Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Pati Nyawa (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Hal adat istiadat yang mengatur aneka bentuk pembunuhan.


Adat Pati Nyawa merupakan salah satu adat yang sangat serius dalam kehidupan orang Dayak Krio. Dikatakan demikian sebab tindakan pelenyapan nyawa seseorang merupakan kasus yang berat dan sangat pelik. Pembunuhan tidak hanya dilihat sebagai kejahatan tingkat tinggi, melainkan juga sebagai pencerabutan hak hidup yang keji. Adat Pati Nyawa memang hanya berlaku saat ada kasus terjadi. Namun nilai manusia yang begitu luhur dan dalam dipertaruhkan di sini. Perlakuan yang wajar sebagai manusia terhadap korban ditunjukkan secara jelas dan terang-terangan lewat Pati Nyawa. Jiwa dan roh, jenazah dan jasad orang yang meninggal tetap hidup dalam sanak saudara dan keluarga yang ditinggalkan. Adat Pati Nyawa mengurus nafas (nyawa) yang telah dimatikan (pati) oleh sang pencabut nyawa.

Kampung Sepanggang adalah rujukan utama dari praktek adat Pati Nyawa ini. Sepanggang merupakan satu dari tiga buah kampung yang membentuk Desa Benua Krio. Kampung yang lain, yaitu Sengkuang dan Mariangin, masing-masing terletak di hulu dan di hilir kampung Sepanggang. Ketiga kampung ini menjadi tempat yang tepat untuk melihat keseluruhan adat istiadat orang Dayak Krio secara murni dan yang masih dipraktekkan turun temurun hingga saat ini. ketiga kampung ini tergabung dalam Kecamatan Hulu Sungai. Dikatakan sebagai hulu karena memang kecamatan ini jauh dari kota kabupaten, yaitu Ketapang. Namun justru karena jauh itulah maka orang Dayak Krio, khususnya di kampung Sepanggang masih sangat kental dengan pelaksanaan adat istiadat, termasuk adat Pati Nyawa ini. (Bdk. Head-Hunting. Gomes, 2004:72-85)

Pemangku adat yang bertugas menjalankan adat Pati Nyawa ialah Tuha Mantir (dewan adat) kampung yang dikepalai oleh Domong Adat (kepala adat). Seperti telah dikatakan, adat Pati Nyawa bersifat kasuistik, yaitu berlaku saat ada suatu kasus pembunuhan. Pembunuhan tersebut bisa dibagi dalam dua kategori besar, yaitu pembunuhan yang tidak disengaja dan yang disengaja. Yang pertama bisa berupa kecelakaan, insiden tak terencana dan bersifat indirek dari kategori subjek pelaku. Yang kedua memang secara directum diingini dan diniati, diusahakan dan memang lantas dilaksanakan oleh subjek secara tahu, mau, bebas, terpola dan terencana dari dalam dirinya sendiri. Tindakan pada kasus yang pertama sejatinya tidak bisa dikatakan sebagai pembunuhan, tetapi karena berakibat pada lenyapnya nyawa seseorang, maka aksi tersebut tetap ditindak dengan hukum adat yang berlaku. Contoh dari pembunuhan tak terencana ini ialah kematian seseorang akibat terkena belantik. (Bdk. Djuweng, 2003 : 24). Belantik ialah perangkap mematikan yang dipasang pemburu di dalam hutan. Perangkap ini dipasang tanpa diketahui oleh seorang pun, kecuali si pemasang sendiri. Si pemasang sudah mempertimbangkan bahwa perangkap yang ia pasang bukan merupakan lintasan manusia, jauh dari jalur hutan yang biasa dilewati orang dan terletak di rimba-rimba yang jarang didatangi. Binatang hutan seperti rusa, kijang, beruang, babi hutan, pelanuk (kancil) dan binatang lain merupakan sasaran utama belantik ini. Seperti pegas yang bergerak sangat cepat, belantik bisa dalam waktu singkat menghujamkan bambu yang runcing untuk melukai binatang yang lewat. Bukan hanya melukai, belantik bisa menembus perut seekor babi sedalam dua meter. Itulah sebabnya belantik sangat mematikan karena praktis jika manusia yang melintasinya, orang tersebut pasti mati. Kematian akibat dari kecelakaan tobak belantik (terkena belantik) ini dipandang sebagai ketidaksengajaan. Maka hukuman atas kasus pertama ini disebut Tangul Setongah (adat sebagian atau setengah). Dikatakan setengah karena bobot kesalahan pelaku lebih ringan daripada bobot pada kasus yang kedua.

Kasus yang kedua dilihat sebagai kejahatan tingkat tinggi. Hukum atas kasus yang dikatakan bejat dan biadab ini ialah Tangul Ponuh (adat yang penuh utuh) atau Pati Mulia (adat pembunuhan yang paling tinggi). Pati Mulia ini menjadi patokan dan acuan baku bagi Pati Setongah (adat sebagian) di atas. (Bdk. Djuweng, 2003:25). Secara sederhana Tangul Setongah ialah setengah dari adat penuh yang harus wajib diberikan kepada keluarga korban. Karena yang paling penting untuk disimak ialah Pati Mulia atau Tangul Ponuh, maka sorotan terperinci akan diarahkan pada adat yang penuh ini.

