Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Rampanan Kapa’ (Bahasa Toraja, Sulawesi Selatan: Hal “Pernikahan Adat” dalam Suku Toraja, Adat)


Rambu tuka’ (ucapan syukur) adalah sebuat adat yang mempunyai banyak jenis, salah satunya adalah aluk rampanan kapa’ yang ada dalam suku toraja. Toraja adalah salah satu suku dari empat suku di Sulawesi Selatan. Toraja berada di dataran tinggi di Sulawesi Selatan yang berjarak 317 km dari Makasar. Adat dari suku ini cukup mendunia. Toraja bisa ditempu dengan bus dalam waktu enam jam dari Makasar, dan juga dengan bisa pesawat dalam waktu satu jam. Toraja mempunyai banyak adat istiadat yang membuat orang penasaran sehingga banyak orang datang mengunjungi daerah tersebut, baik orang dalam negeri maupun orang luar negeri. Rampanan kapa’ dalam suku toraja merupakan awal kehidupan untuk menuju bahtera keluarga.

Menurut kepercayaan nenek moyang orang Toraja, perkawinan adat dalam masyarakat Toraja berasal dari langit. Sebagaimana manusia pertama berasal dari langit (To Manurun diLangi’) Datu Laukku dan Datu Laettan datang membawa Aluk sanda pitunna (adat tujuh rupa). Di dalam aluk sanda pitunna itulah terdapat peraturan Rampanan Kapa’ yang dipelihara dengan baik oleh nenek moyang sehingga menjadi adat turun-temurun (Theodorus Kobong, 2008: 62-64).

Masyarakat Toraja percaya bahwa kehidupan di mulai di atas langit oleh deata-deata (para dewa). Deata-deata ini kemudia kawin dan berkembang biak di bumi. Di antara deata-deata itu terdapat manusia yang mempunyai kuasa ilahi. Manusia pertama yang turun ke bumi ialah Datu Laukku’ yang berjalan bersama dewa (to lumingka sola deata) yang kemudian diganti namanya setelah sampai di bumi menjadi manurun dilangi’ (orang yang turun dari langit). Ia melihat bahwa langit sudah sempit dan ingin turun ke bumi (tang maluangmo langi’-tang mabombamo batara). Puang Matua (Tuhan Allah) mengizinkan dia turun dengan membawa aluk sanda pitunna (adat serba tujuh = 7777777) peraturan yang telah diciptakan oleh Puang Matua di langit (Theodorus Kobong, 2008: 45).

Sesampai di bumi Datu Laukku (manurun di Langi’) melihat Datu Laettan. Datu Laettan adalah manusia yang muncul dari air. Manurun di Langi’ melihat Datu Laettan sedang mandi. Datu Laettan disebut juga to bu’tu Riwai Manurun (orang yang muncul dari air) manurun di Langi’ ingin segera mengawininya. Namun to Bu’tu riwai bertanya, “Apakah engkau mempunyai hukum dari langit, mau kawin tanpa aturan?” Manurun di Langi’ segera kembali ke langit bertanya tentang hal itu. Dia disuruh melakukan persembahan Piong sanglampa-pesung sang daun (makanan khas Toraja yang terbuat dari nasi ketan dan dimasak dengan memakai bambu-persembahan yang diletakkan diselembar daun). Sesudah Manurun diLangi’ melakukan persembahan muncullah Datu Laettan dan mereka ma’rampanan kapa’ (menikah). Itulah perkawinan yang berdasarkan Aluk sanda pitunna direstui para dewa dan Puang Matua.

Dari berbagai cerita tersebut orang Toraja percaya bahwa rampanan kapa’ itu turun dari langit yang diciptakan oleh Tuhan Allah. Perkawinan tidak boleh dilaksanakan tanpa izin dari penguasa Aluk dan manusia. Menurut To Minaa (pemimpin agama) menjelaskan dari mana mulanya rampanan kapa’ itu. Katanya, mekutanaki’ lako nene’ (aku bertanya kepada leluhur), “Kamukah yang menciptakan Aluk Rampanan kapa’ pada mulanya? Tidak, bukan kami. Kami hanya mewarisi dan memeliharanya, Puang Matua di atas langitlah yang menciptakannya”. (Tang kamira umpalalanni, pa’palalanna ia Puang Matua lako Datu Laukku’ sola Datu Laettan) (Tangdilintin, 2009: 112-114).

