Ipung ca tiwu néka woléng wintuk (Bahasa Manggarai: Ipung: ipun; ca: satu, se-; tiwu: kolam; néka: jangan; woléng; berbeda, berlainan; wintuk: aturan, urusan, tindak tanduk, sikap)
Ipung ca tiwu néka woleng wintuk merupakan salah satu bentuk go’et (ungkapan, peribahasa) Manggarai. Go’et tersebut merupakan salah satu go’et dipakai pada kesempatan-kesempatan khusus seperti dalam berbagai upacara adat, yaitu penti (syukur panen sekaligus pergantian tahun/pergantian musim), congko lokap (peresmian rumah adat), randang (pembukaan ulayat baru), dan lain sebagainya. Selain itu digunakan pula dalam syair-syair lagu Manggarai (bdk. Janggur, 2008: 103). Gaya bahasa kiasan dalam go’et ini menampilkan ciri sebuah komunitas yang dijiwai oleh kebersamaan, persatuaan, keakraban.
Ungkapan ini bernada perintah sekaligus ajakan. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari penggunaan istilah “néka” (jangan). Perintah dan ajakan ini ditujukan kepada seluruh masyarakat yang hadir dalam upacara adat bersangkutan, baik kecil maupun besar, tua muda, laki-laki perempuan. Biasanya disampaikan oleh tua adat dalam bentuk nyanyian atau ceramah.
Perjuangan atau usaha untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis, akur, seia-sekata merupakan usaha semua orang Manggarai, tanpa kekecualian dalam bentuk apapun. Dalam porsi masing-masing (meskipin kecil) semua orang berusaha mengarahkan seluruh perhatiannya kepada kehidupan bersama yang damai dan tanpa perselisihan. Landasan dari perintah tersebut adalah cinta akan persaudaraan, kekeluargaan, persatuan. Dengan kata lain, perjuangan itu disertai dengan cinta terhadap kehidupan bermasyarakat. Cinta yang dimaksud di sini identik dengan pengabdian yang dilakukan secara sukarela. Setiap orang berusaha memberikan yang terbaik dari dirinya.
Perintah dan ajakan ipung ca tiwu néka woleng wintuk merupakan sebuah perintah dan ajakan untuk mencintai kebersamaan, kekeluargaan, perbedaan. Karena itu cinta itu juga menuntut kepercayaan yang paling besar. Pertama, kepercayaan bahwa tindakan kita membuahkan sesuatu yang positif bagi kehidupan sesama di sekitar kita. Demikian pula kepercayaan bahwa dengan melakukan semuanya itu kehidupan kita sebagai masyarakat menjadi lebih berarti (bdk. Chandra, 2006: 102).
Perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Manggarai yang solid dan terarah pada satu tujuan, pertama-tama karena mereka adalah ipung ca tiwu (ipun yang berada di dalam kolam yang sama). Mereka hidup dalam konteks dan situasi yang sama, menikmati “air kolam” yang sama. Oleh karena itu mereka tidak boleh woleng wintuk (menunjukkan sikap, perilaku, tindak tanduk) yang berlainan dan berlawanan. Sikap, cara hidup, tindak tanduk mereka terhubung satu sama lain. Artinya, kehadiran mereka sangat menentukan keberlangsungan hidup mereka satu sama lain dan sebagai satu komunitas. Keberhasilah seorang adalah keberhasilan bersama. Begitu pula kegagalan seseorang merupakan kegagalan bersama.
Ungkapan ipung ca tiwu néka woleng wintuk berhubungan erat dengan apa yang disebut bantang cama (Bahasa Manggarai: bantang: berunding, beremuk; cama: bersama-sama). Kerukunan yang diharapkan dari perintah ipung ca tiwu néka woleng wintuk dapat tercapai, salah satunya, melalui bantang cama. Bantang cama menyangkut peran masing-masing orang Manggarai dalam mewujudkan komunitas hidup yang harmonis. Kerukunan, kekeluargaan, persaudaraan itu merupakan usaha dan perjuangan yang harus dilakukan secara bersama-sama. Bantang cama ini berlangsung dalam lonto leok (duduk melingkar/duduk bersama). Bantang cama dalam lonto leok itu tidak hanya sebagai pencegah, antisipasi, tetapi juga sebagai solusi dari terjadinya woleng wintuk.
