
Mali (Bahasa Dayak Krio, Kalimantan Barat) : Hal larangan-larangan atau tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar oleh orang Dayak Krio dalam kehidupan sehari-hari.
Mali sebagai kata benda bisa berarti larangan. Mali sebagai kata sifat bisa disematkan pada aneka kata dan tindakan manusia. Mali adalah ungkapan lazim yang biasa diucapkan orang Dayak dalam pergaulan sehari-hari. Arti harafiah dari kata ini agak sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Mali memiliki nuansa larangan. Suatu perkataan dan suatu tindakan dikatakan mali (tidak boleh diucapkan atau dilakukan) jika ada kegiatan tertentu, pada waktu tertentu dan dengan konsekuensi tertentu. Justru karena ada efek buruk yang akan diterima, maka suatu perkataan atau suatu tindakan itu dilarang atau di-mali-kan. Dengan demikian mali bukan hanya berperan sebagai kata sifat bagi perkataan dan tindakan tertentu, tetapi merujuk pula pada larangan atau tabu-tabu tertentu dalam hidup orang Dayak. (Bdk. Gomes, 2004 : 194)
Dapat dipastikan bahwa hampir di semua sub-sub suku Dayak di Kalimantan menghidupi mali ini. Hanya saja arti yang sama mungkin berbeda dalam kata dan penyebutan di masing-masing suku dan daerah. Larangan-larangan yang diwajibkan dan konsekuensi-konsekuensi yang menyertai pelanggaran larangan itu merupakan hal yang sangat umum dalam kehidupan orang Dayak. Kata mali yang dipakai di sini berasal dari suku Dayak Krio. Suku ini tergabung dalam rumpun suku Dayak Klemantan, yang mendiami wilayah Ketapang, Kalimantan Barat. Secara khusus kampung Sepanggang, Desa Benua Krio, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang adalah rujukan utama penggunaan dan penghayatan kata mali ini. Di kampung ini bisa ditemui banyak sekali mali-mali yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari orang Dayak. (Bdk. DAYAKOLOGI, 2004:62-66).
Kebiasaan me-mali-kan sesuatu atau menyebut kata mali hampir dilakukan oleh orang seluruh kampung. Kata ini diserukan baik kaum tua kepada anak-anak, maupun anak muda kepada sesamanya. Namun nanti akan dilihat bahwa mali-mali tertentu memiliki level yang lebih berat dari yang lain. Ada gradasi yang bisa dilihat dalam larangan-larangan tertentu. Jika orang-orang tua seperti tetua adat atau Domong (ketua) Adat sendiri yang mengucapkan, maka dengan sendirinya kata mali tersebut memiliki arti yang dalam, harus diindahkan, wajib ditaati dan berat sifatnya, karena biasanya menyangkut bahaya atau mala yang besar yang bisa menimpa seluruh kampung. Sedangkan mali-mali yang lain biasanya sudah dengan sendirinya ada dalam kehidupan masyarakat dan otomatis menuntun serta mengarahkan pola kata, pola sikap dan pola tindak orang secara individu maupun komunal. (Bdk. Getruida dan Saulus Edy, 2011:30-33).
Penggolongan jenis-jenis mali bisa dilakukan dalam dua cara, yaitu berdasarkan besar kecilnya mali. Seperti telah dikatakan di atas, mali yang besar biasanya dibarengi dengan konsekuensi (berupa bahaya) yang besar pula. Sedangkan mali yang kecil bukan berarti lantas diabaikan atau tidak diindahkan. Penggolongan mali ini hanya untuk mempermudah kita untuk melihat fatal tidaknya kesalahan yang dilakukan lewat pelanggaran mali tersebut. Pertama, mali-mali kecil. Ada begitu banyak larangan-larangan kecil, di antaranya orang tidak boleh bekerja pada malam hari. Contohnya seorang tidak boleh menghidupkan chain saw, karena pekerjaan di malam hari dianggap sebagai pekerjaan para arwah atau orang yang meninggal dunia. Perempuan hamil juga dilarang untuk duduk di depan pintu dengan alasan agar janinnya tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Di saat lain, ketika ada binatang masuk ke dalam rumah, seperti kupu-kupu, burung dan bamba (sejenis kupu-kupu namun berukuran besar), maka mereka itu tidak boleh dibunuh. Seandainya dibunuh, nyawa orang di dalam rumah juga bisa direnggut. Bersiul-siul pada malam hari juga dilarang karena bisa mengundang ular, mendatangkan pedara (orang mati) dan memanggil arwah-arwah untuk mendatangi kita. (Djuweng, 2003 : 143-144). Pada kesempatan lain ketika berkunjung ke rumah sanak saudara, atau sebagai orang baru yang datang, seseorang biasanya ditawari makan atau minum. Orang tersebut tidak wajib makan bila merasa tidak mau. Tetapi orang itu wajib pusak (menempelkan tangan ke makanan atau minuman tersebut, lalu mengoleskan tangan itu ke lehernya). Jika ia tidak pusak, maka ia (menurut keyakinan orang) akan kempunan (mendapat musibah tertentu dalam perjalanannya). Pusak mencegah dia untuk menerima celaka yang akan menimpa dirinya