Buat Tangah (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Menghormati Alam”)
Tradisi Buat Tangah merupakan salah satu tradisi kearifan lokal dalam masyarakat Dayak Kendayan (kanayatn). Tradisi/ritual Buat Tangah ini merupakan sebuah tradisi yang berusaha menjadi penengah antara alam dan penguasa (manusia). Artinya dia sebagai penengah yang mendamaikan antara alam dan manusia (Pasti, KR Edisi September 2011: 38). Jika dibahasakan ke dalam isitlah kehidupan kita sehari-hari dapat dikatakan sebagai sebuah cara kita izin atau permisi kepada alam. Tradisi ini berkembang dan dihidupi secara khusus di daerah suku Dayak Kendayan. Sejauh ini ada 5 kabupaten/kota yang merupakan tempat di mana Dayak Kendayan tinggal dan menetap, diantaranya adalah: Kabupaten Mempawah, Pontianak Kota, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak dan Singkawang (khususnya Singkawang Timur). Namun agaknya tradisi ini lebih kuat dan berkembang dengan baik di daerah Kabupaten Landak, Kapbupaten Mempawah dan Kabupaten Bengkayang. Daerah-daerah ini memang merupakan basis orang Dayak Kendayan, khususnya di Kabupaten Landak.
Adapun materi-materi yang digunakan sebagai sebuah sarana upacaranya adalah: beras pulut, telur, beras banyu, beras sangah (beras biasa), api dan pelita, uang logam, topokng (sebuah tempat yang biasanya digunakan oleh orang Dayak yang tua untuk menyimpan segala rokok kertas atau rokok daun, dalam bahasa indonesia dapat disebut sebagai kantong tempat peralatan rokok atau sirih), topokng dalam tradisi ini agaknya lebih besar ukurannya, sehingga memungkinkan untuk menyimpan segala materi-materi sebagaimana yang disebutkan di atas, ada juga materi-materi lainnya seperti ayam kampung dan air putih, rokok nipah, tembakau, kapur dan piring putih dan ada juga bahan paraje’an (pulut dan kue), tempayan kecil berwarna kecoklatan, pisau, serta baliukng (Pasti, KR Edisi September 2011: 38). Inilah materi-materi yang menjadi kebutuhan dalam tradisi Buat Tangah ini. Materi-materi ini secara umum digunakan dalam ritual nyangahatn. Nyangahatn memang menjadi bagian dari ritual yang tak terpisahkan dalam setiap tradisi yang diadakan oleh masyarakat Dayak Kendayan, nyangahatn senantiasa menjadi bagian dari yang pada umumnya selalu ada dalam setiap upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kendayan.
Prosesi adat/tradisi Buat Tangah ini diawali dengan nyangahatn (ritual sembahyang yang dilakukan dengan pembacaan mantra dan sesajian), ada dua bentuk nyangahatn ini, ada nyangahatn mantak (mentah) dan ada pula nyangahatn masak (matang). Pada umumnya nyangahatn mantak terlebih dahulu dilakukan baru kemudian dilanjutkan dengan nyangahatn masak. Sambil membacakan mantra sang dukun menggenggam beras di tangan kanannya. Dukun yang melakukan prosesi ini tidak sendirian, dia dikelilingi oleh beberapa orang, dan posisi dukun menghadap ke arah pintu utama rumah (Pasti, KR Edisi September 2011: 38). Beras dalam genggamannya ini oleh dukun dihambur-hamburkan ke arah perlengkapan adat sambil membacakan mantra. Kemudian ia memegang pisau dan beliung, ia memukulkan keduanya sehingga menimbulkan suara mirip lonceng dalam prosesi ini, dukun akan menanggil jubata dengan membacakan mantra. Tindakan memukul lonceng dimaksudkan untuk memanggil roh-roh untuk mengunjungi ada ini atau menyuruh berkumpul.
