Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Mibu Muuh (Upacara Membuka Ladang)


Sejak awal mula kehidupan orang dayak memang tidak pernah lepas dari alam. Kalau mau dikatakan, alam merupakan “ibu” bagi orang Dayak. Segalanya telah disediakan oleh alam untuk kebutuhan hidup mereka. Oleh sebab keadaan yang demikian tak jarang orang-orang dayak mendapat julukan sebagai orang alam atau orang hutan. Karena menurut sejarahnya orang-orang dayak pada zaman dahulu tinggal di dalam hutan-hutan yang terpencil. Jauh dari pusat keramaian dan hidup dari apa yang telah disediakan oleh alam dan juga mereka hidup secara bebas dan berpindah-pindah atau nomaden.

Namun demikian tidak berarti mereka hanya duduk diam menikmati hasil hutan, melainkan mereka juga mengusahakan tanah yang ada di sekitar mereka. Cara mengusahakan tanah itu dinamakan kegiatan Berladang. (bdk. Miden:1999., hlm. 66) Kegiatan berladang masyarakat Dayak pertama-tama bertujuan untuk menjaga tanah leluhur supaya tidak hilang. Selain itu juga supaya mereka memiliki persediaan makanan untuk menghadapi musim kemarau. Disamping itu juga hasil dari berladang itu bisa dibawa ke pasar untuk sekedar dijual atau ditukar dengan kopi, gula, garam dan lain-lain. Kegiatan berladang masyarakat dayak tidak hanya terfokus pada satu tempat saja. Setiap tahun kegiatan itu pasti berpindah tempat. Jarang sekali dilakukan ditempat yang sama selama berturut-turut. Biasanya bekas ladang yang sudah tidak dipakai lagi akan ditanami tumbuhan-tumbuhan buah seperti durian, cempedak, langsat, dan lain-lain. Bekas ladang yang telah ditanami pohon buah itu di sebut Tembawang, dan nantinya itu akan menjadi tanah adat masyarakat yang bersangkutan.

Kalau melihat hasil utamanya, berladang sama dengan dengan bersawah, yaitu padi. Namun berladang tidak sama dengan bersawah. Jika sawah memerlukan persedianaan air yang cukup serta aliran air yang lancar untuk penanaman, berladang tidak demikian. Kegiatan berladang bisa dilakukan dimana saja baik itu tempat yang rendah maupun tempat yang tinggi (kecuali di rawa-rawa). Selain itu berladang juga tidak tergantung pada debit air atau aliran air. Apa yang ditanam diladang biasanya hanya mengandalkan air hujan untuk proses pengairan. Lalu, tanaman yang ditanam diladang tidak perlu menggunakan pupuk, tidak seperti sawah yang perlu pupuk yang cukup supaya mendapatkan hasil yang banyak.

Perbedaan lain adalah proses pembuatan ladang memakan waktu yang sangat lama dan memerlukan banyak tenaga. Lokasi yang dipilih juga biasanya merupakan hutan tua dengan kayu-kayu yang sangat besar. Maka, tak jarang proses persiapan dari hutan menjadi lahan siap olah terkadang bisa memakan waktu dua sampai tiga bulan, tergantung lamanya membuka hutan tersebut. Selain itu, sebelum membuka lahan tersebut, masyarakat kampung itu harus mengadakan Mibu Muuh terlebih dahulu. Mibu Muuh merupakan ritual mohon berkat dari Penompo (Yang Kuasa), (bdk. Sayek: 2003., hlm. 34). Tujuan Mibu Muuh adalah supaya selama proses pembukaan lahan sampai pada hari memetik hasil, semua dapat berjalan dengan baik, serta diberikan hasil panen yang baik dan berlimpah. (bdk. Florus: 1994., hlm. 13). Setelah Mibu Muuh selesai barulah lahan mulai dikerjakan. Berikut ini akan dijelaskan proses pembuatan Ladang suku Dayak Hibun di Kalimantan Barat. (Bamba: 2008., hlm. 130)

Tahap pertama adalah Nyuman (mencari lahan yang dijadikan lokasi untuk berladang). Tahap ini biasanya dilakukan bulan Mei. Lokasi yang diutamakan sebagai lahan perladangan adalah hutan-hutan tua yang tebal humusnya. Apabila lokasi sudah ditemukan, maka lahan itu harus diberi tanda palang atau tanda lainnya. Tanda ini mempunyai maksd bahwa lahan itu sudah dimiliki oleh orang.

Tahap kedua adalah Nao’ (menebas lahan): kegiatan nao’ biasa dilakukan pada bulan juni. Sebelum melakukan penebasan lahan, terlebih dahulu melakukan upacara adat peremahan tanah. Tujuannya adalah agar proses nao’ dapat berjalan dengan lancar serta terhindar dari bahaya. Kegiatan nao; biasanya menjadi awal dari musim kemarau (kumahao monu’)

Tahap ketiga adalah Ntimuong koyuh (menebang pohon): Ntimoung koyuh biasanya dilakukan pada bulan juli. Proses ini memakan waktu yang cukup lama, apalagi jika kayu yang harus ditebang berukuran besar. Selain itu alat-alat yang digunakan dalam proses ini juga masih terbilang sederhana, yaitu kampak, beliung, dan bai’ puntobang (parang untuk menebang pohon). Pohon yang sudah ditebang kemudian dipotong ranting-rantingnya agar cepat mati. Pada ladang yang besar, biasanya ada satu atau dua pohon yang sengaja tidak ditebang (galau muuh). Pohon itu sengaja tidak ditebang sebagai tanda bahwa lahan itu sudah dimiliki oleh orang.