Ada’na ma’rampanan kapa’ (adat perkawinan) dirancang dan dimulai di atas langit oleh Puang Matua, diterima dan dipelihara oleh manusia pertama (Pong Mulatau) kemudian diwariskan kepada anak-cucu. Peraturan itulah yang diwariskan turun-termurun diantara manusia yang kemudian menjadi adat kebiasaan (ada’na rampanan kapa’). Aluk atau peraturan itu diturunkan dari langit bersamaan dengan turunnya manusia pertama. Aluk (agama)yang mengatur hubungan manusia dengan Dewa (Sang Pencipta), hubungan vertikal dipelihara dengan baik serta dilaksanakan dengan teliti dan teratur dalam hubungan dengan sesama manusia (hubungan horisontal) menjadi ada’ (adat). Maka adat perkawinan telah menjadi sendi kehidupan berdasarkan dua hal: Aluk dan Ada’, jadi diatur oleh hukum agama dan hukum adat. Ada’ dalam pandangan orang Toraja adalah suatu perbuatan yang baik dan berguna, dilakukan berulang-ulang, terus-menerus yang kemudian membuahkan kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan serta kebahagiaan.

Bagi penganut kepercayaan Aluk Todolo (kepercayaan asli orang Toraja) melanggar hukum adat sekaligus melanggar hukum agama yang disebut Pemali (pamali, hal yang tidak boleh dilanggar). Pelanggaran itu merusak hubungan antara manusia dengan Puang Matua (Tuhan Allah) sekaligus merusak hubungan antara sesama manusia dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pemulihan atas pelanggaran tersebut harus juga berdasarkan kedua aspek, religius dan sosial. Salah satu contoh pelanggaran dalam hukum adat dan agama misalnya terjadi incest dalam keluarga. Tuhan marah karena manusia melanggar aturan agama atau aluk; masyarakat kacau karena ada pelanggaran adat. Akibat dari perbuatan itu adalah rusaknya tatanan kehidupan tallu lolona (manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan) tidak ada kedamaian. “Tang mellomo ambong-tang mentarukmo leme’” (tak indah lagi kehidupan-peganggan tidak bertunas lagi). Semua mahluk hidup rusak, padi dan tanaman lain tidak berbuah, rusak dimakan ulat, tikus, dll; hewan piaraan tidak berkembang, penyakitan, dan keadaan buruk menimpa manusia dan segala miliknya.

Maka hubungan antara sesama manusia dalam masyarakat dan Tuhan harus dipulihkan kembali melalui peradilan adat. Yang bersalah harus menyiapkan babi atau kerbau untuk dikorbankan. Babi dipotong di hadapan masyarakat dipimpin oleh kepala adat. Darah babi atau kerbau ditumpahkan ke tanah dan asap kurban bakaran membubung ke langit agar dewa dan Puang Matua tidak marah lagi. Hal ini merupakan sebuah tanggungjawab tas perbuatan yang telah dilakukan. Upacara yang didoai oleh To Minaa disaksikan oleh masyarakat dan keluarga. Dengan selesainya upacara tersebut tidak ada lagi dendam amarah, telah terjadi rekonsiliasi (Jebadu, 2009: 103-105).

Bicara tentang tanggungjawab Levinas mengatakan bahwa tanggungjawab adalah data yang paling utama dalam segala orientasis (Suseno, 2006: 86). Membentuk atau mebangun rampanankapa’haruslah didasari dengan rasa tanggungjawab yang besar. Tanggungjawab yang mendahului, atau mendasari, sikap yang ada dalam khidupan sehari-hari, misalkan tanggungjawab atas istri dan anak-anak. Tanggungjawab yang berada dalam kehidupan sehari-hari atau disebut tanggungjawab primordial yang berperan sebagai latar belakang kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang perlu dipertanggungjawakan, karena hidup begitu berarti bagi diri sendiri maupun bagi sesama. Rampanan kapa’ adalah tempat membangun tanggungjawab yang penuh terhadap keluarga, sesama dan terhadap Aluk dan Ada’.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Dr. Kobong, Teodorus. 2008. Injil dan Tongkonan. Jakarta: Gunung Mulia.

    Jebadu, Alex. 2009.Bukan Berhala! Penghormatan Kepada Para Leluhur, Maumere: Seminari Tinggi Ladalero

    Tangdilintin. 2009. Toraja Sebuah Penggalian Sejarah dan Budaya. Makassar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

    Suseno, Franz Magnis. 2006. Etika abad kedua puluh. Yogyakarta: Kanisius.

    Paganna’, Yans Sulo, Pr. 2012. Kumpulan Ibadat Syukuran dan Kedukaan dalam Bahasa Indonesia dan Toraja. Yogyakarta: Penerbit Gunung Sopai.


    Lihat Juga

    Ma’bua’ (Bahasa Toraja, Sulawesi Selatan: hal “pesta ucapan syukur dan mohon berkat dari Tuhan Allah” dalam Suku Toraja, Tradisi)  Tongkonan (Bahasa Toraja, Sulawesi Selatan: Rumah Adat, Warisan Leluhur Suku Toraja)  Pa’rapuan (Bahasa Toraja, Sulawesi Selatan: Hal Perkumpulan Keluarga, Rumpun Keluarga, Hubungan Darah, Keluarga Besar) 

    Oleh :
    Frans Sa'ding ()