
Ma’bua’ (Bahasa Toraja, Sulawesi Selatan: hal “pesta ucapan syukur dan mohon berkat dari Tuhan Allah” dalam Suku Toraja, Tradisi)
Ma’bua’ atau Bua’ adalah sebuah tradisi yang berada di Toraja Sulawesi Selatan. Toraja adalah salah satu suku dari empat suku di Sulawesi Selatan. Toraja berada di negeri atas di Sulawesi Selatan yang berjarak 317 km.Adat dari suku ini cukup mendunia. Toraja bisa ditempu dengan bus dalam waktu enam jam dari Makasar, dan juga dengan bisa pesawat dalam waktu satu jam. Toraja mempunyai banyak adat istiadat yang membuat orang penasaran sehingga banyak orang datang mengunjungi daerah tersebut, baik orang dalam negeri maupun orang luar negeri. Selain rambu solo’(upacara pemakaman)dan rambu tuka’(upacara ucapan syukur) ada juga yang disebut ma’bua’ yang merupakaan bagian dari rambu tuka’.
Ma’bua’ merupakan perkumpulan atau persekutuan dari sebuah kampung yang secara bersama-sama melakukan ritus atau pesta. Ritus atau pesta dengan tujuan memohon berkat dari Allah bagi manusia, hewan, tanah dan tumbuh-tumbuhan atau orang Toraja menyebut tallu lolona. (Theodorus Kobong, 2008: 55-56). Sedangkan dalam kamus Toradja-Indonesia, kata bua’ berarti “suatu pesta besar yang dilakukan dan dirayakan oleh segenap penghuni dari suatu kampung, untuk memohon berkat atas manusia hewan dan tanaman” (Tammu dan van der Veen, 1972: 107). Tradisi ma’bua’ ini termasuk dalam struktur upacara sosio-religius dan merangkum beberapa upacara secara bersama-sama.
Pesta ini mau mengatakan atau melambangkan sebuah keharmonisan antara Allah dan manusia, manusia dengan sesama, manusia dengan binatang dan manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Keharmonisan itu terungkap dalam doa dan permohonan yang disampaikan oleh To Minaa(Pemangku kerukunan adat dan pemimpin agama lokal)
Ma’bua’ termasuk dalam upacara rambu tuka’ atau disebut aluk rampe mataallokarena dilakukan sebelum matahari terbenam lain dengan rambu solo’ yang harus dimulai sesudah tengah hari atau disebut aluk rampe matampuk. Orang yang terlibat dalam ritus tersebut adalah keluarga bangsawan dan semua orang yang berada dalam daerah dimana diadakan upacara ma’bua’. Pesta adat ini tidak hanya untuk memohon berkat dan mengucap syukur tetapi juga diyakini juga untuk memelihara kehidupan (Ivan, 2016:63).
Aluk bua’ terdiri dari beberapa jenis, yakni: bua’ saman kale, bua’ pangando, bua’ panampaan tananan, bua’ tammuan allo. Lalu bua’ dibagi menjadi dua bagian besar, yakni bua’ sangbongi dan bua’ kasalle atau bua’ pare.Bua’kasalle dilaksanakan di padanggalla (Toraja: padang belantara, jauh dari kampung) selama beberapa hari, sedangkan bua’sangbongi dilaksanakan di dalam kampung hanya sehari. Kedua bua’ ini sama-sama memanjatkan doa kepada PuangMatua(Tuhan Allah), dewa dan leluhur supaya diberi berkat.
Acara ini selalu diakhiri dengan melaksanakan pasomba tedong. Pasombatedong adalah pemulian kerbau dengan menyebut sejarahnya dan segala bagian anggota tubuhnya yang dilakukan oleh tominaa. Dalam pasombatedong ada litani yang didaraskan dan juga permohonan kepada PuangMatua. Bagian pasombatedong ini adalah bagian yang terpenting dalam alukma’bua’.
Secara singkat ma’bua’ berfungsi sebagai permohonan dan syukur atas usaha pertanian dan peternakan, sebagai syukuran anak-anak tongkonan dan atas sebuah kesuksesan dalam pekerjaan dan sebagai bentuk pengakuan dosa dan penyucian atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh masyarakat. Dalam ritus ini yang terlebih dahulu makan adalah leluhur, jadi leluhur disajikan makanan terlebih dahulu lalu kepada dewa-dewi (J. Belksma, 1994: 192). Pemberian makan kepada leluhur dilaksanakan disebelah Barattongkonan(rumah adat Toraja) sedangkan pemberian makanan kepada dewa-dewi diadakan disebelah Timurtongkonan.
