Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Kraton (Jawa, Yogyakarta: hal pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta)


Kraton merupakan salah satu kekhasan dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Kraton dalam Kamus Basa Jawa memiliki dua pengertian(Balai Bahasa Yogyakarta. 2005: 416). Pertama, kraton berarti daleming ratu (Jawa: kediaman raja atau istana). Kedua, kraton berarti pangrehing ratu utawi sing diereh ing ratu (Jawa: pemerintahan raja atau di bawah kuasa raja). Kraton sebagai istana atau kediaman raja berada di titik nol kota Yogyakarta. Sekarang tempat ini telahdibuka sebagai tempat wisata pada jam 10.00 sampai dengan 14.00 WIB. Pengertian kedua, Kraton sebagai pemerintahan raja berkaitan erat dengan sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem ini adalah bagian dari tradisi orang Jawa di Yogyakarta dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat mengikuti kepemimpinan kraton dengan pedoman ndherek karsa dalem (Jawa: mengikuti perintah raja). Hal ini sesuai dengan konsep kekuasaan Jawa. Konsep ini oleh Moedjanto (1994: 27) disebut konsep keagungbinatharaan. Maksud dari konsep ini adalah bawah masyarakat Jawa khususnya di Yogyakarta dipimpin oleh seorang Sri Sultan (Jawa: raja). Sri Sultan disebut juga Sinuwun, Ngarsa Dalem, dan Ratu. Ia berkuasa agung binathara, bahu dhendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta, lan njaga tata tentreming praja(Jawa: besar seperti dewa, pemelihara hukum dunia, berbudi luhur mulia, bersikap adil terhadap sesama, dan menjaga keteraturan serta kedamaian di dalam masyarakat, Bdk. Moedjanto. 1994: 27-28).

Agung binathara menyatakan bahwa kekuasaan raja sebagai pemimpin rakyat adalah mutlak.Raja berkuasa secara absolut. Sistem pemerintahan raja adalah monarki karena berada dalam kraton dan berlangsung turun temurun. Dengan demikian, pemerintahan D.I. Yogyakarta adalah monarki absolut. Bahu dhendha nyakrawati menunjukkan bahwa kekuasaan raja berada di bawah hukum alam. Sekalipun raja memimpin secara absolut, ia tetap berada di bawah hukum. Adapun hukum alam yang dimaksud dalam konteks sebagai salah satu provinsi dari negara Indonesia di sini adalah UUD 1945. Selain itu, raja terikat oleh beberapa kewajiban. Pertama, ia harusberbudi bawa leksana. Ia harus memimpin dengan penuh teladan kearifan Jawa. Ia harus menjadi teladan dalam bertutur kata, bertindak, dan bersikap. Singkat kata, ia harus memiliki unggah-ungguh (Jawa: hal berperilaku) yang benar dan bijak.Kedua, ia pun harus ambeg adil paramartayang berarti raja harus memimpin rakyatnya dengan adil.Keadilan itu tentu saja berdasarkan hukum dan sebaiknya tidak membuat kaum abangan (Jawa: rakyat jelata) menderita. Ketiga, Raja pun harus njaga tata tentreming praja. Ia harus menjaga keteraturan dan kedamaian di dalam masyarakat. Ia harus menjadi penengah dalam perkara rakyat dan memberikan solusi yang bijak atas perkara tersebut. Dalam menjalankan semuanya ini, Sri Sultan bergerak bersama rakyat. Rakyat memiliki kewajiban ndherek karsa dalem dengan ngemban dhawuh dalem (Jawa: melaksanakan perintah raja). Melalui relasi ini, baik Sri Sultan maupun masyarakat menjalankan tata hidup bersama yang baik, yaitu Jumbuhing kawula-gusti (Jawa: hal keseimbangan dan keteraturan hidup rakyat bersama raja, bdk. Moedjanto. 1994: 28).

