Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Duwata Sangiang (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Tuhan Allah


Duata Sangiang adalah ungkapan tertinggi, ekspresi paling agung dan sebutan termulia bagi penguasa seluruh unsur alam semesta. Ia dihormati sekaligus ditakuti, dijunjung sekaligus disegani, dimuliakan dan dituakan dengan kegentaran. Hidup dan mati manusia ada di tangan-Nya dan keteraturan segenap elemen semesta ada di dalam-Nya. Energi segenap unsur yang perlu untuk hidup manusia tergantung pada-Nya dan apabila terjadi ketidakseimbangan, berarti Ia marah pada sikap dan tingkah laku manusia. Duata Sangiang sungguh menempati posisi yang penting dalam hidup orang Dayak Krio sebagai Homo Religiosus, meskipun pemahaman sesuai kepercayaan asli masih sangat harus dipertimbangkan di sini. (Djuweng, 2003 : 152)

Kampung Mariangin, Sepanggang dan Sengkuang adalah satu tali tiga uang dari wilayah di bantaran sungai Krio yang menghormati dan menyembah Duata Sangiang. Ketiganya memiliki sistem kepercayaan yang sama, namun berbeda dalam praktek. Dikatakan demikian sebab bisa saja pemahaman atas Duata Sangiang itu sama, namun tempat keramat atau lokasi pemujaan berbeda seturut keramat dari setiap kampung. Meskipun demikian, mungkin sekali penduduk di kampung Sepanggang pergi ke keramat di kampung Sengkuang. Demikian pula sebaliknya orang-orang Sengkuang bisa saja pergi ke keramat di kampung Mariangin dan Sepanggang. Semuanya mungkin terjadi sebab kepercayaan yang dianut sejatinya sama. Pemahaman atas Duata Sangiang dalam tulisan ini akan secara khusus bersumber dari kampung Sepanggang, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Harus diakui sangat sulit memperoleh rumusan teologis dari konsep Duata Sangiang orang Dayak Krio. Uraian sistematis tentang iman atau dogma yang menjadi acuan juga tidak ada. Kepercayaan yang dihidupi berasal dari buah tutur yang sifatnya beragam. Hal ini sangat dimengerti sebab pertama-tama memang harus digarisbawahi bahwa orang Dayak Krio tidak membutuhkan konsep dan rumusan tentang Duata Sangiang. (Bdk. Gomes, 2004:194). Yang terpenting bagi orang Dayak Krio ialah bahwa hidupnya harmoni dengan alam dan penguasa alam tersebut. Penguasa alam akan marah jika ada ketidakberesan dalam hidup manusia, sehingga doa-doa yang dipanjatkan tidak lain bertujuan untuk menyenangkan sang penguasa dan menyeimbangkan alam. Sistem kepercayaan juga tidak memiliki rumah ibadat, Kitab Suci atau ritus baku. Kemudian dapatlah dilihat bahwa konsep atas Duata Sangiang pun tidak akan persis sama dengan tradisi monotheistis agama-agama samawi. (Bdk. Puyang Gana. Benny Phang dan Valentinus, 2011:80-82; Gomes, 2004:203).

Duata Sangiang pertama-tama muncul bersamaan dengan asal usul manusia Dayak Krio. Orang Dayak Krio berasal dari segumpal tanah, yaitu beriringan dengan “tanah mula manyadi, karosik mula tumuh” (secara harafiah berarti tanah mulai menjadi, pasir mulai tumbuh). (Djuweng, 2003:131). Artinya manusia ada secara bersamaan dengan alam dan dalam alam itu ada Duata Sangiang. Duata Sangiang lantas bukanlah pencipta. Ia sejatinya tidak punya relasi khusus dengan manusia. Boleh dikatakan bahwa Duata Sangiang, dalam pemahaman asli, muncul bersamaan dengan relasi manusia dengan alam. Itulah sebabnya keyakinan asli orang Dayak Krio mengatakan bahwa memang langit dan bumi ada yang menguasai dan mengaturnya, tetapi bukan mencipta. Di sinilah pertama-tama letak perbedaan pemahaman dengan konsep monotheisme.

