Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

BABHO NGASI: BAHASA NAGEKEO (SIDANG PENGADILAN)


Ungkapan ini merupakan ciri khas dari cara masyarakat Nagekeo dalam melakukan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan adat yang terjadi dalam masyarakat. Biasanya tua-tua adat yang disebut Mosa Laki dipercayakan sebagai jaksa dan juga hakim (Bdk. Bilo Djawa 2002:21). Pada perkara-perkara kesalahan adat, lembaga ini memiliki kewenangan penuh yang diberikan anggota masyarakatnya untuk melakukan pemeriksaan, penyelenggaraan persidangan, serta menjatuhkan sanksi menurut hukum adat yang berlaku kepada pihak-pihak yang diduga dan atau terbukti melakukan kesalahan-kesalahan adat atau pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat setempat (Philipus, Theofilus (ed.) 2007:580).

Mosa Laki sangat dihormati dalam adat masyarakat Nagekeo. Kharisma yang mereka miliki sangat membantu masyarakat bahkan pemerintah dalam penyelesaian-penyelesaian konflik atau perselisihan. Mosa Laki berhak melakukan pengusutan, penuntutan dan peradilan dalam sebuah kasus yang mereka tangani. Damianus Bilo mengatakan bahwa dalam pemeriksaan perkara biasanya berawal dari dua hal, yakni laporan salah satu pihak atau laporan dari kedua pihak yang berselisih kepada tua-tua adatnya disertai permohonan agar sengketanya diselesaikan.

Proses pemeriksaan dilakukan oleh Mosa Laki dengan pertama-tama mengutus orang untuk memanggil pihak yang bersengketa. Begitu utusan MosaLaki itu datang, pihak yang bersengketa ini langsung merespon dan memenuhi panggilan tersebut. MosaLaki memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka secara langsung dihadapan pihak lawan. Apabila salah satu di antara mereka mengakui bahwa perbuatan yang dilakukannya itu benar sesuai dengan tuduhan pihak sebelah, maka MosaLaki secara eksplisit memutuskan dan memberi nasihat kepada mereka (Bdk. Philipus, Theofilus 2007:582).

Damianus bilo dalam buku Rancang Bangun Nagekeo mengatakan apabila upaya perdamaian tidak dapat dicapai saat itu, MosaLaki akan mengembalikan sengketa tersebut kepada para pihak untuk selanjutnya para pihak menentukan sikapnya masing-masing, apakah membawa sengketa itu kepada sidang pengadilan adat atau diselesaikannya sendiri melalui perundingan baru yang diprakarsai oleh pihak ketiga. Sidang pengadilan ini disebut “Babho” atau “Babho Ngasi”.

MosaLaki tinggal menunggu keinginan para pihak yang bersengketa untuk mengungkapkan secara langsung apakah keduanya ingin menyelesaikan sengketa atau perselisihannya melalui sidang pengadilan adat atau melalui cara lain. Jika keduanya sepakat untuk menyelesaikan secara adat, maka MosaLaki menganggap itu sebagai laporan resmi para pihak dan kemudian menentukan hari dan jadwal persidangan. Pada hari persidangan yang telah ditentukan MosaLaki mengutus orang kepercayaannya untuk memangil kedua pihak tersebut. Pemanggilan dilakukan sampai tiga kali. Dan bila sampai kali yang ketiga salah satu pihak tidak memenuhi panggilan, maka diutusnya lagi orang suruhannya disertai beberapa mandor untuk melakukan pemanggilan dan penjemputan secara paksa.

Penjemputan paksa ini dilakukan dengan tujuan agar segera terselesaikannya sengketa demi kepentingan pemulihan hubungan sosial yang rusak di masyarakat akibat sengketa itu (Bdk. Philipus, Theofilus 2007: 584). Seorang pelaku yang dianggap bersalah akan dikenakan sanksi oleh MosaLaki sesuai dengan besar atau kecilnya, berat atau ringannya perbuatan dan niat yang ia lakukan. Namun, jika tertuduh tidak mengakui kebenaran laporan atau tuduhan itu, ia akan diberi kesempatan membantahnya. Apabila sengketa tersebut juga tidak mungkin bisa diselesaikan segera dan berpotensi menimbulkan konflik dengan skala yang lebih besar, MosaLaki mencobanya dengan memberikan pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat positif kepada para pihak dalam bahasa adat yang mengandung nilai pesan moral leluhur yang mampu membangkitkan kesadaran para pihak untuk berdamai dan disertai dengan penawaran perdamaian.