Di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Jawa: nama resmi pemerintahan kraton Yogyakarta), Daerah Istimewa Yogyakarta, konsep pemerintahan kraton atau keagungbinatharaan masih digunakan sampai saat ini. Pengaruh kraton ditunjukkan dengan sangat jelas di dalam kehidupan orang Yogya melalui seni, sopan santun, maupun upacara adat (Perhimpunan. 2004: 29). Dalam hal-hal tersebut, kraton menjadi pusat budaya. Sebagai pusat, pihak kraton menjadi pemimpin dalam berbagai upacara adat, seperti Sekaten, Grebeg, Gunungan, Labuhan, Nglarung, Tirakatan, Suran dan lain sebagainya. Dalam seni, contoh yang dapat diberikan adalah terbukanya peluang bagi rakyat untuk mengenakan busana pernikahan seperti busana yang dikenakan di kraton (Perhimpunan. 2004: 29-30). Dalam pemerintahan Indonesia saat ini, kraton tetap memerintah sesuai demokrasi rakyat Yogyakarta. Sri Sultan Hamengkubawana X (Jawa, Yogyakarta: nama resmi sekaligus gelar raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) menjadi gubernur D.I. Yogyakarta dan Sri Pakualam IX(Jawa, Yogyakarta: nama resmi sekaligus gelar penguasa Kadipaten Pakualaman) sebagai wakilnya.

Etika komunitarian melihat realitas hidup bersama dalam masyarakat. Ia menilai kebaikan hidup bersama dalam masyarakat tersebut. Kebaikan hidup ini dalam masyarakat D.I. Yogyakarta adalah kesatuan rakyat dengan kraton. Kraton adalah wujud nyata dari kebebasan masyarakat Yogyakarta dalam kehidupan sosialnya. Melalui kraton masyarakat Yogyakarta menjaga budaya kejawaannya.

Riyanto (2011: 45) mengatakan bahwa kriteria kehidupan berada dalam kebebasannya. Setiap restriksi, pembatasan, dan peniadaan fleksibilitas merupakan introduksi kemunduran peradaban. Terkait dengan hal ini, kebebasan masyarakat Yogyakarta adalah bahwa mereka ndherek karsa dalem. Mereka telah sepakat dan setuju untuk mengikuti kebijakan kraton. Mereka sepakat memilih Sri Sultan sebagai pemimpin societas mereka. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan politik. Dalam politik disajikan eksplorasi segala keutamaan dan prinsip-prinsip tata hidup bersama (Riyanto. 2011: 35).

Machiavelli (bdk. 2015: 10-12) agaknya menyatakan bahwa sebuah kota atau societas dapat dibangun dengan sangat baik karena adanya seorang organisator yang bijak. Seorang organisator yang bijak itu bagi masyarakat D.I. Yogyakarta adalah Sri Sultan yang menjadi junjungan mereka.Sri Sultan melalui kraton menjadi patron bagi keseimbangan societas masyarakat D.I. Yogyakarta. Lebih lanjut, Machiavelli (2015:12) menyebut ada tiga jenis pemerintahan, yaitu: monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tiga jenis pemerintahan ini adalah jenis-jenis pemerintahan yang baik. Namun, ketiganya dapat menjadi buruk ketika tidak terorganisir dengan baik. Monarki menjadi tirani, aristokrasi membentuk oligarki, dan demokrasi berubah menjadi anarki. Masyarakat D.I. Yogyakarta dalam hal ini memegang kunci keberhasilan monarki selama mereka masih mengikuti budaya kraton. Ndherek karsa dalem menjadi suatu demokrasi masyarakat D.I. Yogyakarta atas kehendak pribadinya dalam memilih kraton sebagai pusat pemerintahan kota. Kraton menjadi simbol dari budaya demokrasi masyarakat D.I. Yogyakarta. Kraton adalah tanda bangunan societas masyarakat D.I. Yogyakarta. Melalui kraton masyarakat D.I. Yogyakarta membangun budayanya dalam unggah-ungguh yang benar sebagai orang Jawa Yogyakarta.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Balai Bahasa Yogyakarta, 2005. Kamus Basa Jawa, cetakan kelima, Yogyakarta: Kanisius.

    Machiavelli, Niccolo, 2015. Diskursus, Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea.

    Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, 2004. Jogja Self Guide, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.


    Lihat Juga

    Nglarung (Jawa, Yogyakarta: ritual memohon berkah dari Laut Selatan bagi kedamaian Yogyakarta)  Urip Iku Kudu Sing Sembada (Jawa, Yogyakarta: hal menasihati anak-anak agar hidup dengan sepantasnya)  Merapi (Jawa, Yogyakarta: hal relasi orang Jawa Yogyakarta dengan lingkungan hidupnya) 

    Oleh :
    Alvarian Utomo (-)