Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Bahuma Tahutn (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Berladang/Bersawah Tahunan”)


Bahuma berasal dari kata “Uma” dan tambahan imbuhan “ba = be/ber. Uma adalah: ladang/sawah, namun dapat juga berarti nebas/menebas (kata Kerja). Namun hal yang akan dilihat dan dibahas pada bagian ini adalah uma dalam arti ladang/sawah. Maka ketika kata “uma” ditambah dengan imbuhan “ba” akan menjadi bahuma yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berladang/bersawah. Sedangkan Tahutn berarti tahun. Hal inilah yang mungkin kemudian menjadi latarbelakang mengapa tradisi ini menjadi tradisi tahunan. Tradisi ini sarat akan ritual, di mana terdapat juga ritual nyangahatn di sana. Ritual ini menjadi semacam pembuka dari tradisi berladang ini.

Tradisi ini berkembang hingga sampai saat ini di kalangan Masyarakat Dayak Kendayan. Bahuma memang menjadi sarana bagi masyarakat Dayak Kendayan dalam memenuhi kehidupannya terutama dalam memperoleh beras. Pada umumnya tradisi ini dilaksanakan satu tahun sekali dengan sebutan uma tahutn, namun oleh karena perkembangan jaman dan tuntutan-tuntutan yang ada masyarakat Dayak Kendayan kemudian melaksanakan kegiatan bahuma ini satu tahun dua kali dengan tambahan perladangan/persawahan Padi Bulanan. Tentang penyebutan Padi Bulanan ini tidak diketahui dari mana asalnya karena hal ini merupakan program pemerintah. Padi Bulanan dulunya memang menjadi salah satu program pemerintah terhadap para petani dalam meningkatkan hasil panenan padi, sehingga bibit Padi Bulanan pun disediakan oleh pemerintah melalui pengurus Desa atau RT setempat, namun hingga kini bersawah dengan menggunakan bibit Padi Bulanan tetap dilaksanakan. Tetapi meskipun demikian tradisi bahuma tahutn tetap menjadi prioritas dan selalu diadakan karena hal ini menyangkut identitas dan selain itu, beras (yang kemudian menjadi nasi) dari hasil Padi Tahunan lebih wangi jika dibandingkan dengan beras dari Padi Bulanan, hal ini agaknya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat Dayak Kendayan tetap melestarikan tradisi bahuma tahutn dengan menggunakan Padi Tahunan.

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa antara berladang memang memiliki perbedaan, terutama terkait dengan lahannya, jika berladang maka hal itu pada umumnya di perbukitan (dataran tinggi) sedangkan bersawah, berarti di persawahan, namun diantara keduanya tetap memiliki posisi yang sama sebagai sebuah tradisi yang menjadi satu kesatuan dalam bahuma tahutn. Bahuma tahutn jika melihatnya secara sekilas memang hanya menjadi tradisi berladang/bersawah yang tidak lain tidak bukan hanya untuk memperoleh padi/beras/nasi. namun agaknya pandangan yang demikian perlu untuk digagas kembali, karena berladang/bersawah dalam tradisi Masyarakat Dayak Kendayan tidak hanya sekedar untuk memperoleh padi/beras/nasi saja. Berladang sesungguhnya menjadi sebuah sarana bagi Masyarakat Dayak Kendayan dalam mengungkapkan relasi mereka dengan alam. Relasi itu kemudian dengan sungguh-sungguh mereka nampakkan pada saat mereka akan memulai perladangan. Tradisi bahuma ini mereka awali dengan sebuah ritual nyangaatn sebagaimana yang sudah dikatakan pada bagian atas. Nyangahatn seakan-akan menjadi seperti pembukan dari tradisi ini. Ritual nyangahatn dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk meminta izin kepada alam dan Jubata yang empunya seluruh jagat raya. Kepada alam agar memberikan suatu kenyamanan selama proses bahuma tahutn dilaksanakan sedangkan kepada Jubata adalah untuk meminta berkat dan perlindungan agar hasil dari bahuma tahutn sungguh sesuai dengan yang diharapkan.

Proses tradisi bahuma tahutn pada umumnya dimulai dengan nyangahatn atau nabo’ panyugu tahutn (melihat tempat ibadat tahunan) setelah proses itu dilaksanakan dilanjutkan dengan proses ngawah (mengunjungi), yang bertujuan untuk melihat tempat dan lahan yang cocok. Kemudian dilanjutkan pula dengan upacara nangaratn rasi, upaca ini dilakukan di alam bebas pada malam hari dengan mendengarkan bunyi-bunyian dari alam sekitar seperti bunyi-bunyi burung dan binatang lainnya sebagai petunjuk atau tanda-tanda alam. Hal ini dipercaya sebagai jawaban apakah proses perladangan/persawahan baik dilanjutkan atau tidak. Ritual selanjutnya adalah ngaratas, merupakan kegiatan untuk membuat jalur atau semacam jalan yang akan digunakan untuk menempuh/menuju tempat yang akan digunakan sebagai lahan. Baru setelah ngaratas selesai dilanjutkan dengan nabakng, yang merupakan kegiatan menebang pohon, pohon yang ditebang tentunya di tempat yang awalnya sudah ditentukan sebagai lahan yang akan digunakan untuk berladang. Berkaitan dengan kegiatan ngaratas dan nabakng ini, umumnya hanya terdapat dalam konteks berladang.