Dalam ritus ini ada pula elemen yang menjadi dasar yakni darah. Darah adalah elemen yang terpenting, kerena darah merupakan simbol kesucian. Darah dipakai oleh keluarga dan masyarakat untuk menyucikan diri dan wilayah yang meliputi daerah tempat ma’bua’. Penyucian ini dipercaya dan diyakini bahwa mampu menyucikan segala seuatu yang ada dalam wilayah tersebut, mulai dari manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Setelah disucikan, tanah atau wilayah tempat diadakan bua’ disebut padang tallu rarai(tanah yang telah mendapat tiga percikan darah) (Ivan, 2016: 68). Masyarakat Toraja percaya dan meyakini bahwa tanah yang telah mendapat percikan darah suci tersebut akan memberikan keharmonisan dan menjaga masyarakat dari segala gangguan. Serta mengandaikan bahwa ada korban atau persembahan persyaratan dalam alukbua’.
Darah suci yang dipakai dalam ritus bua’ tanaman adalah darah ayam, babi dan anjing, sedangkan darah kerbau, babi dana yam untuk upacarabua’kasalle dan bua’pare. Tanah yang telah diperciki tallurarai menyimbolkan kesucian dan dianggap sakral. Perlu diketahui bahwa ritus ma’bua’ hanya dilakukan dua belas tahun sekali.
Ritus ma’bua’memakai beberapa materi yakni, tedong(kerbau), bai(babi), manuk(ayam), asu(anjing), bo’bo’(nasi), rara(darah), bane’(daun pisang) bate(simbol strata sosial) dan sendana(kayu cendana).Materi-materi tersebut merupakan dasar dalam aluk ma’bua’, jika salah satu materi ini tidak ada maka ritus pun tidak bisa dilaksanakan. Dalam bua’ kasalle, masyarakat Toraja memakai 24 kerbau. Tetapi beberapa daerah hanya memakai 2 kerbau saja tergantung dari kemampuan anggota keluarga.
Sebagai ucpan syukur dan sebagai bentuk sukacita karena telah disucikan kembali masyarakat Toraja menari dan bernyanyi dipenghujung acara ma’bua’. Beberapa tarian yang harus dilakukan dalam ritus ma’bua’ adalah: (1). Manimbong, tarian yang di laksanakaan oleh kaum pria pada aluk bua’ kasalle. (2). Ma’dandan, adalah tarian yang dimainkan oleh kaum wanita. (3). To ma’gandang to dolo adalah gendang yang dimainkan oleh 12 orang sampai 24 orang yang dipercaya sebagai gendang dari puang matua. (4). Passuling deata adalah seruling para dewa yang dimainkan oleh siapa saja yang bisa. (6).To ma’pelle’ adalah orang yang memainkan musik yang terbuat dari jerami padi. (7). Ma’bugi’ atau mangondoi tondok yang dilakukan untuk memohon berkat dan mengusir segala penyakit. Tarian-tarian tersebut sebagai ucapan syukur dan juga umpasende Puang(menggembirakan Tuhan). Tarian ma’bugi’ mempunyai keunikan sendiri, tarian ini dipercaya oleh orang Toraja sebagai tarian untuk mengusir orang-orang dari suku bugis (salah satu suku di Sulawesi Selatan yang berada di pesisir) yang dianggap sebagai sumber bencana. Tetapi kemudian megalami perubahan dibeberapa tempat sebagai tarian penyembuhan untuk orang-orang yang sedang sakit (Ivan, 2016: 96).
Bibliografi
A, Said. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak.
Dr. Kobong, Teodorus. 2008. Injil dan Tongkonan. Jakarta: Gunung Mulia.
Buntu,Ivan Sampe. 2016. Tesis: Otentitas Manusia Toraja dalam Ritus Ma’bua’. Malang: STFT Widya Sasana.
Belksma, J.. 1994. Dalam: Sumber-sumber Zending, Tentang Sejarah Gereja Toraja. (Th. Van den End). Jakarta: Gunung Mulia .
J. Tammu dan H. van der Veen. 1972. Kamus Toradja-Indonesia. Rantepao: Jajasan Kristen Toradja.
Lihat Juga
Frans Sa'ding ()