Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Haé wa’u (Bahasa Manggarai: Haé : sesama, sahabat; Wa’u: turun, keturunan, garis keturunan, bisa pula diartikan sebagai keluarga besar satu suku)


Dalam sistem sosial orang Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal yang disebut dengan haé wa’u (Bahasa Manggarai: Haé : sesama, sahabat; Wa’u: turun, keturunan, garis keturunan, bisa pula diartikan sebagai keluarga besar satu suku. Ketiga pengertian terakhir inilah yang dimaksud dalam tulisan ini, yaitu keturunan, garis keturunan, bisa pula diartikan sebagai keluarga besar satu suku). Haé wa’u merupakan lingkaran kekeluargaan yang terjalin karena hubungan darah atau karena berada dalam suku yang sama. Sebuah suku/wa’u dipimpin oleh seorang kepala suku/wa’u.

Wa’u atau suku terdiri dari keluarga-keluarga. Keluarga-keluarga ini pun berasal dari latar belakang yang berbeda, terutama pendidikan dan ekonomi. Keharmonisan yang tercipta dalam satu wa’u atau suku sangat tergantung pada dalamnya relasi antara keluarga-keluarga. Meskipun latar belakang pendidikan dan ekonomi yang berbeda, di dalam satu suku atau wa’u tidak dikenal strata sosial. Mereka adalah sesama saudara. Memang tidak ada tuntutan bahwa keluarga yang mampu harus membantu keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, akan tetapi tuntutan untuk saling menghargai dan mendukung sangat ditekankan. Tidak ada satu keluarga pun yang karena jabatan sosial atau kekayaan dapat menganggap dirinya lebih dari yang lain. Tidak ada pula perlakuan secara istimewa terhadap keluarga-keluarga tertentu. semua keluarga dalam satu suku atau wa’u memiliki kewajiban adat yang sama.

Sesama haé wa’u terikat pada sebuah kewajiban yang sama. Kewajiban sesama haé wa’u adalah menciptakan keharmonisan, kekompakan, keakraban, kekeluargaan. Hal itu sangat penting karena hubungan antara sesama haé wa’u tidak dapat digantikan dengan hubungan lain. Relasi ini menguat secara nyata dalam setiap upacara/ritual adat orang Manggarai.

Upacara adat selalu berhubungan dengan haé wa’u, selain bahwa ada undangan yang hadir. Tidak peduli apakah upacara adat itu diselenggarakan oleh kampung tertentu. Tetap ada kewajiban masing-masing suku atau wa’u untuk mengundang haé wa’u-nya (paling kurang yang terdekat). Kehadiran haé wa’u dalam sebuah upacara adat merupakan ungkapan paling nyata bagi suku lain, sejauh mana sebuah suku menjalani kehidupan kekeluargaan mereka sebagai satu kesatuan yang utuh. Semakin banyak haé wa’u yang hadir dalam sebuah upacara adat, semakin meriah suasana yang terbangun dan semakin tampak kekompakan dan kekluargaan yang dibangun. Setiap upacara adat yang dilakukan dalam suku/wa’u sendiri selalu bersifat penegasan identitas dan kehadiran sebuah suku di dalam kontek kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Identitas sebagai haé wa’u terungkap secara nyata, jelas, mengagumkan dalam setiap upacara/ritual adat yang dilaksanakan. Apakah yang terjadi ketika satu suku atau wa’u hidup dalam perpecahan, pertikaian? Sentuhan pertama langsung mengarah pada identitas. Identitas kekeluargaan, kebersatuan, kebersamaan menjadi hilang. Tidak ada artinya sebuah suku kalau tidak memiliki identitas sebagai satu keluarga besar. Oleh karena itu, dalam satu suku atau wa’u perlu selalu ada kesempatan untuk melakukan bantang cama (berunding bersama) dalam suasana lonto léok (duduk melingkar, bermusyawarah). Salah satu ungkapan yang bisa diterapkan berhubungan dengan usaha atau perjuangan hidup bersama dalam satu suku (bahkan juga masyarakat luas) adalah neka bike ca lide, neka behas ca cewak (bahasa Manggarai: neka: jangan, bike: pecah; ca: satu, se-, lide: wadah yang terbuat dari anyaman bambu; behas: terlepas dari ikatan; cewak: labu air yang dapat dipakai sebagai wadah pengganti piring). Ungkapan ini merupakan ekspresi dari harapan agar hidup manusia dalam masyarakat (suku) tetap satu, utuh, kompak dan rukun. Setiap anggota suku (masyarakat) memiliki tugas untuk menjaga, memelihara dan membina persatuan, keutuhan, kekompakan, dan kerukunan dalam hidup bersama (Deki, 2011: 138).

