
Sanzangan (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : cerita lisan yang dituturkan dengan pesan yang sarat makna.
Sanzangan dikenal pula dengan sebutan sangan carita atau gesah. Arti ketiga istilah ini ialah kumpulan cerita-cerita dalam kehidupan sehari-hari. Cerita-cerita itu sarat akan makna dan kaya akan pesan moral etis. Ia diwariskan dan diteruskan dengan cara dituturkan. Tradisi lisan ini disampaikan turun temurun dalam keluarga, dari para tetua kepada generasi muda, dari orang tua kepada anak-anak. Penuturan kisah-kisah, dongeng, cerita dan fabel ini terjadi di berbagai tempat, dalam pelbagai situasi dan dalam aneka acara adat yang dilaksanakan.
Orang Dayak Krio merupakan subjek pemelihara, pelestari dan pengembang tradisi Sanzangan ini. Suku Dayak Krio tersebar di beberapa wilayah, yaitu di desa-desa yang tergabung dalam Kecamatan Hulu Sungai dan Kecamatan Sandai. Kedua kecamatan ini masuk dalam wilayah teritorial Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Desa Benua Krio yang tergabung dalam Kecamatan Hulu Sungai dapat menjadi salam satu rujukan. Kampung Sepanggang merupakan salah satu dusun yang masih memelihara tradisi arif Sanzangan ini. Di sini, masyarakat secara umum masih hidup dalam tradisi sangan (kata sifat dari Sanzangan) yang kuat. Demikian pula secara khusus keluarga-keluarga masih melanjutkan kisah-kisah luhur ini dalam rumah mereka masing-masing. (Bdk. Djuweng, 2003 : 158)
Tradisi Sanzangan dijaga dengan baik oleh orang Dayak Krio. Peran yang besar, tentu saja, diemban oleh orang-orang tua di kampung (tetua kampung atau dewan adat) dan oleh orangtua-orangtua di masing-masing keluarga. Keduanya dibedakan sebab ada sangan-sangan, carita-carita, kisah-kisah, gesah-gesah yang hanya diceritakan pada saat-saat tertentu dan dalam upacara-upacara tertentu. Cerita-cerita ini bersifat publik dan dituturkan kepada orang banyak dalam upacara tersebut. Bobot dan pesan dari cerita jenis ini biasanya lebih berat dan lebih mendalam. Demikian pula sebaliknya ada sangan-sangan yang dikisahkan dalam keluarga-keluarga masing-masing. Sangan-sangan ini sangat menghibur, sehingga menjadi penghantar tidur bagi anak-anak yang dituturi oleh orangtuanya. Gaya bahasa yang menarik dan puitis digemakan dengan sangat indah dalam sangan-sangan tersebut. Singkatnya, orang-orang tua adalah pemelihara dan pelestari tradisi ini, dan dalam berbagai kesempatan mereka meneruskan cerita-cerita itu kepada generasi muda. (Bdk. Gomes, 2004: 252-315).
Terdapat dua jenis sangan, yaitu sangan biasa dan sangan ritual. Sangan biasa bisa dituturkan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Orang yang menuturkan sangan jenis ini bukanlah orang-orang tertentu. Tempat penceritaan sangan ini juga tidak mengikat. Saat-saat penuturan pun dilakukan sesuai dengan permintaan anak-anak atau ketika orang-orang tua itu punya kesempatan. Contoh dari cerita-cerita jenis ini ialah sangan Remaung, sangan Kakuya Jongan Boruk, sangan Pincang Pincit, sangan Hantu Kantip, sangan Ninik Rusa, dan kisah-kisah kocak Pak Aluy. (Djuweng, 2003: 160). Semuanya dituturkan dengan bahasa yang ringan, enak dan lancar. Durasi dari cerita-cerita ini juga tidak terlalu panjang, sehingga bisa dituturkan pada malam hari oleh orangtua kepada anak-anak sebelum beranjak tidur.
Sebagai contoh, cerita Hantu Kantip adalah jenis cerita yang menegangkan. (Bdk. cerita Ne’ Baruakng Kulup. Albert Rufinus, 2004: 43). Dikisahkan bahwa di sebuah kampung bernama Laman Mahaba (figur kampung antah berantah yang kerap dipakai dalam sangan-sangan) ada keresahan besar. Kampung itu didatangi oleh Hantu Kantip. Hantu ini berasal dari rimbunan pohon kantip (sebangsa kelapa) di tengah hutan, sehingga ia disebut Hantu Kantip. Ia sangat menyeramkan : bertubuh panjang, berjenggot panjang, memiliki rahang yang panjang (seperti pelepah pohon kantip), sakti dan bisa mencium bau manusia. Ia senang memakan manusia. Penduduk Laman Mahaba sudah mengungsi semua, kecuali seorang kakek yang tidak bisa pergi karena ada bisul di pantatnya. Kakek itu tinggal seorang diri di rumah betang (rumah panjang orang Dayak), dan hanya bisa merangkak karena bisul tersebut. Hantu Kantip itu lantas meneriakkan pekik yang menyeramkan. Ia berniat mendatangi kakek itu karena ia tahu bahwa ada orang di dalam rumah. Si kakek lalu dengan susah payah pergi untuk menyelamatkan diri. Ia pergi ke para-para (tempat orang Dayak menyimpan kayu bakar, letaknya di atas tungku). Si hantu masuk ke dalam rumah lalu tidak menjumpai kakek itu. Lalu ia mengendus lagi dan mengatakan bahwa ia ingin ke para-para. Si kakek panik, lalu pergi ke loteng. Si hantu pergi ke para-para dan tidak menjumpai si kakek. Lalu si hantu mengatakan