Duata Sangiang tenyata bukan satu pribadi. Ia ada banyak. Dari yang banyak itu ada Duata tertinggi, yaitu Duata Pucuk Mahungkup Babah Nangadah. Ada dua pemahaman atas Duata tertinggi ini. Pertama Duata ini berada di (alam) atas atau langit. Karena di atas, Ia melihat manusia. Maka Ia disebut Duata Pucuk Mahungkup (Tuhan yang diatas menelungkup). Kedua, Duata ini berada di (alam) bawah atau bumi. Karena di bumi, Ia melihat seluk beluk manusia. Maka Ia disebut Duata Babah Nangadah (Tuhan yang di bawah menengadah). Kedua Duata ini dimengerti dalam satu kesatuan, yaitu Dia yang mengawasi dari atas dan dari bawah sekaligus. Namun Ia hanyalah sebatas pemantau atau pengawas, tidak mempribadi, tidak punya relasi khusus dengan manusia secara personal. Ia tidak menentukan keselamatan jiwa manusia, tidak juga menjadi hakim yang menakar dosa dan amal baik manusia. Konsep ini berbeda lagi dengan paham monotheisme. (Lih. polemiknya dalam Djuweng, 2003:168).

Di bawah Duata Pucuk Mahungkup Babah Nangadah itu ada petugas-petugas khusus yang menjadi pembantu. Kedudukan mereka sedikit lebih rendah. Mereka ini disebut Petara. Petara-Petara lantas terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu Petara yang menguasai alam atas dan Petara yang menguasai alam bawah. Jumlah mereka seluruhnya ada 80 Petara, 40 menguasai alam bawah (bumi) dan 40 menguasai alam atas (langit). Nama-nama mereka, tentu saja, terlampau banyak untuk disebutkan di sini satu per satu. Namun dari semua Petara itu, ada tiga Petara langit yang menguasai bulan, bintang dan matahari. Tiga Petara ini memegang kunci keadaan alam, yaitu keteraturan kosmos (semesta). Kerap dikatakan bahwa jika permohonan kepada Petara-Petara kecil lainnya tidak dikabulkan, maka permohonan diteruskan kepada ketiga Petara ini. (Bdk. Benny Phang dan Valentinus, 2011: 83-84).

Petara-Petara di bumi adalah yang paling dekat dengan manusia. Ada yang disebut Petara Jaga. Ia bertugas menjaga dan melindungi manusia serta lingkungan. Ada pula Petara Ingat yang mengingatkan manusia untuk selalu berlaku baik. Masih banyak lagi Petara lain yang bisa disapa dalam kehidupan orang Dayak Krio. Mereka bahkan menjadi tempat perlindungan dari bahaya yang mengancam. Dari mereka juga bisa diperoleh kekuatan batin karena mereka memiliki “kuta” (harafiah : pagar untuk melindungi rumah). Kuta adalah kekuatan mistis dari Petara bagi orang yang mencarinya. Itulah sebabnya orang pergi bertapa atau bersemedi di tempat di mana ada Petara. Jika laku tapa dan olah puasa dijalani dengan baik, Petara akan memberi kepada orang tersebut “baju tujuh lapis” sebagai pelindung tubuh. Baju tujuh lapis berarti kesaktian dan ilmu kanuragan yang membuat orang tersebut kebal terhadap ilmu santet, ancaman pembunuhan dan bahaya lain. Ia menjadi orang sakti, atau orang sering katakan, “Ia punya baju”. Baju tersebut menjadi kuta (pagar) bagi dirinya. Baju tersebut akan menjadi miliknya seumur hidup sehingga menjelang kematian, jiwa orang yang memiliki kuta akan sangat sulit terlepas dari tubuhnya. Itulah peran dari Petara-Petara bumi, yaitu melindungi dan menjaga manusia dan lingkungan. (Lih. Gomes, 2004:195-197).