karena tidak mencicipi makanan. Selain itu, tindakan menjahit, menyapu, menggunting kuku pada malam hari juga tidak diperbolehkan. Alasannya biasanya beragam, dan kerap berbeda antara orang satu dan yang lainnya. Konsekuensinya tentu saja selalu berhubungan dengan hantu atau alam metafisis manusia. Ada pula larangan untuk menyumpah serapah. Kata “togapm! tobak belantik! muntah darah! awar baro!” sejatinya dilarang karena sangat keras dan menunjukkan kemarahan yang besar sekali. Terkhusus kata “togapm” dilarang karena di sungai Sekantu (sungai kecil di kampung Sepanggang, anak sungai dari sungai Krio) ada induk siput (siput besar) yang disebut sebagai Inuk Togapm. Siput ini sangat besar dan dianggap “berhantu”, sehingga orang yang mengucapkan kata “togapm” akan ditimpa malapetaka oleh Inuk Togapm tersebut. Pada kesempatan lain ketika seseorang ingin pergi ke hutan, entah untuk berburu atau pergi ke ladang, ia harus kembali bila mendengar suara burung gagak atau melihat burung melintasi arah yang berlawanan dari arah perjalanannya. Ada sesuatu terjadi, entah ada anggota keluarga yang meninggal dunia atau dia yang akan mendapat celaka bila meneruskan perjalanan. Ada pula ancak-ancak (sesajian bagi Duata atau roh nenek moyang) yang biasanya dimakan anjing. Anjing tersebut tidak boleh diusir karena dianggap sebagai Duata dan roh nenek moyang itu sendiri yang memakan sajian tersebut. Demikian pula menertawakan hewan dilarang dalam kehidupan orang Dayak Krio. (lih. Getruida dan Saulus Edy, 2011:30).
Itulah sebagian (belum semua) dari mali-mali kecil yang biasa dan lazim diungkapkan oleh orang-orang di kampung Sepanggang. Sekarang bagian kedua, ada mali-mali besar dengan konsekuensi yang besar pula. Resiko kehilangan nyawa bisa menyertai pelanggaran mali-mali ini. Contoh yang paling dramatis ialah bila seseorang menebang Keramat Botukng (bambu betung keramat di kampung Sepanggang). Dapat dipastikan bahwa orang tersebut akan mati. Dalam upacara adat kematian ada tarian yang disebut babukukng. Penari tarian ini disebut bukukng. Meskipun kita tahu siapa penari yang menari dengan topeng itu, nama yang bersangkutan tidak boleh disebut. Jika namnya disebut, orang tersebut akan selamanya menjadi bukukng hantu (penari hantu), artinya menjadi hantu selamanya, tidak menjadi manusia lagi. Pernikahan sumbang juga sangat tabu di Sepanggang. Bila orang menikah sumbang maka itu berarti bencana bagi kampung, sehingga harus ada jalan pendamaian. Tetapi risiko dari menikah sumbang ialah kutukan abadi terhadap keluarga tersebut. Masih banyak larangan-larangan berat lain seperti menabuh tetabuhan yang tidak tepat pada suatu upacara dan pulang dari kuburan tanpa dibiso (disucikan agar roh tidak melayang). Semuanya ini membentuk kesadaran kolektif orang Dayak Krio secara massal.
Dari uraian tentang mali-mali di atas dapatlah dilihat bahwa hidup itu sungguh menakutkan. Hanya memang sangat mengherankan karena alasan-alasan di balik pelarangan itu kerap (sebagian besar) dan bahkan hampir semua tidak masuk akal. Namun orang percaya dan menaati. Pengalaman juga membuktikan bahwa yang melanggar mali-mali di atas menerima musibah atau celaka. Bisa jadi semua celaka itu lantas dikait-kaitkan dengan mali-mali di atas, namun orang-orang meyakini akan kefatalan dari suatu kesalahan. (Lih. Djuweng, 2003 : 151).
Dalam terang filsafat, etika lingkungan hidup dan etika komunitarian bersinggungan sekali dengan mali-mali ini. Dapatlah dilihat bahwa itu semua mengarahkan sistem berpikir, sistem berbicara dan sistem bertindak dari masyarakat ke arah-arah tertentu yang bisa digali lebih dalam. Kesadaran kolektif dibentuk dalam format-format tertentu dalam hal ini. Namun terlepas dari sarana indoktrinasi psikologis berlandaskan ketakutan sebagai alasan dan pembenaran dari mali-mali itu, mali menunjukkan kearifan yang luhur dalam bertutur dan bertindak terhadap sesama, alam dan Tuhan. Etika hidup bersama yang seleras sungguh dibina dalam aneka mali orang Dayak Krio. (Bdk. Aku dialogal. Armada, 2011:16).
Bibliografi
Armada Riyanto, et. all., 2011. Aku dan Liyan. Malang : Widya Sasana Publication.
DAYAKOLOGI, Jurnal Revitalisasi dan Restitusi Budaya Dayak, Vol. I No. 2 Juli 2004. Pontianak : Mitra Kasih.
Getruida dan Saulus Edy, 2011. Kearifan Pengelolaan Sumber Daya Alam Iyang Krio. Pontianak: Mitra Kasih.
Gomes, Edwin H., 2004. Sea Dyaks of Borneo. Kota Kinabalu : Natural History Publication (Borneo).
Stepanus Djuweng, dkk., 2003. Tradisi Lisan Dayak. Pontianak : Institut Dayakologi.
Lihat Juga
Agustinus Tamtama ()