
Merapi (Jawa, Yogyakarta: hal relasi orang Jawa Yogyakarta dengan lingkungan hidupnya)
Merapi merupakan salah satu gunung berapi di pulau Jawa yang terletak di ujung utara provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun demikian, Merapi memiliki makna mistik yang mendalam bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Merapi menjadi perwujudan relasi masyarakat D.I. Yogyakarta dengan alam tempat tinggalnya. Melalui Merapi masyarakat D.I.Yogyakarta memahami mitologi, kosmologi, dan keutamaan-keutamaan hidup sebagai orang Jawa. Merapi mengajar masyarakat D.I.Yogyakarta hidup berdampingan dengan alam. Tindakan masyarakat D.I. Yogyakarta dalam relasi dengan Merapi adalah wujudnyata dari memayu hayuning bawana (Jawa: hal menjaga kelestarian dan keutuhan dunia). Endraswara (2013: 15-20) menjelaskan mengenai konsep memayu hayuning bawanasebagai spiritualitas budaya orang Jawa. Bawana adalah jagad rame (Jawa: dunia keramaian, dunia yang dihuni manusia). Memayu dan hayuning berakar pada kata rahayu (Jawa: selamat, keselamatan). Dengan demikian, memayu hayuning bawanaberarti menjaga kelestarian atau keselamatan dunia yang dihuni manusia (Bdk. Endraswara. 2013: 16-17). Dalam kaitan dengan Merapi masyarakat D.I. Yogyakarta menjaga kelestarian alam dengan melakukan aneka macam laku tirakat atau slametan (Jawa: ritual mengucapkan syukur ataupun memohon berkat). Ada banyak slametan di Merapi. Slametan itu dibagi dalam tiga macam slametan. Pertama slametan rutin, yaitu slametan yang sering dilakukandalam hidup sehari-hari. Slametan ini antara lain adalah slametan Sedekah Gunung, slametan Selasa lan Jumat Kliwon, dan slametan Ternak. Kedua slametan incidental, yaitu slametan Sekul Bali, slametan mengambil jenazah, slametan mencari orang hilang, dan masih banyak slametan yang lainnya. Ketiga, slametan yang diadakan setahun sekali, yaitu slametan Labuhan.Slametan ini sangat terkenal dan banyak diikut oleh masyarakat (bdk. Triyoga. 2010: 109-123).
Dalam mitologi Jawa, dahulu pada zaman para dewa, keadaan dunia belum seimbang. Untuk itu Batara Guru memerintahkan para dewa memindahkan Gunung Jamurdipo dari Laut Selatan ke tengah-tengah pulau Jawa. Tempat yang dipilih Batara Guru ternyata sama dengan tempat Empu Rama dan Permadi membuat pusaka atas titah Batara Guru. Hal ini menimbulkan perkelahian antara Empu Rama dan Permadi dengan para dewa. Karena banyak dewa yang kalah menghadapi kedua empu tersebut, Batara Guru menjadi marah. Ia akhirnya menyuruh Batara Bayu melaksanakan titah memindahkan Gunung Jamurdipo. Gunung itu ditiup oleh Batara Bayu dan jatuh menimpa Empu Rama dan Permadi beserta perapian mereka. Gunung ini kemudian dinamakan Merapi karena perapian Empu Rama dan Permadi menyebabkan gunung ini aktif menjadi gunung berapi. Roh dari Empu Rama dan Permadi kemudian menjadi penguasa makhluk halus di gunung ini (bdk. Triyoga. 2010: 52-53). Namun, kisah mengenai Merapi tidak hanya berhenti sampai di sini. Triyoga (2010: 53-55) menunjukkan bahwa dari Merapi juga muncul mitologi Dewi Sri sebagai dewi kesuburan pelindung padi, sawah, dan ladang.
