Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Petekuraang (Bahasa Dayak Kayaan: Hal “Adat Berdamai Dengan Sesama”)


Petekuraang secara harafiah dapat diterjemahkan dengan kata “berdamai” kata inilah yang paling cocok dan sesuai jika melihat bentuk dan tujuan dari ritual/adat ini. Petekuraang adalah upacara adat yang digunakan untuk mengakhiri sebuah perselisihan akibat sebuah peristiwa berupa pertikaian yang mengakibatkan antara satu pihak/keluarga dengan pihak/keluarga yang lain berselisih atau bahkan mungkin bentrok hingga mengakibatkan pada suatu kematian (pembunuhan), dan adat/itual ini menjadi suatu sarana bagi masyarakat Dayak Kayaan dalam menyelesaikan pertikaian/perselisihan tersebut. Maka sebagaimana arti harafiah dari Petekuraang yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kata “berdamai”, agaknya cukup sesuai jika melihat fungsi atau tujuan dari ritual/adat ini.

Tradisi ini pada umumnya dihidupi dan dilestarikan di Suku Dayak Kayaan yang sebagian besar tinggal di daerah Kabupaten Kapuas Hulu. Tradisi ini nampak memiliki kesamaan dengan tradisi pucaro dalam Dayak Muara yang memiliki perkara adat sebagai media dalam menyeesaikan konflik atau sengketa diantara komunitas mereka (Pasti, KR Edisi Oktober 2011: 54) Sebagaimana yang diketahui dari sumber, tradisi ini masih dijalankan secara khusus oleh suku Dayak Kayaan di Sungai Mendalam Kecamatan Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu-Kalimantan Barat (Uyub, KR Edisi September 2011: 42).

Dalam adat Petekuraang ada dua hal penting yang perlu dilakukan oleh kedua pihak yang berselisih (bermasalah), yakni saling petsak kanan (saling mencicipi nasi) dan melompati api pahun (api unggun). Petsak kanan ini dawali dari pihak yang dinyatakan bersalah, dengan memberikan nasinya kepada pihak yang dinyatakan tidak bersalah atau biasa kita sebut sebagai korban. Pihak yang bersalah menyerahkan sebungkus nasi yang dibungkus dalam daun pisang yang diikat dengan sebilah malaat kayo (mandau) dan sehelai bulu burung Enggang. Nasi yang diterima oleh pihak yang tidak bersalah tadi, mencicipi sedikit nasi yang diberikan padanya sambil seseorang tetua yang diberi kepercayaan untuk menengahi perkara itu menyentuhkan mandau dan bulu burung enggang pada dahi sang penerima nasi. Sebaliknya, pihak yang tidak bersalah juga memberikan hal yang sama pada pihak yang bersalah dan melakukan hal yang sama pula.

Setelah proses ini dilakukan, maka mandau yang diberikan oleh pihak yang bersalah, diambil oleh pihak yang tidak bersalah. Hal ini dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai simbol bahwa mereka saling memaafkan dan saling mengampuni satu sama lain (Uyub, KR Edisi September 2011: 42). Adapun nasi yang dimakan dalam prosesi ini adalah sebagai simbol bahwa mereka bisa saling menerima karena nasi dianggap sebagai lambang kebersamaan manusia dalam kehidupan. Simbol nasi ini merujuk pada funginya sebagai makanan pokok yang memberi kekuatan (energi) untuk bertahan hidup, secara khusus masyarakat Dayak yang pada umumnya menjadikan nasi sebagai makanan pokok untuk bertahan hidup. Masyarakat Dayak juga sangat menghargai nasi/beras/padi dan sejenisnya sebagai sesuatu yang dilimpahkan oleh Yang Esa kepada mereka dan tidak terkecuali juga dengan masyarakat Suku Dayak Kayaan. Oleh karena itu lambang kebersamaan yang disimbolkan pada nasi dalam tradisi ini menjadi sesuatu yang sangat relevan.

Kemudian setelah selesai melaksanakan ritual Petekuraang ini, kedua belah pihak boleh makan dan minum bersama. Seperti sebelum terjadi perselisihan. Mereka juga boleh saling menerima pemberian dan boleh saling berkunjung ke rumah mereka masing-masing. Sarana lain yang juga digunakan dalam prosesi ritual Petekuraang ini adalah seperti mandau dan bulu burung Enggang, api pahung (api unggun), serta nasi. Masing-masing memiliki arti penting dalam adat tersebut. Seperti mandau yang melambangkan semangat seseorang yang kuat seperti baja; tahan uji ketika menerima godaan di hari-hari mendatang (Uyub, KR Edisi September 2011: 42). Menurut kepercayaan orang Kayaan, jiwa seseorang terdapat dalam diri manusia, karena itu mandau disentuh pada dahi seseorang supaya jiwa seseorang menjadi keras seperti besi, tajam seperti mandau (Uyub, KR Edisi September 2011: 42). Tujuan ini tentunya mengandaikan bahwa sebelumnya jiwa seseorang itu lemah. Sementara bulu ekor Enggang disimbolkan sebagai sapu yang membersihkan noda-noda yang bersifat jahat pada seseorang. Bulu Enggang itu menyapu dan melepaskan semua hal yang bersifat jahat, seperti daya angin ribut yang dapat menumbangkan pohon kayu-kayu besar, begitu pula dengan Enggang tersebut, dapat menyapu/membersihkan segala yang jahat dan menyingkirkannya ke tempat lain dari dalam diri seseorang dan secara khusus kepada mereka yang bertikai/berselisih.