lagi bahwa ia mau ke loteng. Si kakek lantas bingung dan akhirnya ia membongkar atas rumah. Begitulah seterusnya si hantu menyusul si kakek. Lalu si kakek melihat pelepah kelapa yang menjulur ke atap rumah dan dari kelapa itu ia turun ke tanah. Di tanah inilah bisulnya pecah. Si hantu tetap menyusul si kakek dengan pekik menyeramkan yang sama semenjak awal ia memasuki kampung. Si kakek yang terancam bahaya sangat takut dan bingung. Ia berkeliling di halaman rumah namun tidak tau harus lari ke mana lagi. Ia akhirnya masuk ke kolong rumah betang itu (kolong rumah ini cukup tinggi, sekitar 3 meter). Di situ ada perahu terbalik (karena biasanya bocor sehingga disimpan di darat untuk diperbaiki) dan si kakek lantas masuk ke dalam perahu itu. Akhirnya si hantu itu menyusul si kakek ke kolong rumah. Ia berputar-putar di situ, namun tidak menjumpai si kakek karena ia sulit membungkuk. Setelah beberapa saat, terseliplah jenggot panjang Hantu Kantip itu ke lubang perahu yang bocor, tempat si kakek bersembunyi. Tak pelak lagi, si kakek lantas menarik jenggot itu. Si kakek terus menarik jenggot itu semalam suntuk dengan sekuat tenaga. Ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan si hantu. Akhirnya menjelang pagi terdengarlah bunyi “kreakkkk” yang menandakan telah patahnya rahang si hantu. Si hantu lalu pergi dengan berdarah-darah. Darah yang bersimbah dari rahangnya itu mengucur sepanjang jalan sampai ke rumput pohon kantip tempat ia berasal. Singkat cerita si kakek mengalahkan Hantu Kantip itu. Ia lalu memanggil orang-orang kampung lainnya dan mereka membasmi seluruh pohon kantip yang ada di hutan itu. Akhirnya Laman Mahaba pun tenang, ramai, suka-gembira dan damai kembali setelah si kakek mematahkan rahang Hantu Kantip. Dan dikisahkan bahwa memang pohon kantip dulu pernah ada, tetapi sekarang sudah tidak ada karena pemusnahan itu.
Inilah secara singkat salah satu sangan yang biasa dituturkan kepada anak-anak sebelum tidur. Berbeda halnya dengan sangan yang lebih panjang, tetapi masih dalam kategori sangan biasa. (Lih. Djuweng, 2003: 160). Sangan-sangan ini dituturkan saat pengerjaan ladang. Durasi cerita bisa satu hari suntuk bahkan sampai tujuh hari, tergantung dari lamanya gotong-royong.
Sangan yang sifatnya ritual memiliki nuansa yang berbeda. Pesannya yang disampaikan biasanya lebih mendalam. Penuturnya pun hanya orang-orang terntu, yaitu Bolitn Tobus atau Tuha Tobus, dengan dibantu oleh seorang Pabayu. Mereka adalah pencerita ulung sangan-sangan khusus dalam upacara-upacara yang khusus pula. Sebagai contoh sangan Bujakng Bingkukng dan Dara Donakng akan mereka tuturkan dalam adat pernikahan sumbang. Hanya dalam kesempatan ini sajalah cerita ini bisa didengarkan. Masih banyak cerita lain seperti Sangan Haji Sugih, Sangan Sawa, Mangak Mingi, Mamakng Ntara Jaga, Mamakng Suka Barani, dan Sangan Haji Nyoti Singant Tae yang dituturkan hanya dalam acara adat tertentu, oleh orang tertentu, dalam durasi tertentu (sesuai kesepakatan berapa jumlah karatn/cerita) dan ditutup dengan upacara adat yang sifatnya khusus.
Itulah keseluruhan tradisi Sanzangan yang masih dipelihara dalam suku Dayak Krio. Pemaknaan yang sifatnya etis sangat tepat untuk ditarik di sini. Pesan-pesan etis-moral dalam cerita-cerita tersebut sangat kaya, bergantung dari cerita yang dituturkan. Etika lingkungan hidup yang menekankan kearifan hubungan manusia dengan sesama dan alam sangat didengungkan dalam cerita-cerita tersebut. Bahkan karena sifatnya yang menarik dan imajinatif, cerita-cerita itu berbicara dengan begitu kuat (terlebih bila didengar oleh orang asli dan dituturkan dalam bahasa asli). Relasi manusia dengan alam dibina pula lewat cerita-cerita yang luar biasa ini.
Hal yang sama bisa dikenakan pula pada etika komunitarian altruistik. (Lih. Armada, 2011:44) Sanzangan membawa setiap pendengar kepada sikap dan pola tingkah yang luhur dalam membangun societas. Setiap pendengar diundang untuk membangun relasi yang benar dengan sesama. Ada banyak sangan yang bercerita sangat kuat tentang hal ini. Contoh sangan ini ialah ketujuh adik beradik, Dayang Bungsu dan Para Dagak. Relasi yang sifatnya altruis sebagai saudara senantiasa digemakan dalam cerita-cerita orang Dayak Krio, sesama adalah diriku.
Bibliografi
Albert Rufinus, 2004. Ne’ Baruakng Kulup (dalam DAYAKOLOGI : Jurnal Revitalisasi dan Restitusi Budaya Dayak, Vol. I No. 2, Juli 2004). Pontianak : Mitra Kasih.
Armada Riyanto, et. all., 2011. Aku dan Liyan. Malang : Widya Sasana Publication.
Gomes, Edwin H., 2004. Sea Dyaks of Borneo. Kota Kinabalu : Natural History Publication (Borneo).
Stepanus Djuweng, dkk., 2003. Tradisi Lisan Dayak, Pontianak : Institut Dayakologi.
Lihat Juga
Agustinus Tamtama ()