Itulah garis besar pemahaman orang Dayak Krio untuk Duata Sangiang. Bila dikaitkan dengan paham monotheistis, kepercayaan asli ini jelas memiliki konsep yang berbeda. Kata Tuhan Allah disematkan begitu saja kepada Duata Sangiang, yang tidak lain adalah aneka kuasa adikodrati yang mengitari hidup manusia. Titik temu antara dua kebudayaan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut. (Bdk. Djuweng, 2003: 36-38). Agaknya monotheisme bisa diterima karena ada bobot relasi personal dengan Dia yang Mempribadi. Hal ini tidak ada dalam kepercayaan asli. Kepercayaan asli cenderung melihat Duata Sangiang sebagai pengatur keseimbangan alam semata. Ia juga tidak menentukan keselamatan manusia di akhirat, karena pemahaman hidup setelah kematian pun lantas berbeda. Walaupun demikian akhirnya Duata Sangiang tetap tinggal sebagai Dia yang sama dengan Tuhan Allah.

Gagasan dan kepercayaan pada Duata Sangiang sangat tepat bila dikaitkan dengan etika lingkungan hidup. Bukan sifatnya berelasi secara personal, mendalam, pribadi dan penuh cinta pada-Nya, orang Dayak Krio cenderung memproduksi etika lingkungan hidup yang adiluhung dan luhur lewat gelar Duata Sangiang. (Bdk. Nico, 2010: 117) Ini nampak lewat semua praktek penyembahan yang dilakukan. Boleh dikata bahwa hampir seluruh relasi dilandasi dengan ketakutan yang wajar. Orang-orang takut bila Duata marah. Jika ada yang kurang dalam adat-adat tertentu, Duata akan marah. Kalau Dia marah, akan ada tulah. Untuk menghindari tulah itulah dipanjatkan permohonan lewat pembacaan mantra-mantra dan “pemberian makan” (sesaji). Tanda-tanda alam akan mensyiratkan kemarahan Duata ini, seperti air pasang, hujan terus menerus, kekeringan dan fenomena alam lainnya. Ketidakteraturan kosmos (chaos) ini harus diseimbangkan oleh manusia, karena manusia sendirilah penyebab semuanya itu. Relasi antar manusia-alam-Tuhan dipulihkan dan didamaikan lewat “iman” kepada Duata Sangiang. Dalam hal inilah orang Dayak Krio memproduksi suatu nilai etis, terlepas dari tinjauan teologis di atas. Nilai etis yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan nyata dalam aneka praktek pemanggilan nama, pemberian makan, permohonan ujud, pengembalian ujud dan niat kepada Petara-Petara yang terangkum dalam nama Duata Sangiang. Duata Sangiang atau Tuhan Allah tidak bisa dipahami terlepas dari alam semesta. Inilah pandangan manusia Dayak Krio.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Benny Phang dan Valentinus (eds.), 2011. Minum dari Sumber Sendiri. Malang: STFT Widya Sasana.

    Gomes, Edwin H., 2004. Sea Dyaks of Borneo. Kota Kinabalu : Natural History Publication (Borneo).

    Nico Andasputra dan Stepanus Djuweng (eds.), 2010. Manusia Dayak. Pontianak : Institut Dayakologi.

    Stepanus Djuweng, dkk., 2003. Tradisi Lisan Dayak, Pontianak : Institut Dayakologi.


    Lihat Juga

    Pati Nyawa (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Hal adat istiadat yang mengatur aneka bentuk pembunuhan.  Sanzangan (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : cerita lisan yang dituturkan dengan pesan yang sarat makna.  Mali (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Hal larangan-larangan atau tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar oleh orang Dayak Krio dalam kehidupan sehari-hari. 

    Oleh :
    Agustinus Tamtama ()