Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop (Walaupun baju kita dari kulit kayu, tetapi hidup harus berakal)


Masyarakat Dayak di Kabupaten Sanggau tentunya sudah tidak asing jika mendengarkan semboyan yang berbunyi “Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop”. Di setiap perhelatan seni budaya, pertemuan lintas budaya, kalimat ini selalu diucapkan. Pada tahun 2014, pemerintah daerah Kabupaten Sanggau menetapkan bahwa kalimat ini menjadi semboyan/slogan resmi yang mempersatukan seluruh masyarakat Kabupaten Sanggau di manapun berada. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah, apa yang menjadi landasan munculnya semboyan itu?

Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop” pertama kali dimunculkan oleh masyrakat Dayak Pompangk, Lintang Kapuas (kampung halaman Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak). (Bamba [ed]: 2008., hlm. 152) Konteksnya pada saat itu adalah ingin mengangkat rasa percaya diri orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Sanggau. Sebab pada masa itu orang-orang Dayak masih dianggap sebagai orang kampung dan ketinggalan zaman. Di Instansi-instansi pemerintahan pun peran orang Dayak masih sangat minin; padahal jika dilihat dari keseluruhan penduduk, orang Dayak merupakan kelompok mayoritas di wilayah Kabupaten Sanggau. Oleh karena itu untuk menggerakan semgat masyarakat Dayak, dibuatlah satu dasar falsafah yang berbunyi “Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop” (Walaupun pakaian kita dari kulit kayu, tetapi akal kita harus hidup). Ide dasar pembentukan semboyan ini hampir menyerupai apa yang telah dibuat oleh masyarakat Dayak Kanayat dengan semboyannya “Adil ka’ Talino, Bacuramin ka’ Saruga, Basengat ka’ Jubata”, yaitu ajaran moral hidup bersama. (bdk. Saeng: 2015., hlm 505).

Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop sebagai falsafah orang Dayak Sanggau memiliki arti yang sangat mendalam. Ada aspek jasmani dan spiritual yang tertuang di dalam kedua kalimat ini. Tutuh Nya’ Tiop, jika diterjemahkan secara harafiah berbunyi “pakaian kita adalah kulit kayu”. Sebelum adanya baju dan celana yang dipakai sekarang ini, orang-orang Dayak pada masa lampau mengenal tutuh (pakaian) dengan sebutan cowat (cawat). Cowat biasanya terbuat dari Tiop (kulit kayu) yang diambil dari pohon kapua’, digunakan sebagai penutup bagian-bagian vital dari tubuh. Tutuh Cowat (pakian cawat) ini merupakan lambang kesederahaan dari orang-orang dayak yang senantiasa dekat dengan alamnya. Bagi orang Dayak, alam adalah ibu yang merawat, menjaga dan memberi hidup. Oleh karena itu, kesederhanaan ini mereka tunjukkan lewat penghormatan mereka terhadap alam. Singkat kata “Tutuh Nya’ Tiop” ini mau mengatakan orang Dayak hidup dari alam, oleh alam dan untuk alam.

Kalimat kedua berbunyi “Akal Nya’ Midop”. Jika kembali diterjemahkan secara harafiah berarti “akal kita hidup”. “Akal” dalam pengertian ini tidak hanya berkaitan dengan akal dalam ranah kualitas akademik. Yang dimaksudkan dengan akal adalah hal ihwal cara hidup bersama dengan orang lain. Selain itu, kata “akal” juga bisa dimaksudkan dengan kebijaksanaan. Orang yang hidup dengan bijaksana pasti akan mengetahui tentang yang baik dan yang buruk. Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, berakal berarti pandai dalam bergaul, sopan, ramah, adil dan tahu bagaimana bersikap yang santun di hadapan orang lain. Para tetua masyarakat Dayak menyadari sungguh bahwa hidup ini bukan semata-mata hanya mencari kebahagiaan materi dan fisik belaka. Lebih jauh mereka melihat, jika hidup tidak di dasarkan pada “akal” yang baik dan sehat, maka segala yang diusahakan akan menjadi sia-sia.

Kata Midop berarti hidup. Hidup yang dimaksudkan di sini adalah sebuah kesadaran batin. Akal yang dimiliki akan bisa digunakan jika dari dalam diri orang tersebut ada kesadaran batin. Penggalian mengenai arti Midop (hidup), tidak boleh berhenti hanya sampai tataran hidup sebagai habitus belaka. Orang harus mengerti bahwa yang dimaksud dengan Midop (hidup) merupakan proses kesadaran manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan mengenal sesamanya. (bdk. Pandor: 2014., hlm. 5). Mengenal diri sendiri berarti tahu siapa dirinya, dalam arti menahami jati diri/identitas ke-dayak-an nya. Sedangkan mengenal orang lain berarti mencoba menyelami relasi yang dijalani bersama dengan yang lain (bdk. Pandor: 2014., hlm. 21). Jadi, bisa dikatakan secara garis besar “Akal Nya’ Midop” adalah sebuah ajakan atau seruan yang didasarkan pada pemahaman bahwa hendaknya setiap orang memiliki kesadaran akan dirinya sendir, akan lingkungan sekitarnya dan hidup dengan bijaksana.

Kesederhaan yang digambarkan dengan kalimat “Tutuh Nya’ Tiop”, serta kesadaran untuk hidup dengan bijaksana yang tertuang dalam kalimat “Akal Nya’ Midop” menjadi semacam “dwi dharma” hidup moral masyarakat Dayak Sanggau. Oleh karena itu, jika salah satu semboyan ini terlupakan, maka kehidupan sosial akan berjalan pincang. Keduanya harus berjalan bersama sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh penggagas falsafah ini.

Persoalan yang terjadi dewasa ini adalah mau tidak mau orang Dayak harus berhadapan dengan kehidupan yang multikultural. Percampuran budaya yang terjadi karena banyaknya faktor telah menyebabkan perlahan-lahan budaya asli mulai tergerus hingga pada akhirnya hilang. “Tutuh Nya’ tiop, Akal Nya’ Midop” selaku ajaran moral pun tidak lepas dari pertaruhan ini. Jika semboyan ini tidak pernah digemakan oleh generasi muda masyarakat Dayak, maka apa yang menjadi cita-cita bersama para tetua masyarakat Dayak untuk mewujudkan orang Dayak yang bersatu akan sirna ditelan oleh “racun” dari kebudayaan luar. Semboyan ini hendaknya selalu dihidupkan di dalam hati dan budi setiap orang, supaya dimanapun kita semua berada, kita selalu mengingat pesan baik yang tergambar dalam sebuah untaian kalimat sederhana, namun sarat makna “Tutuh Nya’ Tiop, Akal Nya’ Midop.”

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Armada Riyanto, dkk (ed). Kearifan Lokal Pancasila. Yogyakarta: Kanisius. 2015

    Bamba, John (ed). Mozaik Dayak (Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat). Pontianak: Institut Dayakologi, 2008.

    Pandor, Pius. Seni Merawat Jiwa. Jakarta: Obor, 2014.


    Lihat Juga

    Mibu Muuh (Upacara Membuka Ladang)  Nosu Minu Podi (Memanggil Roh/Semangat Padi)  Homing Dai’ (Rumah Besar dalam Masyarakat Dayak Hibun) 

    Oleh :
    Christianus ()