
Urip Iku Kudu Sing Sembada (Jawa, Yogyakarta: hal menasihati anak-anak agar hidup dengan sepantasnya)
Urip iku kudu sing sembada adalah sebuah kalimat dalam bahasa Jawa yang menekankan kebijaksanaan hidup. Kalimat ini merupakan bahas pengajaran terhadap anak-anak agar berani bertanggung jawab dan bertindak sesuai dengan unggah-ungguh (Jawa: hal berperilaku) yang berlaku baginya. Sembada dalam Kamus Basa Jawa berarticocog, patut, pantes (Jawa: sesuai, sepatutnya, sepantasnya, Balai Bahasa Yogyakarta. 2005: 711). Pengertian ini berkaitan dengan kebijaksanaan hidup bersama dalam pribadi orang Jawa. Dengan demikian, secara harafiah urip iku kudu sing sembada berarti hidup itu harus dengan sepantasnya.
Di dusun Jetis IV, Sidoagung, Godean, Sleman, D.I. Yogyakarta kalimat urip iku kudu sing sembada sering dilontarkan oleh orangtua kepada anak-anak mereka. Para orangtua tersebut mengucapkan hal itu karena berbagai hal. Pertama, urip iku kudu sing sembada disampaikan kepada anak-anak yang malas belajar. Mereka seharusnya belajar sebagaimana anak-anak lainnya harus belajar. Jika masa anak-anak disia-siakan dengan bermalas-malasan tanpa belajar, anak-anak tersebut akan memiliki masa depan yang ora santoso (Jawa: tidak makmur). Urip iku kudu sing sembada dalam kasus pertama ini menunjukkan bahwa hakikat seorang anak adalah belajar. Kedua, kalimat ini ditujukan kepada anak-anak yang bertindak tidak sopan dan kasar. Sebagai seorang anak, mereka seharusnya mengikuti nasihat guru maupun orangtua. Namun, anak-anak ini justru lebih senang bermain-main dan tidak peduli dengan nasihat ataupun perintah guru dan orangtuanya. Urip iku kudu sing sembada di sini berarti bahwa anak-anak harus mendengarkan nasihat orangtua maupun gurunya. Anak-anak juga harus berperilaku sopan terhadap guru maupun orangtuanya. Ketiga, urip iku kudu sing sembada diberikan kepada anak-anak yang sejatinya pandai dan berperilaku baik, tetapi anak tersebut tidak mau berbagi atau mengajari teman-teman sebayanya untuk juga menjadi anak yang baik. Dengan kata lain anak-anak tersebut sombong atau egois. Dalam kasus ini, kalimat urip iku kudu sing sembada bermakna bahwa anak-anak harus hidup dalam kebersamaan dengan teman-temannya, ia harus mau berbagi dan berbaur dengan teman-temannya. Dari ketiga kasus ini, urip iku kudu sing sembada mengatur unggah-ungguh seorang anak dalam kehidupan sehari-hari.
Secara negatif (bentuk peyoratifnya), urip iku kudu sing sembadadisebut aja dumeh (Jawa: jangan mentang-mentang). Aja dumeh merupakan kalimat yang belum selesai.namun demikian, aja dumeh memiliki pengertian akan kebijaksanaan hidup yang mendalam. Dengan menambahkan keterangan di belakang kata dumeh kita dapat memperoleh maknanya. Tetapi bagi orang Jawa, secara lisan mengatakan aja dumeh begitu saja sudah bermakna bagi orang Jawa yang menjadi pendengarnya (bdk. Bayuadhy. 2014: 84).Dalam kasus-kasus sebelumnya, bagi anak yang malas belajar, orangtua berkata aja dumeh wis pinter atau ngerti (Jawa: jangan merasa sudah pandai), atau aja dumeh wis isoh (Jawa: jangan merasa sudah bisa). Untuk anak-anak yang sulit berteman, orangtua akan menasihati aja dumeh paling pinter atau paling ngerti.
Aja dumeh maupun urip iku kudu sembada mempunyai fungsi dan makna yang sama. Di dusun Jetis IV, Sidoagung, Godean, Sleman, D.I. Yogyakarta tempat asal saya, kedua kalimat ini lebih sering digunakan pada anak-anak, agar memiliki hidup yang baik dan masa depan yang cerah. Bayuadhy (2014: 85-97) menerapkannya kepada orang pada umumnya terutama orang dewasa. Achmad (2012: 62-63) menghubungkan aja dumeh dengan tepa sliraa, ngerti kuwalat (Jawa: hal tenggang rasa dan mengetahui hukum karma). Aja dumeh, tepa sliraa, ngerti kuwalat bermakna bila manusia berada dalam kejayaan, hendaklah dia rendah hati dan menghargai orang lain, sehingga tidak menuai hasil yang buruk di kemudian hari. Endraswara (2013: 58-63) menunjukkan hubungan kalimat-kalimat ini dengan tepa selira dan bisa rumangsa (Jawa: hal kemampuan mengolah rasa kehidupan orang jawa). “Kita sudah tidak lagi memerhatikan ungkapan aja dumeh, kita sudah tidak lagi eling (Jawa: hal mengingat ajaran bijak orang Jawa), dan kita sudah tidak waspada (Jawa: hal menghindari kebodohan) tetapi sudah ‘semau gue’. Hal ini disebabkan rasa tepa selira dan bisa rumangsa semakin tekikis.” Ungkap Endraswara (2013: 59).
Etika komunitarian menyatakan penghargaan terhadap orang lain adalah hal yang baik. Penghargaan itu adalah salah satu wujud peradaban manusia dewasa ini. Penghargaan itu adalah kemampuan untuk hidup bersama sebagai sesama manusia. Bila manusia tidak bisa hidup bersama (masuk dalam peradaban), ia seperti halnya binatang (bdk. Riyanto. 2011: 37). Urip iku kudu sembada menunjukkan pada anak-anak bagaimana ia harus menghargai teman-temannya dan berbagai ilmu yang harus ia terima. Urip iku kudu sembada mengajarkan pada anak-anak agar dapat hidup dalam kebersamaan dan kearifan.
Penghargaan itu juga berarti menjunjung martabat manusia. Martabat manusia yang tertinggi adalah cinta. Cinta mengatakan keseluruhan relasi manusia dengan sesamanya (bdk. Riyanto. 2017: 215). Urip iku kudu sembada pun menyatakan tentang cinta tersebut. Urip iku kudu sembada mengharuskan manusia bertindak dengan sepantasnya sebagai manusia. Ia harus bertindak sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Lawan dari martabat manusia adalah benci. Kebencian muncul karena penghinaan. Hinaan adalah hal yang dapat menghancurkan relasi hidup bersama yang baik (bdk. Machiavelli. 2015: 281-282). Urip iku kudu sembada tidak mengajarkan pada manusia untuk menghina sesamanya. Urip iku kudu sembada menyatakan bahwa manusia patut mendapatkan hidup yang layak. Manusia harus hidup dengan sepantasnya sebagai manusia. Manusia harus hidup demi kebaikan. Yang baik adalah arah tujuan dari segala sesuatu (bdk. Aristoteles. 2004: 1-2).
Lihat Juga
Merapi (Jawa, Yogyakarta: hal relasi orang Jawa Yogyakarta dengan lingkungan hidupnya) |
Alvarian Utomo ()