Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Nosu Minu Podi (Memanggil Roh/Semangat Padi)


Nosu Minu Podi atau yang sering disebut sebagai hari gawai padi merupakan sebuah perayaan syukur selepas panen. Perayaan ini dilaksanakan setahun sekali selama rentang waktu bulan April hingga Juni. Istilah Nosu Minu Podi sendiri berasal dari masyarakat sub suku dayak Hibun dan Pandu yang ada di wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sedangkan bagi masyrakat dayak yang lain, seperti misalnya sub suku dayak Kanayant yang ada di daerah Landak, perayaan ini mereka sebut Pesta Naik Dango (bdk. Florus: 1994., hlm., 42).

Nosu Minu Podi sebetulnya merupakan sebuah ungkapan syukur kepada Penompo (Yang Kuasa) (bdk. Shedee: 2016., hlm 38) atas satu tahun masa berladang yang telah dijalani. Ungkapan syukur ini diaktualisasikan di dalam perayaan bersama. Sebelum masuknya agama Kristen, masyarakat dayak pada zaman dahulu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Penompo (Yang Kuasa) lewat ritual-ritual adat yang direduksikan pada suatu simbol yang merepresentasikan kehadiran Penompo. Simbol itu disebut Ponto’ (sebuah patung menyerupai bentuk manusia yang terbuat dari kayu keras). Ritual ini merupakan suatu keharusan jika ingin melaksanakan perayaan Nosu Minu Podi (Memanggil Semangat Padi). (bdk. Wahyuningsih: 2006., hlm. 20). Dikatakan sebagai suatu keharusan, bukan karena unsur pestanya (makan minum sepuas-puasnya) saja, melainkan lebih melihat unsur peradaban (perasaan) bahwa sudah sepantasnya kita sebagai manusia yang punya hati nurani (manusiawi) tahu berterima kasih kepada “orang yang memberi” dan tahu memberi (berbagi kasih dalam jamuan bersama).

Dalam melangsungkan upacara Nosu Minu Podi ini, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan:

Upacara Pembukaan:

Dibuka dengan upacara “liturgi” (pengucapan doa-doa dan sesaji persembahan) sebagai ucapan terima kasih kepada Penompo (Yang Kuasa) dalam bentuk Pomang (semacam doa dan syair yang diucapkan dalam bahasa daerah kuno) yang diucapkan oleh tukang-tukang pomang. Selain ucapan syukur dan terima kasih kepada Penompo (Yang Kuasa), dalam pomang itu juga ada semacam ritual pemanggilan kembali Minu Podi (Roh Padi) yang masih berkeliaran supaya kembali ke dalam lumbung padi. (bdk. Tamen: 2003., hlm. 25). Adapun ramuan-ramuan yang harus disiapkan dalam upacara pomang adalah:

  • 2 ekor ayam kampung (jantan dan betina) digunakan untuk bekibau pada saat pomang

  • 2 botol tuak

  • 2 batang lemang jantan (dimasak di bambu tanpa dilapisi daun pisang tidak diberi santan) dan bambunya dikuliti setelah lemang dimasak.

  • 2 batang lemang betina (dimasak dalam bambu dilapisi daun pisang dan diberi santan kelapa).

  • 1 mangkok beras biasa dan 1 mangkon beras pulut (ketan)

  • 1 butir telur ayam mentah: disimpan di atas mangkok berisi beras biasa

  • 2 buah ilum yang terbuat dari tembakau tepe’ dibungkus daun sirih yang dioleskan kapur sirih dan disisipkan sepuntung rokok dari daun nipah.

  • 1 batang lilin dan uang logam serratus rupiah.

  • Segenggam cingkarok yang terbuat dari padi yang diletupkan (seperti kerupuk beras).

  • Segenggam beras kuning (terbuat dari beras yang diberi warna kuning pakai kunyit)

  • Satu sendok minyak nyu’ (terbuat dari kunyit yang ditumbuk dan dicampurkan dengan minyak kelapa).

  • Api untuk busampo’ (terbuat dari daun bunga selasih kering yang dibakar diatas api arang dalam piring atau mangkok).

  • Beberapa lembar daun sabang merah

  • Satu buah rancak yang terbuat dari anyaman bambu dan diisi dengan beberapa irisan lauk daging ayam lengkap dari semua bagian tubuh ayam dan nasi garam kemudian digantung diatas tumpukan sesaji persembahan dan diberi satu batang lilin yang menyala.

Pesta Nosu Minu Podi:

Ditandai dengan acara makan minum bersama setelah selesai berpomang. Selain untuk menikmati hasil panen, juga dimanfaatkan sebagai ajang silahturami keluarga (saat untuk berkumpul dan mempererat tali kekeluargaan dengan saling mengunjungi satu sama lain). Oleh orang tua-tua zaman dulu, kesempatan untuk saling mengunjungi keluarga ini sangat penting artinya. Karena kalau tidak pada kesempatan ini, mereka disibukkan dengan pekerjaan sebagai petani tradisional dimana mulai dari masa tebang-tebas sampai pada masa panen padi mereka terus-menerus bekerja di ladang secara berkesinambungan sehingg tiada waktu yang luang.

Perayaan Nosu Minu Podi biasanya berlangsung selama satu atau dua hari, dan dilakukan secara bergiliran dari kampung ke kampung (sesuai dengan kesepakatan tetua kampung). Hal ini bertujuan agar setiap orang dapat saling mengunjungi. Namun belakangan, banyak kampung yang sudah mulai merubah waktu perayaan menjadi lebih lama dan diadakan secara serentak. Ini dilakukan dengan alasan pengehamatan waktu serta biaya untuk acara tersebut.

  • Lihat Juga

  • Lihat Juga

    Mibu Muuh (Upacara Membuka Ladang)  Homing Dai’ (Rumah Besar dalam Masyarakat Dayak Hibun) 

    Oleh :
    Christianus ()