Sedangkan untuk bersawah ritual dan prosesnya sedikit berbeda, hal ini menyesuaikan dengan lahan yang akan digunakan, jika berlandang pada umumnya di perbukitan sedangkan bersawah adalah di sawah. Dalam proses pertanian di sawah, setelah proses nabo’ panyugu tahutn selesai maka kemudian dilanjutkan dengan nabas (nebas), apa yang ditebas? Biasanya di sawah banyak rerumputan yang cukup tinggi sehingga tidak dapat langsung ditanami, maka dari itu butuh ditebas terlebih dahulu. Sesudah menebas rumput-rumput yang ada dibakar, hal ini juga mempunyai tujuan, yakni untuk menyuburkan tanahnya, biasanya sehabis dibakar maka tanah akan lebih gembur dan mudah ditanami serta hasil dari pembakaran itu juga bisa menjadi pupuknya.

Setelah pembakaran dilanjutkan dengan menaikkan air di sawah yang kemudian menggenangi seluruh lahan persawahan. Air memang harus sesegera mungkin menggenangi sawah, karena dengan demikian tidak tumbuh rumput-rumput. Baru setelah itu, ketika lahan dirasa sudah siap untuk ditanami, maka pada bagian ini Masyarakat Dayak Kendayan akan membentuk suatu kelompok tani yang dinamakan dengan aleatn uma (kelompok gotong royong). Setelah terbentuk kelompok-kelompok tersebut mereka kemudian nugal (menugal) dengan cara bergantian dari satu ladang ke ladang yang lain, kegiatan ini disebut balale’ (Suwondo, 1983: 68). Setelah seluruh proses perladangan selesai. Mereka akan beristirahat sejenak sembari menunggu saat ngarumput (membersihkan rerumputan yang ada di sekitar padi).

Ngarumput merupakan suatu kegiatan yang terakhir dari proses perladangan sebelum panen. Maka setelah ngarumput Masyarakat Dayak Kendayan akan mempersiapkan selurruh keperluan mereka berkaitan dengan kebutuhan yang akan digunakan dalam proses panenan, biasanya yang lebih menjadi perhatian adalah tempat yang akan digunakan untuk menempatkan padi tersebut. Dulunya tidak seperti sekarang ini yang menggunakan karung. Tradisi zaman dahulu menggunakan tempat khusus untuk tempat padi yang disebut dengan Lumbung. Setelah semua proses panenan selesai barulah tradisi bahuma ini dinyatakan sudah selesai, karena kemudian dilanjutkan dengan tradisi yang lain, seperti Baroah (makan nasi baru) yang merupakan ungkapan syukur karena sudah mendapat beras/nasi baru.

Tradisi ini memang merupakan sebuah tradisi yang sangat kaya akan dimensi relasionalitasnya, terutama dengan alam. Bagaimana Masyarakat Dayak Kendayan begitu menghargai alam, hal itu terlihat dari berbagai macam prosesi tradisi bahuma ini. Relasionalitas manusia dengan alam memang menjadi suatu hal yang tidak asing, bagitu banyak para tokoh yang berusaha menunjukkan perhatiannya terhadap alam. Hal itu berkaca pada situasi alam saat ini. Salah satu contohnya adalah Prof. Dr. Armada Riyanto. CM yang memberikan suatu ajakan bahwa bagaimana agar Alam menjadi tema penting dewasa ini, hal itu berangkat dari kecemasannya yang melihat realitas manusia yang nampak sudah melupakan kelestarian alam, dan bahkan ia mengatakan alam pada saat ini, seakan-akan sudah diperkosa (Riyanto, 2013: 30).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Riyanto, Armada CM., 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius

    Suwondo, Bambang, 1983. Sistem Gotong-royong Dalam Masyarakat Pedesaan
    Daerah Kalimantan Barat
    . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


    Lihat Juga

    Buat Tangah (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Menghormati Alam”)  Petekuraang (Bahasa Dayak Kayaan: Hal “Adat Berdamai Dengan Sesama”)  Rumah Radakng (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Rumah Panjang/Adat-Tempat Tinggal”) 

    Oleh :
    Iko Logam ()