Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Rumah Radakng (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Rumah Panjang/Adat-Tempat Tinggal”)


Rumah Radakng secara harafiahnya diartikan sebagai ‘rumah panjang/rumah adat”. Disebut sebagai rumah panjang karena bentuknya yang memanjang sedangkan sebagai rumah adat, hal itu karena Rumah Radakng menjadi tempat diadakannya acara gawai/Naik Dango dan semacamnya. Dia menjadi semacam sentral yang menyatukan masyarakat Dayak, dan secara khusus di sini adalah Masyarakat Dayak Kendayan. Rumah Radakng jika dipandang sekilas saja, hanya nampak seperti rumah panjang yang unik dan dengan desain kolongnya yang tinggi, namun letak keunikan dan arti dari Rumah Radakng ini tidaklah hanya itu saja. Sesungguhnya Rumah Radakng ini memiliki sebuah arti yang mendalam terkait dengan persekutuan hidup (sosial sistem) yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan suku, baik yang bersifat sosial kemasyarakatan maupun yang bersifat keadaamaan dan seremonial (Andasputra, 1997: 45).

Rumah Radakng ini pada dasarnya ada di tempat-tempat yang menjadi semacam sentral dari daerah-daerah yang menjadi cakupan kontingen dari berbagai tempat, artinya yang mudah dijangkau dan relatif dekat bagi kontingen yang tergabung di dalamnya. Maka sebagai contoh Rumah Radakng yang ada di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Pontianak (Sekarang Kabupaten Landak), Rumah Radakng ini menjadi salah satunya dan agaknya menjadi yang pertama bagi Suku Dayak Kendayan (Andasputra, 1997: 47). Namun sekarang sudah berpindah di Kota Pontianak. Rumah Radakng ini menjadi salah satu bangunan tradisional yang menjadi identitas bagi Masyarakat Dayak Kendayan.

Hal ini mengungkapkan konteks kehidupan mereka zaman dahulu, tinggal ditengah hutan dengan binatang buas yang menjadi ancaman, sehingga tidak mengherankan ketika dilihat struktur bangunan Rumah Radakng yang nampak begitu tinggi dan lain dengan rumah zaman sekarang ini yang hampir seluruhnya menjadikan dasar bumi (tanah) sebagai pondasi lantai. Rumah Radakng ini berbentuk rumah panggung yang memiliki ciri khas yang ditampilkan dari bentuk atap dan dekorasi perlengkapan. Bentuk fisiknya berukuran 103 meter panjang, 12 meter lebar, 5,1 meter serambi, 2, meter tinggi dek. Dan dengan beberapa bagian yang terdiri dari: Tanga’ naik (tangga naik), pante (depan pintu/antara pintu dengan tangga), serambi, sami’ (ruang tamu), kamar keluarga atau bilik, dapur, dan jungkar (Andasputra, 1997: 47).

Dari pembahasan bagian atas telah sedikit disinggung bahwa Rumah Radakng merupakan sebuah ruhmah yang tidak hanya sembarang rumah sebagaimana yang sekarang ditempat oleh manusia pada umumnya. Ada cukup banyak makna yang terkandung dalam rumah yang satu ini. Perannya yang cukup terlihat adalah menyatukan, dia menjadi sarana pertemuan bagi Masyarakat Dayak Kendayan pada umumnya. Mereka bertemu dalam ungkapan syukur bersama yang diwadahi melalui tradisi gawai atau biasa juga dikenal dengan sebutan Naik Dango. Naik Dango memang menjadi saat bagi Masyarakat Dayak Kendayan mengungkapkan syukurnya kepada Jubata.

Dalam tradisi Naik Dango ini kemudian bakat-bakat terhadap permainan tradisional dipertunjukkan termasuk diantaranya kecakapan dalam berburu, berburu patut diketahui bersama merupakan suatu aktivitas yang khas dalam Masyarakat Dayak Kendayan. Dengan berburu mereka memperolah makanan, dan bahkan dulunya, jika hasil burunanya melimpa maka mereka bisa bertahan selama berminggu-minggu dengan hasil buruannya itu. Oleh karena itu kecakapan dalam berburu juga menjadi bagian dari hal yang penting bagi Masyarakat Dayak Kendayan. Berbagai acara yang diselenggarakan itu adalah sebagai sarana pemersatu, sehingga keeratan persaudaraan Masyarakat Dayak Kendayan itu tidak hanya dalam lingkup daerah desa atau kecamatan saja, melainkan bisa lebih dari itu dan Rumah Radakng ini menjadi salah satu hal yang berperan dalam kebersatuan Masyarakat Dayak Kendayan.