Haé wa’u merupakan salah satu alasan bagi orang Manggarai untuk bisa bertahan dalam kebersamaan sebagai satu keluarga atau satu suku.Perpecahan yang terjadi dalam sebuah suku dapat terjadi karena sesama haé wa’u tidak lagi menganggap kebersamaan itu sebagai sebuah kebutuhan dan tanda keharmonisan. Ketidakhadiran sesama haé wa’u dalam sebuah acara/ritual adat bukanlah sesuatu yang wajar. Wajar jika berbenturan dengan kepentingan lain yang tidak bisa dikorbankan.

Haé wa’u juga merupakan simbol kekuatan, namun bukan untuk perang. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan untuk mempertahankan kelestarian suku. Suku-suku yang sedikit anggotanya akan sangat kesulitan untuk bisa bertahan, bahkan ditemukan suku-suku di Manggarai yang terancam punah atau sudah punah.

Relasi yang terjalin antara sesama haé wa’u adalah relasi yang didasari oleh cinta dan kerinduan untuk selalu bersatu. Semua jenis kegiatan dan terutama upacara adat dalam wa’u atau suku bukan hanya kesempatan untuk merayakan atau mensyukuri kebersamaan, tetapi juga kesempatan untuk mempererat rasa cinta di antara sesama mereka. Di dalamnya semua orang berusaha untuk memberikan seluruh diri beserta seluruh talentanya. Di sini berlaku cinta sebagai bentuk pemberian diri. Tepatlah di sini jika dikaitkan dengan apa yang dikatakan Pandor bahwa cinta yang memberi itu melampaui. Artinya ia tidak merupakan kewajiban. Memberi dalam cinta tidak ada hubungannya dengan apa yang dimiliki. Cinta tidak mengharapkan sesuatu (Pandor, 2014: 83)

Relasi yang terjalin dengan baik dan harmonis dalam wa’u/suku sendiri akan sangat menentukan relasi mereka dengan sesama dari wa’u atau suku lain. Oleh karena itu, dalam satu wa’u harus ada sikap saling menerima satu sama lain. dengan kata lain, relasi yang terjadi di dalam satu wa’u bukanlah sebuah relasi eksklusif, tertutup. Relasi yang terjalin baik dalam satu suku menjadi dasar bagi keterbukaan terhadap relasi dengan suku-suku lain. kesadaran sebagai satu suku tetap dibingkai oleh kesadaran akan kehadiran orang lain pada umumnya. Wa’u atau suku mempunyai tanggung jawab ke dalam dan ke luar. Ke dalam berarti menyangkut tanggung jawab terhadap sesama anggota wa’u atau suku. Ke luar berarti menyangkut tanggung jawab terhadap kehidupan sosial dengan suku-suku lain.

Orang Manggarai, pada umumnya, masih terikat oleh relasi dalam satu wa’u atau suku. Relasi yang dibangun di dalamnya merupakan relasi cinta. Mereka hidup dalam saling membutuhkan, saling melengkapi, saling mendukung dalam suasana persaudaraan dan kekeluargaan. Setiap manusia pun sangat terikat oleh relasi dengan sesamanya, entah karena hubungan darah atau karena satu suku maupun karena berada bersama yang lain pada umumnya. Kesadaran akan keterkaitan satu sama lain sangat dituntut di dalamnya.

Kiranya tidak dapat disangkal bahwa relasi yang terbagun karena hubungan darah atau karena satu suku atau wa’u menjadi dasar bagi relasi yang terjalin dengan masyarakat manusia secara luas. Semua manusia dipanggil kepada persekutuan dengan sesamanya untuk menjalin persaudaraan seraya tetap mengingat bahwa sesama saudara di sekitarnya masih terikat hubungan sebagai sesama saudara-saudari (bdk. Deki, 2011: 139). Itulah sebabnya, relasi itu adalah relasi cinta yang disertai dengan pemberian diri yang total. Cinta itu pemberian. Aku diberi Cinta untuk memberi diri, membagi diri. Cinta tidak mungkin membuat hidup berhenti, beku di dalam diri sendiri (Riyanto, 2013: 165).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Deki, Kanisisus Theobaldus, 2011. Tradisi Lisan Orang Manggarai Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, Jakarta: Parrhesia Institute.

    Pandor, Pius, 2014. Seni Merawat Jiwa Tinjauan Filosofis, Jakarta: Obor.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Asé-ka’é pa’ang blé (Bahasa Manggarai: Asé: adik; ka’é: kakak; pa’ang: gerbang kampung; blé: di sebelah/seberang, dunia lain)  Ipung ca tiwu néka woléng wintuk (Bahasa Manggarai: Ipung: ipun; ca: satu, se-; tiwu: kolam; néka: jangan; woléng; berbeda, berlainan; wintuk: aturan, urusan, tindak tanduk, sikap)  La’at (Bahasa Manggarai: melawat, menjenguk, mengunjungi) (Verheijen, 1967: 239) 

    Oleh :
    Adrianus Ranja ()