Harapan yang terungkap dalam perintah dan ajakan ipung ca tiwu néka woleng wintuk hanya dapat terpenuhi atau tercapai kalau orang Manggarai mempunyai kesediaan dan kesempatan lonto leok (duduk bersama) untuk bantang cama (berunding bersama). Di sinilah terungkap dengan jelas bahwa perintah dan ajakan ipung ca tiwu néka woleng wintuk merupakan sebuah proses yang harus dilalui secara bersama-sama. Itu merupakan sebuah perjuangan yang tidak mengenal batas. Sejauh orang Manggarai tetap hidup bersama yang lain, sejauh itulah proses tersebut dilalui dan dihidupi.
Perintah dan ajakan ipung ca tiwu néka woleng wintuk tidak memaksudkan sebuah desakan penyeragaman sikap, tingkah lau atau tindakan, perasaan. Tuntutan yang tergambar di dalamnya adalah sebuah penyadaran agar perbedaan yang ada dijadikan sebuah kekayaan. Kekayaan itulah yang dijadikan sarana untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan santun. Dengan kata lain keunikan masing-masing sebagai pribadi tetap dijunjung tinggi dan dihargai. Justru karena keunikan itulah yang membuat usaha dan perjuangan untuk mencapai keharmonisan disebut sebagai perjuangan yang tidak akan selesai. Artinya, yang terjadi dalam perjuangan itu adalah menjadikan keunikan itu bukan sebagai malapetaka tetapi sebagai kesempatan untuk salaing melengkapi dan memperkaya kehidupan bersama.
Kebersamaan atau hidup bermasyarakat itu merupakan sebuah kesadaran yang lahir dari rasa saling membutuhkan, melengkapi, melindungi, mendukung, mencintai, menghargai. Maka, usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat juga berasal dari setiap pribadi. Setiap pribadi bukanlah suatu bagian yang pasif dari masyarakat, tetapi bagian yang harus aktif (bdk. Chandra, 2006: 101). Dalam hal ini Chandra sangan menekankan peran aktif pribadi dalam membangun sebuah masyarakat yang harmonis, indah, damai, tidak woleng wintuk. Hal ini dapat diterima karena kenyataan bahwa pribadi-pribadilah yang membentuk masyarakat. Maka, usaha atau perjuangan masyarakat perlu berangkat dari kesadaran-kesadaran pribadi. Kesadan-kesadaran pribadi itulah yang membentuk sebuah kesadaran akbar, yaitu kesadaran kolektif. Ketika kesadaran kolektif terbentuk, maka bisa dipastikan bahwa kesadaran pribadi akan semakin diperkuat dan selanjutnya kesadaran kolektif lebih kuat lagi. Begitilah seterusnya, sehingga membentuk suatu lingkaran yang tidak berujung. Pemahaman terhadap ungkapan ipung ca tiwu néka woléng wintuk dapat dipahami secara demikian.
Perintah dan ajakan ipung ca tiwu néka woleng wintuk yang terdapat dalam masyarakat Manggarai merupakan sebuah perintah dan ajakan yang ditujukan bagi semua manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain. Akan tetapi, dalam kebersamaannya dengan orang lain, ia bisa menjadi “yang lain sama sekali” dan menyimpang dari kebersamaan. Maka, perlulah kesadaran bahwa setiap pribadi berada di dalam “kolam” yang sama. Artinya, setiap orang selalu hidup dalam sebuah kebersamaan yang tidak bisa tidak, harus mendukung kebersamaan itu. Ikut mengambil bagian dalam membangunnya. Menjaga ketertibannya. Mengusahakan keharmonisannya. Mereka terkait satu sama lain. dan itu bisa dipahami sebagai kodrat manusiawi yang tidak terbantahkan.
Di dalam kolam persaudaraan, kekeluargaan, kebersamaan, setiap orang dituntut untuk hidup sesuai dengan atauran hidup bersama; Néka woleng wintuk (berlainan jalan, menyimpang). Sebab kalau tidak demikian, maka yang terjadi hanyalah kekacauan. Oleh karena ini, setiap bentuk kehidupan bersama (masyarakat) perlu ada waktu untuk lonto leok (duduk melingkar/musyawarah) agar dapat bantang cama (berunding bersama). Usaha dan perjuangan tersebut tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan rasa cinta terhadap hidup bersama atau bermasyarakat. Mencintai kedamaian, mencintai persatuan, mencintai tujuan bersama, mencintai kerukunan, mencintai persaudaraan. Semuanya harus menjadi pengalaman mencintai sesama (masyarakat).
Bibliografi
Chandra, Julius, 2006. Cinta Rasional, Yogyakarta: Kanisius.
Janggur, Petrus, 2008. Butir-butir Adat Manggarai, Buku 1, Ruteng: Percetakan Artha Gracia.
Lihat Juga
Adrianus Ranja ()