Tahap keempat Nicua Subaan (membakar ladang): Tahapan ini biasanya dilakukan beberapa minggu setelah pohon-pohon ditebang (biasanya awal sampai pertengahan bulan Agustus). Proses nicua subaan selalu dilakukan beramai-ramai, sebab umumnya lahan yang digunakan sebagai ladang cukup besar. Sebelum membakar, terlebih dahulu dibuat potah (batas-batas {biasanya berupa parit} agar api bakaran tidak merembet ke lahan lain) di sekeliling ladang. Waktu pembakaran ladang yang baik adalah sekitar pukul 14.00 sampai pukul 17.00.

Tahap kelima adalah Mano’ (membersihkan ladang): Tahapan ini biasanya dilakukan beberapa hari setelah membakar ladang. Kegiatan mano’ ini dimaksudkan untuk membersihkan ladang dari segala sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar supaya nanti ketika menanam padi tidak adal lagi kayu yang bergelimpangan yang menghambat kerja.

Tahap keenam adalah Tumoho’ (menanam padi): Setelah lahan perladangan selesai dibakar dan dibersihkan, maka proses selanjutnya adalah penanaman berbagai jenis tanaman pangan. (bdk. Miden: 1999. hlm. 68). Pertama sekali yang ditanam adalah boncing (jagung), biasanya ditanam langsung selesai membakar hari itu juga dengan cara ditugal dengan jarak tanam antara 2 sampai 3 meter. Pada keesokan harinya setelah lahan perladangan dibasahi embun malam, jenis tanaman sayuran sudah boleh ditanam dengan cara ditaburkan begitu saja di semua penjuru ladang, terutama di atas tanah yang tebal humusnya. Tanaman sayuran yang biasanya ditaburkan cara penanamannya adalah berupa: bayam, sawi ladang (ensabe), cabai, dan berbagai jenis terung (terung ladang, terung asam, terung pipit, dll). Untuk jenis tanaman sayuran yang lainnya, seperti: mentimun (timun botang dan timun botuh), labu, peringgi, kacang-kacangan, lepang, jelai, peria, semangka dan malae (kundur) ditanam bersamaan dengan penamanam padi, yaitu dengan cara biji-biji tanaman itu dicampurkan ke dalam benih padi yang akan ditugalkan di ladang. Tetapi ada juga yang secara khusus biji-bijian itu ditugalkan pada bekas pano” yang pasti lebih subur karena habis pembakaran api unggun tadinya. Kerja menanam padi atau menugal padi dilakukan secara bergotong royong dalam kelompok pengarih, yang biasa dikenal dengan istilah TUMUHO’. Dan tumuho’ biasanya dilakukan menjelang musim penghujan, yaitu sekitar awal Bulan September.

Tahap ketujuh: Nyobuh (memelihara Ladang): Selesai musim Tumuho’ (menanam padi) ada masa senggang sekitar satu bulan. Pada masa senggang ini biasanya digunakan untuk istirahat sejenak atau untuk melakukan kegiatan lain bagi ibu-ibu, yaitu berupa kegiatan kerajinan tangan misalnya membuat Jarae (pengambin untuk membawa barang yang didukung di belakang), juoh (keranjang kecil yang diikat di pinggang untuk menugal dan panen padi), jampua’ (pengambin khusus untuk membawa hasil panen padi dengan ukuran sedang), ayao (pengambin untuk membawa hasil panen padi dengan ukuran besar, bakul (untuk membersihkan beras terbuat dari rotan), hago (untuk menadah dan membersihkan sayuran terbuat dari bambu sembilu (puso), sohowuang (tudung kepala yang terbuat dari daun pandan hutan (kuhupo’), dll. Para bapak-bapak juga berkesempatan untuk membuat parang dan kelengkapan kerja lainnya, serta alat-alat penangkap ikan seperti, songkam (alat menangkap ikan terbuat dari sebatang bambu yang dibelah-belah ujungnya dan dianyam seperti kerucut), kobam (alat penangkap ikan terbuat dari rotan berbentuk bulat mengerucut, dan harus diberi tipang (ampas tuak).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Bamba, John (ed). Mozaik Dayak (Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat). Pontianak: Institut Dayakologi, 2008.

    Florus, Paulus, Stepanus Djueng, dkk (ed). Kebudayaan Dayak (Aktualisasi dan Transformasi). Jakarta: PT. Grasindo, 1994

    Miden, Maniamas S. Dayak Bukit (Tuhan, Manusia, Budaya). Pontianak: Institut Dayakologi. 1995

    Sayek, Damianus, “Adat Membuka Ladang Ala Dayak Desa”, dalam Kalimantan Review. No. 91/Tahun XII/Maret 2003., hlm. 34


    Lihat Juga

    Nosu Minu Podi (Memanggil Roh/Semangat Padi)  Homing Dai’ (Rumah Besar dalam Masyarakat Dayak Hibun)  Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop (Walaupun baju kita dari kulit kayu, tetapi hidup harus berakal) 

    Oleh :
    Christianus ()