Namun, apabila upaya perdamaian tidak dapat dicapai saat itu, MosaLaki akan mengembalikan sengketa tersebut kepada para pihak untuk selanjutnya menentukan sikapnya masing-masing, apakah akan membawa sengketanya itu kepada sidang pengadilan negara ataupun diselesaikannya sendiri melalui perundingan baru, baik yang diprakarsai oleh pihak ketiga atau atas kesadaran dan inisiatif para pihak sendiri.

Keterangan-keterangan para pihak diberikan secara langsung kepada MosaLaki di hadapan lawannya atau di depan publik, karena persidangan selalu dilakukan di arena terbuka, yakni di arena pelataran kampung yang disebut loka dan sifatnya terbuka untuk umum. Praktik ini dilakukan hampir sama diseluruh wilayah Kabupaten Ngada, bahkan hampir sama di seluruh daratan Flores, meskipun dari etnis yang berbeda. Kalaupun terdapat perbedaan, tentunya sangat kecil dan mungkin hanya dalam hal peristilahannya saja, sebab bahasa yang dipakai oleh setiap etnis dan suku yang hidup di Flores berbeda-beda.

Untuk mendukung argumentasi bahwa Babho atau BabhoNgasi merupakan instrumen penyelesaian sengketa paling efektif, akan dilakukan terlebih dahulu kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan proses peradilan di Indonesia (dalam teori dan praktik), baik proses peradilan melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi di beberapa wilayah di Kabupaten Nagekeo dikaitkan dengan beberapa asas hukum yang berhubungan dengan proses peradilan dari keduanya, untuk melihat secara jernih apakah proses peradilan tersebut sudah berjalan sesuai dengan asas-asas hukum atau tidak. Di samping itu, akan dikaji pula mengenai hakikat dan tujuan serta urgensi pembentukan Babho atau BabhoNgasi di Kabupaten Nagekeo.

Dalam sistem Babho atau BabhoNgasi, asas ini sangat dipatuhi dan dijunjung tinggi. Karena di dalam Babho atau BabhoNgasi di Nagekeo tidak ada tersangka atau terdakwa yang dapat ditangkap, ditahan, diadili dan dihukum seperti pada peradilan litigasi di Peradilan Negara, sehingga tidak ada pihak bersengketa yang dapat divonis sebagai yang bersalah oleh anggota masyarakat sebelum dijatuhi vonis dan sanksi oleh para MosaLaki yang menyidangkan perkaranya dan menyatakan kesalahannya. Di samping itu, menganggap bersalah seorang tertuduh sebelum dinyatakan bersalah oleh para MosaLaki merupakan fitnah, yang dalam bahasa lokal etnis Bajawa disebut “WauNgasa”. Bagi pelaku perbuatan tersebut tuntutan pertanggungjawaban dapat dilakukan terhadapnya, yang dalam bahasa lokal etnis Bajawa disebut “Bhetu” atau “jera” suatu wujud tuntutan pemulihan nama baik.

Babho atau BabhoNgasi sangat berarti dan memiliki fungsi dalam peningkatan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan pada masyarakat. Masyarakat yang mengalami perselisihan sangat dibantu dengan adanya Babho atau BabhoNgasi ini, sebab biaya perkaranya jauh lebih murah dari pada biaya perkara di lembaga Pengadilan Negara. Hal lain yang dapat mengurangi beban sebuah perkara adalah masyarakat tidak lagi dibebani dengan biaya tambahan lainnya, seperti membiayai pihak lainnya yang akan mewakili kepentingannya dalam persidangan, yakni para pengacara. Selain itu masyarakat terutam para pencari keadilan akan terhndar dari kemungkinan-kemungkinan praktik pemerasan langsung maupun tidak langsung oleh para oknum penegak dan pelaksana hukum seperti yang biasa terjadi di dunia peradilan negara dalam proses litigasi.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Djawa Bilo, 2002. Peradilan Adat “Babho” Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Alternatif di Luar Pengadilan Bagi Masyarakat Ngada, Makalah Pada Seminar Hukum dan Penelitian Tanah Adat dalam Mendukung Pembangunan Daerah Otonom Kabupaten Ngada, Bajawa: Ngada-Flores.

    Tule Philipus, Woghe Theolfilus (ed.), 2007. Rancang Bangun Nagekeo, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero.


    Lihat Juga

    INE TANDA(BAHASA KEO: LARANGAN-LARANGAN MERUSAK LINGKUNGAN)  BAKO PO’O (BAHASA NAGEKEO: GULUNGAN DAUN TEMBAKAU)  KUWU SI’E (BAHASA NAGEKEO: PONDOK GARAM) 

    Oleh :
    Andreas Leta ()