Adat Pati Mulia meminta pelaku untuk memberikan Tangul Ponuh kepada keluarga korban. Tangul Ponuh berarti organ-orang tubuh korban harus diganti oleh pelaku secara utuh. Organ-organ tersebut dirinci sedemikian rupa sehingga dilambangkan dalam barang-barang yang harus diberi kepada keluarga korban. Barang-barang (material) tersebut menjadi pengganti hidup yang telah direnggut. Ada enam belas pengganti tubuh manusia, semuanya dirinci sebagai berikut. Kepala diganti tajo (tempayan besar) satu buah dan, sebagai pengiring tajo tersebut, ada satu tajo tuak meniang (tuak di dalam tempayan besar) dan seekor babi. Mata diganti bungkal (biji emas bulat seperti kelereng, sebesar jempol kaki) sebanyak dua biji. Telinga diganti dua buah talam tembaga berkaki. Hidung diganti sepasang raputn (dua tabung penghasil angin, tabung digandeng dan berdiri, dipompa dengan semacam stik sehingga keluar angin untuk meniup api yang memanasi besi, besi tersebut ditempa menjadi alat-alat perladangan). Nyawa (nafas) diganti sumpit satu batang karena sumpit ditiup dengan nafas. Bahan sumpit dari kayu ulin. Suara diganti ketawak (semacam gong) berdiameter 30 cm. Gigi diganti pingatn tuha dua singkek (piring tua peninggalan berharga jaman dulu) sebanyak dua buah. Lidah diganti hapakng (mandau) satu buah. Kulit diganti kain putih satu kayuk (10 meter). Rambut diganti jala satu layakng (satu buah jala), baik itu jala ripakng maupun jala seluakng (jenis-jenis jala). Darah diganti kain merah satu kayuk (10 meter). Tulang diganti waja (lempengan besi baja). Urat diganti kawat. Alat kelamin dibedakan, untuk laki-laki diganti sondi sakayuk (tongkat untuk berjalan, ada tombak di ujungnya, mata tombak tersebut diberi sarung, berbeda dengan tombak yang lebih panjang untuk berburu), untuk perempuan diganti alat musik cap-cap (lempengan terkatup atas dan bawah, berbahan tembaga dengan diameter 10 cm, untuk mengiringi gamal). Bukakng atau badan diganti tajo satu buah dengan pengiringnya babi satu ekor dan piring putih sebanyak 48 buah. Organ tubuh bagian dalam termasuk perut diganti gamal satu barung (gamal pentatonik Dayak satu set, yaitu 8 nada/ buah). Inilah keseluruhan dari Pati Mulia yang wajib diserahkan pelaku kepada keluarga korban. (Bdk. Djuweng, 2003:24-25)

Barang-barang di atas diserahkan dalam upacara adat. Untuk keseluruhan adat Pati Nyawa, artinya di luar pengganti tubuh di atas, pihak pelaku harus menyediakan piring sebanyak 24 buah, babi, tuak dan makan-minum sebagai sambilan nyurukng adat (membahas masalah). Semua pengganti tubuh di atas disurukng (diberi kepada keluarga korban), sementara pihak korban dibiso (didoakan dengan mantra-mantra tertentu agar tidak pudar semangatnya, agar rohnya tidak lari) dan dihibur. (Bdk. Upacara Tiwah. Nico, 2010:115-118)

Dari keseluruhan adat Pati Nyawa di atas, menjadi jelas sebenarnya arti hidup seorang manusia. Manusia itu utuh di dalam dirinya sendiri, memiliki keluhuran yang sejatinya harus dirawat, dijaga, dihormati dan dijunjung tinggi. Dapat diperhatikan bahwa untuk konteks jaman sekarang, barang-barang yang menjadi pengganti tubuh di atas sudah sangat sulit ditemukan. Selain itu, pun jika pada jaman dahulu semuanya itu masih mungkin diusahakan, harga yang harus dibayar tidaklah sedikit. Tidaklah murah bila semua barang pengganti tubuh itu diuangkan dan dihitung biayanya secara rinci. Inilah yang kemudian menunjukkan bahwa nilai seorang manusia itu pertama-tama begitu mahal, tinggi dan tak ternilai.

Lebih dalam lagi, adat Pati Nyawa dalam suku Dayak Krio menyiratkan pesan etika komunitarian altruistik yang dalam. Bahwa lebih dari sekedar mengganti organ tubuh dan nafas hidup dengan barang-barang, Pati Nyawa menunjukkan secara tegas hakikat hidup manusia. Hidup bersama dalam kampung harus dilandasi penghargaan yang utuh, total, tinggi dan penuh terhadap sesama. Bila penghargaan itu hilang lewat pembunuhan, maka penggantian tubuh dan jiwa tersebut mau menunjukkan bahwa sesama itu sudah tidak ada artinya lagi dan pantas mati, tidak punya nilai yang luhur dan harus dijaga sehingga pantas dilenyapkan. Padahal sebaliknya dalam wajah setiap orang telah tergambar pribadi. Etika wajah Levinasian berbicara begitu kuat dalam hal ini dengan seruan “jangan bunuh aku!”. (Armada, 2011: 54). Maka adat Pati Nyawa ini memaksudkan pula dibangunnya pola-pola relasi etis yang luhur dalam societas, yaitu berciri altruistis. (Lih. kasus wajah liyan Sumiati. Armada, 2011:51-53).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Armada Riyanto, et. all. (eds.), 2011. Aku dan Liyan. Malang: Widya Sasana Publication.

    Gomes, Edwin H., 2004. Sea Dyaks of Borneo. Kota Kinabalu : Natural History Publication (Borneo).

    Nico Andasputra dan Stepanus Djuweng (eds.), 2010. Manusia Dayak. Pontianak : Institut Dayakologi.

    Stepanus Djuweng, dkk., 2003. Tradisi Lisan Dayak. Pontianak : Institut Dayakologi.


    Lihat Juga

    Duwata Sangiang (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Tuhan Allah  Sanzangan (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : cerita lisan yang dituturkan dengan pesan yang sarat makna.  Mali (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Hal larangan-larangan atau tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar oleh orang Dayak Krio dalam kehidupan sehari-hari. 

    Oleh :
    Agustinus Tamtama ()