Dalam kosmologi Jawa, Merapi menjadi lambang berbagai tingkatan dunia orang Jawa. Melalui Merapi, orang Jawa melihat bahwa manusia tidak hidup seorang diri. Ada dua kraton (Jawa: hal pemerintahan atau kuasa raja) dalam kehidupan manusia. Kraton pertama adalah kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai hidup manusia di jagad rame. Kraton kedua adalah kraton makhluk halus. Triyoga (2010: 56-76) mengisahkan dengan sangat lengkap mengenai kraton makhluk halus di gunung Merapi dan kaitannya dengan kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan kraton makhluk halus di Laut Selatan (Nyai Roro Kidul). Secara singkat, baik kraton makhluk halus di gunung Merapi, dengan kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat maupun kraton Nyai Roro Kidul memiliki hubungan kerjasama yang erat. Kedua kraton makhluk halus ini menjadi lambang tempat kebaikan bagi manusia ketika telah meninggal. Relasi ketiga kraton ini tampak dalam skema bangunan kota Yogyakarta. Dalam hal ini Laut Selatan, kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Tugu Yogya, dan Gunung Merapi berada pada satu garis lurus. Relasi ini juga tampak dalam ritual masyarakat D.I. Yogyakarta. Paling tidak ada tiga ritual yang berkaitan secara mistik bagi masyarakat D.I. Yogyakarta, yaitu Sekaten, Labuhan Parangkusuma (Nglarung), Labuhan Merapi. Dalam ritual-ritual itu sesajen (Jawa: persembahan) yang dihaturkan selalu berupa tumpeng (Jawa: aneka hasil bumi) yang bentuknya menyerupai gunung Merapi.Relasi ini juga ditunjukkan melalui kesenian wayang dimana dalam awal dan akhir cerita selalu dimunculkan gunungan (Jawa: salah satu karakter dari wayang tetapi bukan tokoh, benda ini adalah gambar berbentuk seperti gunung dengan ornament rumit di dalamnya) yang melukiskan tingkatan dunia.
Etika lingkungan hidup menyatakan bahwa kita manusia harus menjaga kelestarian lingkungan tempat hidup kita. Menjaga lingkungan hidup berarti mempertahankan relasi yang baik dengan alam. Relasi itu adalah wujud penghargaan kita terhadap alam. Penghargaan ini dimulai dari kekaguman akan keindahan alam. Riyanto (2017: 28-29) menunjukkan keindahan ini. Ia menuliskan pengalamannya mengunjungi sebuah pulau kecil di laut Marmara, Turki, pada akhir bulan Agustus 2013. Ia mengatakan bahwa ketika ia memandang ke arah kota dari ketinggian bukit, ia memandang panorama yang luar biasa indah. Keindahan itu bukan sekadar pemandangan. Keindahan menghantar akal budi manusia menerobos batas menuju pencipta keindahan.
Keindahan itu tidak hanya pada alam saja melainkan juga pada setiap ritual yang dilakukan manusia untuk mengabadikan keindahan itu sendiri. Inilah budaya bukan hanya dalam arti monumen masa lalu, melainkan terutama dalam artinya yang hidup, dinamis, dan partisipatif, yang tidak dapat dikesampingkan ketika kita memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan hidup (Laudato Si art. 143).
Merapi dengan aneka slametan yang ada di dalamnya merupakan wujud partisipatif manusia Jawa Yogyakarta ketika berelasi dengan lingkungan hidupnya. Mitologi dari Merapi mengisahkan keistimewaan tempat ini sebagai pilihan Batara Guru untuk gunung Jamurdipo, sebagai tempat perapian pusaka, dan tempat bersemayamnya Dewi Sri. Kosmologi Merapi menyatakan kehidupan masyarakat D.I. Yogyakarta yang harmonis dengan alam dan selalu berusaha seimbang dengannya. Keindahan dan kelestarian Merapi membawa warna kehidupan bagi masyarakat D.I. Yogyakarta dengan aneka slametan. Merapi adalah keindahan hidup masyarakat D.I. Yogyakarta dengan keutuhan alam ciptaan.
Bibliografi
Endraswara, Dr. Suwardi, M. Hum., 2013. Memayu Hayuning Bawana, Yogyakarta: Narasi.
Ensiklik Paus Fransiskus, 2016. Laudato Si’ Terpujilah Engkau, Martin Harun, OFM (Penerj.), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.
Riyanto, Armada CM, 2017. Menjadi-Mencintai Berfilsafat-Teologis Sehari-hari, cetakan kelima, Yogyakarta: Kanisius.
Triyoga, Lucas Sasongko, 2010. Merapi dan Orang Jawa Persepsi dan Kepercayaannya, Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia.
Alvarian Utomo ()