Selanjutnya, sang dukun akan memegang beras banyu yang ada minyaknya. Beras itu lalu diangkat agak ke atas. Sementara minyak dioleskan ke tempayan kecil, juga dioleskan ke salah satu jidat dari pemilik rumah. Beras banyu artinya meminta maaf kepada Jubata. “kalau ada yang kurang dalam adat ini sehingga minta digenapi. Hadirnya Jubata adalah untuk membersihkan. Dukun kemudian memegang ayam kampung, sambil terus membaca mantra, ayam tersebut diputar-putarkan di atas perlengkapan adar, di hadapannya. Mengangkat ayam kampung, tujuannya untuk mengeluarkan hal-hal jelek pada diri manusia. Setelah itu, ayam kampung dipotong oleh petugas khusus, baru kemudian dimasak dengan sistem masak rebus (Pasti, KR Edisi September 2011: 38). Setelah ayam tersebut dimasak kemudian diletakkan dihadapan dukun, bagian badannya dibelah menjadi dua namun tidak terpisah, artinya tidak dibelah secara langsung, daging dan hati ayam kemudian diiris-iris menjadi bagian-bagian kecil, dimasukkan dalam pupu’ (tempat untuk menyimpan sesajian), sementara daging ayam diletakkan di atas piring. Pada piring itu diletakkan juga nasi bambu. Kemudian dioleskan dengan darah ayam. Posisi nasi bambu tersebut di atas daging ayam. Barulah kemdian nyangahatn masak dimulai. Pada nyangahatn masak (matang) ini, dukun kembali memegang beras dengan tangan kanannya, diangkat sedikit dan disejajarkan dengan telinga. Sambil terus membaca mantra, beras itu dihamburkan ke piring. Tak ketinggalan juga, dukun memegang pisau dan beliung seperti pada tahap awal dan keduanya saling dipukulkan. Beras banyu juga dioleskan dan diputar-putarkan. Pada pisau dioleskan darah ayam. Hal serupa juga dilakukan pada tempayan kecil. Pisau itu kemudian diputar-putar di atas kepala sang dukun.
Prosesi berikutnya adalah mengangkat perlengkapan pupu’. Dukun memegang isi dalam pupu’ itu sebagian dimasukkan ke dalam tempayan, namun ada juga yang diletakkan ke dalam piring. Dukun kemudian memukulkan kembali pisau dan beliung seperti pada proses nyangahatn mantak, hal ini menjadi semacam sebuah tanda bahwa nyangahatn masak sudah selesai dilaksanakan. Jika melihat sesitematisasi atau urutan upacaranya, Buat Tangah ini nampak ada bagian-bagian tertentu yang menjadi seperti pembuka, isi dan penutupnya. Tiga bagian ini tersusun dengan sedemikian rapi dan nampak begitu saling berkaitan, sehingga nampak kesatuannya dalam sebuah tradisi yang sarat akan nilai-nilai mistisnya ini. Masyarakat Dayak pada umumnya memang memandang alam sebagai bagian dari hidup mereka dan tak terkecuali juga dengan Dayak Kendayan. Ada ungkapan yang terkenal dari Syarif Alqadrie, bahwa “hancurkan hutan maka alam akan menghancurkan kita juga” (Florus, dkk, 1994: XXXI). Maka kita heran mengapa alam menjadi sebegitu akrabnya dengan mereka, sehingga dalam hal-hal yang sederhana seperti ini (membangun rumah) membutuhkan suatu ritual khusus, yang dimaksudkan untuk meminta izin kepada penghuni sebelumnya (roh-roh halus). Perijinan menjadi bagian dari hal yang utama dilakukan dengan maksud agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan baik ketika membangun rumah tersebut maupun saat rumah itu ditinggali/ditempati. Biasanya jika ritual ini tidak dilakukan, maka akan ada semacam bencana entah itu berupa penyakit maupun kecelakaan yang terkadang nampak seperti tidak wajar. Hal itu bisa saja terjadi kepada pekerja maupun kepada yang membangun atau yang tinggal di rumah tersebut. Maka dengan demikian ritual ini menjadi begitu penting dilakukan bagi masyarakat Dayak Kendayan pada umumnya, mengingat akan konsekuensi yang diterima sebagai akibat dari tidak terlaksananya ritual ini.
Pembahasan mengenai lingkungan sebagai bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang integral kehadirannya bagi manusia cukup ketat dibahas dalam dokumen terbaru yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus yakni Laodato Si. Sebuah dokumen yang secara khusus memberi perhatian pada lingkungan hidup. Manusia sebagai penghuni alam ini hendaknya menjadi bagian dari sahabat alam. Maka sebagaimana yang diungkapkan dalam dokumen Laodato Si, ketika berbicara tentang lingkungan, hal itu secara langsung juga mengacu pada relasi yang khusus antara alam dan masyarakat yang menghuninya (Fransiskus, 2015: art. 139). Dari gagasannya yang demikian, berarti manusia harus sungguh-sungguh menjaga alam dengan baik. Dan sebagaimana yang terdapat dalam tradisi buat tangah, hal itu cukup memperlihatkan bagaimana alam itu sungguh-sungguh menjadi bagian dari Masyarakat Suku Dayak Kendayan dan mereka telah menunjukkan bahwa merekalah sang sahabat-sahabat alam.
Bibliografi
Pasti, Andika., Dalam Majalah Kalimantan Review, Edisi september 2011. Garansi Si Miskin. Pontianak: Percetakan Mitra Kasih
Florus, paulus, dkk., 1994. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Fransiskus, Paus., 2015. Laodato Si (terj: P. Martin Harun. OFM). Jakarta: OBOR
Lihat Juga
iko logam ()