jika ada mosalaki yang meninggal dunia. Upacara tersebut memberi kedudukan dan fungsi seorang mosalaki dalam struktur kemasyarakatan orang Lio-Ende. Setelah upacara pemakian pakian adat selesai, pengganti mosalaki yang telah meninggal tersebut sah menjadi seorang mosalaki. Dengan pakaian kebesarannya sang mosalaki baru bergabung dengan kelompok mosalaki lainnya. Dalam kebersamaan para mosalaki melakukan makan bersama dan dialog bersama. Upacara podi bao dengan demikian menjadi simbol kebesaran seorang mosalaki. Kebesaran mosalaki tersebut berkaitan dengan kekuasaan (mosa nua ola, laki ulu eko) dalam sebuah wilayah tertentu.
Dalam kebudayaan orang Lio-Ende ragi yang dikenakan oleh seseorang menunjukan status dan kedudukan orang tersebut. Ukuran ragi yang panjang dan lebar yang dikenakan oleh seseorang menunjukan bahwa ia memiliki kedudukan yang tinggi dan memiliki peran yang penting. Pria Lio-Ende memiliki beberapa jenis ikatan dan model menggunakan ragi. Pertama, ragi one lo’o (sarung berukuran normal). Model ragi one lo’o di kenakan oleh kaum pria dengan ikatan pongge atau Bhanggo loru (ikatan dari pinggang dan batas sampai mata kaki). Cara memakainya adalah dengan memanjang dari pinggang ke bawah dan batasnya tepat pada mata kaki. Kedua, ragi one ria (sarung berukuran besar). Cara mengenakannya adalah dengan model ikatan pongge sewi (ikatan memanjang dari pinggang ke bawah). Ikatan memanjang dari pinggang ke bawah pada bagian ujung bawah sarung pada sisi kiri dan kanan dilipat ke atas dan disisipkan tepat pada lipatan ikatan batas atas pada posisi pinggang yang umumnya dililit dengan ikat pinggang. Sehingga lengkungan atau lipatan pada ujung bawahnya berada tepat di posisi lutut para pemakai. Ikatan pongge sewi merupakan simbol kebesaran dan hanya digunakan untuk para pemimpin suku. Perlengkapan pakian adat lain yang juga memiliki cara pemakian adalah luka dan lesu. Luka memiliki ukuran dan nama yang berbeda. Luka yang berukuran normal tetap disebut dengan luka. Sedangkan luka yang berukuran besar dan panjang di sebut dengan semba. Sama halnya dengan ragi, ukuran luka yang di pakai oleh seseorang menentukan status sosialnya. Pada umumnya lesu hanya dikenakan oleh Mosalaki Pu’u. Pemakaian lesu memiliki dua pola ikatan. Model ikatan yang pertama, podi losu atau podi jando (ikatan lonjong) dan podi hinga kamba (ikatan telinga kerbau). Untuk model ikatan yang pertama pada bagian kepala yang mana warna merah atau hitam mengintari kepala. Untuk tuka lesu (putih destar) di tonjolkan ke atas di bagian depan kepala berbentuk segi tiga sama kaki. Model ikatan tersebut memiliki simbol bagi sang mosalaki yakni simbol kepekaan. Peka dan peduli terhadap situasi sosial masyarakat dengan segala persoalan yang terjadi.
Pola ikatan kedua yakni hinga kamba, pada bagian tengah lesu mengintari kepala. Bagian pinggir kiri dan kanan membentuk ikatan gantung dan batasnya pada dagu yang menyerupai telinga kerbau. Ikatan ini juga memiliki simbol yang dalam kehidupan bersama merupakan hal mendasar bagi seorang mosalaki yakni mendengarkan. Mendengarkan apa yang menjadi keluhan dan harapan anggota sukunya. Dalam kebudayaan orang Lio-Ende fai walu (janda) dan ana halo (yatim piatu) mendapat perhatian dari mosalaki. Simbol ikatan hinga kamba menjadi tanda pengingat bagi seorang mosalaki untuk mendengarkan jeritan hati fai walu ana halo.
Proses pembuatan pakaian adat suku Lio-Ende sampai sekarang masih mengenal cara tradisional. Cara ini khusus, dalam membuat pakian adat untuk kalangan mosalaki Pu’u, isteri beserta anak-anaknya. Bahan tradisional yang digunakan untuk pembuatan pakian adat ini adalah menggunakan bahan nila atau taru (jenis tumbuhan ketika diolah akan menghasilkan air berwarna hitam). Tumbuhan lain adalah kembo (jenis tumbuhan ketika diolah akan menghasilkan air berwarna kuning dan merah). Penggunaan bahan pewarna tradisional ini akan menghasilkan pakian adat yang lebih berkualitas, tahan lama dan tidak mudah luntur. Sedangkan untuk masyarakat umumnya dan anggota mosalaki lainnya dapat menggunakan bahan pembuatan pakaian modern.
Di tengah situasi zaman yang menampilkan busana modern dengan sulaman yang memukau, pakaian daerah tidak kehilangan pamornya. Hal ini terbukti ketika para petinggi negara bahkan para selebritis Indonesia terlihat bangga mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah. Presiden Jokowi Widodo ketika melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah terlihat mengenakan pakaian adat setempat. Tindakan Presiden tersebut hendaknya menggugah hati setiap kita untuk memiliki kebanggaan terhadap hasil karya kita sendiri. Kebanggaan itu diwujudnyatakan dengan melestarikan warisan berharaga dari nenek moyang kita tersebut.
Bibliografi
Mbete, Aron Meko dkk. 2008. Nggua Bapu: Ritual Perladangan Lio-Ende, Denpasar: Pustaka Larasan.
Peta, Amatus. 2017. “Pakaian Adat Ende Lio Sebagai Warisan Budaya Nusantara” dalam Warta Flobamora. 50-Maret 2017.
Lihat Juga
Wurumana (Bahasa Lio-Ende: “hal gotong royong”) | Fai Walu Ana Halo (Lio-Ende: janda dan yatim piatu) | Ata Polo (Bahasa Lio-Ende: orang jahat atau suanggi) |
Rikardus ()