Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Homing Dai’ (Rumah Besar dalam Masyarakat Dayak Hibun)


Sejak semula masyarakat suku Dayak selalu menjunjung tinggi hidup bersama. Bagi mereka, hidup sebagai satu komunitas memberikan suatu kekuatan yang dapat memberikan rasa nyaman dari segala ancaman. Persatuan sebagai ideology yang diusung sejak zaman nenek moyang itu diwujudkan di dalam sebuah simbol rumah, yaitu Homing Dai’ (Rumah Besar).

Sebelum terjadinya kesepakatan bersama dewan adat Dayak di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah pada tahun 1894, (Patebang: 199., hlm. 3) orang-orang Dayak masih hidup dalam lingkaran permusuhan satu dengan yang lain. Permusuhan ini didasari oleh rasa ingin diakui kehadiran dan kekuatan dari setiap suku yang ada. Bukti kekuatan suku terletak pada seberapa banyak mereka melakukan aksi me-ngayau (potong kepala sebagai bukti keperkasaan). Situasi yang demikian membawa ketakutan yang luar biasa dalam lingkungan masyarakat. Rasa aman berubah menjadi kengerian yang mencekam.

Dari latar belakang kehidupan yang demikian, kemudian munculah suatu pemikiran untuk membuat semacam benteng pertahanan yang kuat, yang dapat menghalau serangan musuh. Benteng itu dibuat dalam konsep semacam rumah yang besar, tinggi, panjang serta kuat yang diberi nama Homing Dai’ (Rumah Besar). Konsep homing dai’ pada umumnya hampir sama dengan konsep Rumah Betang Panjang dalam tradisi masyarakat Dayak lainnya. Selain sebagai benteng pertahanan, homing dai’ juga mempunyai fungsi sebagai rumah tinggal bagi setiap warga suku Dayak tersebut. Pembangunan homng dai’ biasanya berlokasi tidak jauh dari ladang, sungai dan kuburan. (bdk. Enthoven: 1905., hlm. 219) Homing dai’ memiliki ciri khas, yaitu panjang dan tinggi. Tinggi dari homing dai’ bisa mencapai 3 meter, bahkan lebih; sedangkan panjang homing dai’ bisa mencapai 100 meter (atau bahkan lebih) dan terbagi menjadi bilik-bilik. Masing-masing homing dai’ memiliki jumlah bilik yang berbeda-beda; ada homing dai’ yang memilik i 30, 40, 50 bahkan sampai 67 bilik. (bdk. van Hulten: 1992., hlm 158).

Homing dai’ pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu ada bilik sebagai tempat untuk tidur dan serambi depan. Setiap bilik dihuni oleh satu kepala keluarga. Setiap bilik dipisahkan oleh diding yang dapat dibuka-tutup. Fungsi dari dinding yang dapat dibuka dan ditutup ini adalah ketika acara besar dilaksanakan para tamu dapat duduk makan bersama. Sedangkan serambi muka letaknya di depan bilik; tidak bersekat-sekat sehingga dapat terlihat seluruh homing dai’ dari ujung ke ujung. (bdk. Veth: 2012., hlm. 235) Pada serambi depan ini biasanya digunakan oleh bapak-bapak untuk membuat kerajinan tangan, ngamboh (kerajinan besi) dan mengukir; sedangkan para wanitanya menenun dan menganyam. Selain itu bila ada tamu laki-laki yang datang, maka tamu itu akan tidur di serambi muka.

Homing dai’ menjadi dasar hidup komunal masyarakat Dayak. Hal ini didasarkan pada kehidupan sosio-kultural mereka. Menjaga keutuhan homing dai’ berarti menjaga warisan adat leluhur. Di dalam homing dai’ itu, setiap orang ditanamkan nilai-nilai kekeluargaan, saling berbagi, gotong royong dan saling menjaga. (bdk. Florus: 1994., hlm. 200). Memang pada umumnya homing dai’ dihuni oleh orang-orang yang masih memiliki ikatan darah atau ikatan kerabat. Homing dai’ menjadi wajah keakraban hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat.

Setiap homing dai’ pasti memiliki Temenggung (kepala adat) tersendiri. Dengan demikian setiap homing dai’ secara otoritas tertorial akan terpisah dari homing dai’ lainnya. Artinya adalah disetiap sub suku Dayak pasti memiliki paling tidak satu homing dai’ sebagai tanda bahwa wilayah itu telah diduduki oleh salah satu sub suku. Orang-orang yang dipilih menjadi Temenggung (kepala adat) adalah tetua kampung yang paham adat dan sejarah kampung. Dia menjadi pemimpin atas seluruh warga homing dai’.

Namun dewasa ini banyak orang telah beralih kehidupan. Maksudnya ialah mereka tidak lagi tinggal di homing dai’, tetapi mulai membangun rumah sendiri (rumah tunggal). Berpisah dari homing dai’ memiliki konsekuensi positif dan negatif. Konsekuensi positifnya adalah seseorang yang tinggal di rumah tunggal bisa dibilang telah maju secara ekonomi. Umumnya mereka yang tinggal di homing dai’ ialah mereka yang mendapatkan pekerjaan di luar (tidak lagi bekerja sebagai peladang/petani); sudah menikah dan memilih hidup mandiri; orang tua sudah meninggal. Konsekuensi negatifnya tidak lain adalah mulai memudarnya nilai-nilai adat. Mereka yang tidak lagi tinggal di homing dai’ secara perlahan-lahan akan kehilangan nilai luhur dari adat dan tradisinya. Sekarang ini banyak homing dai’ menjadi seperti “rumah jompo”, sebab yang tinggal hanyalah orang-orang tua, sedangkan generasi muda memilih pergi merantau keluar dan tinggal di luar homing dai’; bahkan ada pula yang saat ini tidak lagi berpenghuni.

Keprihatinan semacam ini haruslah menjadi perhatian serius dari generasi muda orang-orang Dayak. Keberadaaan homing dai’ sekarang ini semakin berkurang. Banyak orang tidak lagi menyadari pentingnya peranan homing dai’ sebagai warisan adat yang harus tetap lestari. Kondisi homing dai’ yang masih ada kini banyak yang sudah sangat memprihatinkan, hampir roboh dan tanpa adanya yang memugarnya. Padahal, kekuatan, persatuan masyarakat Dayak hampir semua bermula dari “tangga dan pintu” homing dai’. Melestarikan homing dai’ berarti menjaga identitas, territorial, adat dan budaya sebagai orang Dayak yang sejati.

  • Lihat Juga

  • Lihat Juga

    Mibu Muuh (Upacara Membuka Ladang)  Nosu Minu Podi (Memanggil Roh/Semangat Padi)  Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop (Walaupun baju kita dari kulit kayu, tetapi hidup harus berakal) 

    Oleh :
    Christianus ()