Peran Rumah Radakng ini jika dibandingkan dengan situasi zaman ini dapat disejajarkan dengan gereja atau masjid yang menjadi tempat pertemuan para jemaat, namun gereja atau masjid lebih bersifat pertemuan religius sedangkan Rumah Radakng lebih mengandung nilai sosial. Karena mengungkapkan suatu persekutuan yang teraktualisasikan dalam bentuk tradisi yang diselenggarakan di Rumah Radakng tersebut. Rumah Radakng dengan nilai persekutuannya yang sangat erat, juga membangkitkan nilai solidaritas diantara Masyarakat Dayak Kendayan. Dengan semboyan yang khas sebagaimana yang dibahasakan oleh Dr. Valentinus Saeng yakni: Trisila Hidup Orang Dayak: “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata” artinya: Adil ke pada sesama, becermin ke surga, bernafaskan Sang Kuasa (Riyanto, 2015: 505).

Ungkapan ini menjadi suatu semangat pemersatu untuk Masarakat Dayak dan secara khusus bagi Masarakat Dayak Kendayan. Di mana mereka bersatu dalam kebersamaan, dengan surga sebagai ukuran nilai-nilai hidup yang harus mereka capai, dan menyadari peran Sang Kuasa yang memberikan hidup. Semboyan ini menjadi sangat hidup dan sungguh-sungguh menyatukan Masyarakat Dayak Kendayan dimana ketika kata-kata ini dibunyikan maka pada akhir dari kata ini mereka dengan serentak akan menjawab “Arus...Arus..Arus” yang berarti sama dengan amin sebagaimana yang biasa diucapkan di akhir sebuah doa.

Dalam Rumah Radakng ini bisanya hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat kembali ditekankan. Bagaimana seharusnya orang Dayak Kendayan itu mentaati adatnya, dengan mentaati adat hal itu diharapkan akan memberikan suatu keharmonisan tersendiri, baik itu bagi keluarga maupun masyarakat luas. Adat menjadi sedemikian penting, hal itu karena adat istiadatlah yang pada umumnya menjadi semacam pengatur seluruh sistem hidup bermasyarakat dalam Masyarakat Dayak Kendayan. Segala perkara diselesaikan dengan adat, baik dari hal yang sederhana seperti pernikahan sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan pertikaian atau perkelahian. Maka dengan demikian menjadi semakin jelas terlihat bagaimana fungsi dan kegunaan dari Rumah Radakng yang menyatukan dan menyeragamkan Masyarakat Dayak Kendayan. Fungsi dari Rumah Radakng bersifat sosio-kultural, fungsinya yang demikian menjadi suatu kekuatan tersendiri bagi Masyarkat Dayak Kendayan. Bagaimana ungkapan kebersatuan itu mereka aktualisasikan dalam pelaksanaan tradisi-tradisi mereka yang dipusatkan di Rumah Radakng. Maka dalam hal ini Rumah Radakng menjadi sarana dalam peletarian terhadap tradisi-tradisi yang ada dalam Suku Dayak Kendayan.

Pada dasarnya nilai solidaritas dan kebersatuan menjadi sedemikian penting, terlebih jika melihaat dan berkaca pada situasi jaman yang semakin berubah. Bagaimana membangun relasi yang erat dengan sesama menjadi hal yang patut untuk dilakukan dan diutamakan. Kebersamaan tak dapat dipungkiri merujuk pada nilai relasionalitas, bagaimana orang bisa bersatu padu, mempunyai semangat yang sama dan menjunjung nilai solidaritas. Pada akhirnya kebersamaan dan relasi yang baik itu akan membawa pada sebuah kedamaian dan ketentraman hati. Sebagaimana yang diungkapkan dalam gagasan Prof. Dr. Armada Riyanto CM yang mengatakan bahwa damai itu berkaitan dengan tata hidup bersama, dan itu hanya mungkin diperoleh ketika damai itu juga menyentuh relasiku dengan yang lain (Riyanto, 2013: 90). Maka dengan demikian Rumah Radakng menjadi bagian dari cetusan relasionalitas dari Suku Dayak Kendayan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Riyanto, Armada dkk (edt). 2015., Kearifan Lokal Pancasila (dlm. Art. Dr. Valentinus

    Saeng tentang : “Trisila Hidup Orang Dayak: Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’
    Saruga, Basengat Ka’ Jubata”.
    Yogyakarta: Kanisius

    Andarputra, Nico dan Vincentius Julipin (edt). 1997., Mencermati Dayak Kanayatn.
    Pontianak: Institute of Dayakology Research adn Development.

    Riyanto, Armada CM., 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius


    Lihat Juga

    Buat Tangah (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Menghormati Alam”)  Petekuraang (Bahasa Dayak Kayaan: Hal “Adat Berdamai Dengan Sesama”)  Bahuma Tahutn (Bahasa Dayak Kendayan: Hal “Berladang/Bersawah Tahunan”) 

    Oleh :
    Iko Logam ()