Setelah petsak kanan, kedua belah pihak yang saling berselisih melakukan prosesi melangkahi api pahun, dalam api pahun itu, dibakar sehelai daun liung (semacam daun keladi). Api pahun itu terlebih dahulu dilangkahi oleh kedua belah pihak keluarga yang saling bersengketa, kemudian disusul oleh semua warga yang turut hadir dalam prosesi ritual tersebut.

Prosesi melompati api pahun itu adalah untuk menghilangkan semua jenis sifat jahat yang tadinya belum terbuang secara bersih dan sempurna oleh sehelai bulu burung Enggang dan oleh tajamnya mandau. Dengan melompati api pahun diyakini semua jenis sial dan hal-hal yang jahat akan dihilangkan atau dihapuskan, semuanya itu terjatuh kedalam api pahun bersamaan dengan ketika kita melompati api tersebut, semua hal-hal dan jahat jatuh dan terbakar ke dalam api pahun. Api pahun yang digunakan dalam ritual ini bermakna membersihkan dengan cara membakar segala hal yang bersifat negatif, namun prosesi ini belum sepenuhnya menghilangkan seseorang dari segala hal negatif yang ada dalam dirinya, maka kemudian ada prosesi lanjutan untuk membersihkan sepenuh-penuhnya mereka yang memiliki amarah karena pertikaian. Prosesi ini adalah mandi ke sungai atau bisa juga dengan pemercikkan air kepada mereka yang bertikai. Prosesi pemercikan air ini menjadi prosesi yang terakhir dari seluruh rangkaian ritual yang dijalankan. Terdapat dua cara, yakni dengan mandi di sungai atau hanya cukup dengan pemercikkan air. Perlu diketahui bahwa kedua-duanya memiliki makna yang sama, tidak ada yang lebih baik dan semuanya itu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkait dengan tempat pelaksanaannya, namun pada umumnya dilakukan dengan cara mandi di sungai.

Mandi ke sungai memberikan suatu makna bahwa dengan prosesi mandi tersebut, sesorang yang pada awalnya memiliki amarah, dendam dan sakit hati, dihanyutkan seiring dengan aliran sungai tersebut. Demikian juga jika hal itu dilakukan dengan pemercikan air, sejatinya dengan memercikkan air hal itu dpercaya dapat membersihkan seseorang dari amarah, dendam dan sakit hati. Air dalam hal ini berfungsi sebagai sesuatu yang dapat membersihkan apapun hal negatif yang ada dalam diri seseorang. Masyarakat Dayak Kayaan meyakini air yang digunakan dalam ritual ini dapat membersihkan apapun hal yang bersifat negatif dalam diri seseorang. Maka setelah prosesi ini dilakukan kedua belah pihak yang awalnya berselisih atau mungkin saling dendam diperdamaikan.

Apa yang menjadi gagasan dalam tradisi ini agaknya senada dengan filsafat muka dalam teori Emmanuel Levinas. Ia menyatakan bahwa ketika berhubungan dengan orang lain, merekalah yang membuka transendensi dan menghantar kita ke sebuah hubungan yang sama sekali berbeda dari pengalaman dalam arti kata inderawi yang relatif dan egois (Suseno, 2006: 91). Artinya bahwa hal-hal yang bersifat karakter keduniawian kita direduksi oleh relasi kita dengan orang lain.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Suseno, Franz Magnis., 2006. Etika Abad Dua Puluh. Yogyakarta: Kanisius

    Uyub, Dominikus., Dalam Majalah Kalimantan Review Edisi September 2011.

    Garansi Si Miskin. Pontianak: Percetakan Mitra Kasih

    Pasti, Andika., Dalam Majalah Kalimantan Review Edisi Oktober 2011. Bebaskan

    Mereka. Pontianak: Percetakan Mitra Kasih


    Lihat Juga

    Buat Tangah (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Menghormati Alam”)  Bahuma Tahutn (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Berladang/Bersawah Tahunan”)  Rumah Radakng (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Rumah Panjang/Adat-Tempat Tinggal”) 

    Oleh :
    Iko Logam ()