
BAKO PO’O (BAHASA NAGEKEO: GULUNGAN DAUN TEMBAKAU)
Salah satu jenis tanaman yang sering di dagangkan di pasar tradisional Nagekeo adalah tembakau (Djeki. J. J, dkk, 1979:99). Orang-orang Nagekeo sering menyebutnya BakoPo’o. Tradisi meramu BakoPo’o sekarang hampir jarang dijumpai di Nagekeo. Orang lebih memilih membeli rokok yang sudah jadi. Nagekeo memiliki potensi alam yang baik dan masih banyak lahan kosong yang belum disentuh oleh tangan manusia. BakoPo’o berasal dari dua suku kata yaitu bako artinya rokok dan po’o artinya menggulung. Jadi BakoPo’o berarti menggulung rokok untuk diisap.
BakoPo’o merupakan ramuan tradisional yang disimpan dalam bambu seperti nasi bambu. Ramuan irisan daun tembakau dimasukkan dalam bambu kemudian ditutup rapat lalu disimpan. Ketika ada yang mau menggunakannya, bambu yang berisi irisan daun tembakau dibelah dan isinya dikeluarkan dari mulut ruas bambu kemudian diiris tipis, lalu digulung pada daun lontar untuk diisap. Kegiatan menggulung dan mengisap BakoPo’o yang dapat dijumpai sekarang hanya dilakukan oleh orang tua-tua. Sedangkan anak muda lebih memilih untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
BakoPo’o kadang dibawa pada hari pasar untuk dijual. Bila ada yang mau menggunakan untuk kepentingan adat, orang yang memiliki banyak uang biasanya membeli utuh dua sampai tiga ruas bambu BakoPo’o. BakoPo’o tidak hanya dijual dalam bentuk utuh di dalam bambu, tetapi dapat dijual dengan segenggam tangan beberapa iris saja. Pasar tradisional yang dapat kita jumpai di Kabupaten Nagekeo hanya dibuka sekali dalam seminggu dan segala jenis kebutuhan pangan dipasarkan di alam terbuka.
Di tempat penjualan itulah orang saling bertemu dan bukan hanya sebagai tempat transaksi yang berlangsung antara penjual dan pembeli. Suasana pasar yang ramai membuat orang tidak lagi menghiraukan teriknya matahari. Padahal sebagian wilayah pasar Nagekeo suhu udaranya sangat panas. Mencari sahabat dalam situasi berdagang tidaklah sulit sebab orang selalu berusaha menjumpai teman atau kerabat baru di pasar. Hal ini dilakukan karena ada orang-orang yang tinggal di daerah pegunungan yang sangat susah mendapatkan akses jalan dan transportasi, mereka harus mencari tempat penginapan di salah satu sahabat yang mereka kenal.
Bagi orang tua-tua yang suka mengonsumsi BakoPo’o, berjalan kaki beberapa kilo meter hanya sekedar membeli seiris BakoPo’o dan merokok bersama teman dan kerabat. Di sana mereka saling membutuhkan data informasi seputar harga pasaran hasil-hasil usaha yang akan mereka jual. Bila ada pembicaraan yang belum rampung dan masih membutuhkan data informasi lain, biasanya akan dibicarakan pada pekan berikut di pasar. Situasi perpisahan dengan kerabat biasanya diungkapkan dengan kata “napa kita papa luka wado pasa reta wawo” (Bahasa Keo: nanti kita berjumpa lagi di pasar minggu depan).
Nagekeo memiliki banyak penghasilan dari komoditi pertanian dan perkebunan (Bdk. Muliyodiharjo, 1995:37). Di antaranya adalah berupa jagung, beras, ubi dan lain-lain. Para penjual menjual hasil pertanian dan perkebunan mereka di tanah lapang dengan membentang sebuah tikar atau pengalas lainnya seadanya. Cabe biasanya dijual dengan takaran sebuah gelas kecil dan sebagian hasil kebun umumnya ditempatkan dalam bakul-bakul dengan sedikit ditata agar mudah dilihat orang dari kejauhan bahwa di situ ada orang yang sedang berjualan apa yang mereka cari.
Dari semua penjual yang paling menonjol adalah penjual tembakau. Dua macam tembakau yaitu bakora’u (tembakau irisan seperti yang dibuat oleh orang Boyolali) dan BakoPo’o (tembakau yang diramu dalam bambu). Bakora’u biasa dijual dalam jumputan dan ditempatkan di atas alas kertas. Bako...bako...menge talo ta musu sala talo (Bahasa Nage: tembakau-tembakau wangi dan lembut, sedap diisap dan sempurna dan diisap tidak salah lagi).
Mai-mai (Bahasa Nage: mari-mari), ini merupakan ciri khas bagi para penjual bakora’u dan BakoPo’o yang dengan suara lantang berteriak dan melagukan kata-kata untuk menarik pemikat yang mengonsumsinya untuk membeli. Walaupun terik matahari menyengat kulit tidak dihiraukannya lagi, sebab yang ia harapkan adalah agar barang dagangannya laris terjual. Bila ada orang yang merapat, si penjual akan mengiris sedikit sekedar satu gulungan untuk mencoba. Akan tetapi apabila ada orang yang hanya dengan mencium wanginya, mereka sudah tahu seberapa nikmatnya tembakau itu.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an kita bisa dengan mudah melihat bapak-bapak dan kakek-kakek membawa kotak khusus berisi tembakau dan daun lontar. Bagian dalam daun lontar digaruk sehingga memudahkan orang untuk menggulung irisan tembakau. Kalau sudah menikmati tembakau ini suasana sangat menyenangkan bagi mereka yang mengonsumsinya, sebab terlihat sangat jelas mereka yang mengonsumsi BakoPo’o ini bisa berbicara panjang lebar bahkan sampai lupa waktu.
Begitu kuatnya budaya mengkonsumsi BakoPo’o bagi orang tua-tua di kampung. Mereka kurang percaya dengan peringatan pemerintah bahwa merokok itu merugikan kesehatan (Bdk. Juwono, 1995:42). Kalau ada ceramah-ceramah kesehatan tentang bahaya merokok, orang tua-tua itu mendengarnya dengan sabar sambil tersenyum-senyum. Tapi kebanyakan dari mereka tidak percaya bahwa mengonsumsi BakoPo’o atau tepatnya tembakau itu mengandung begitu banyak bahan kimia berbahaya. Mengapa kurang yakin? Karena mereka belum melihat bukti orang-orang yang mengonsumsi BakoPo’o itu cepat mati atau terkena penyakit-penyakit yang disebutkan oleh dokter. Apalagi usia kakek-kakek yang melestarikan budaya mengonsumsi BakoPo’o itu selama ini panjang-panjang umurnya. Baru meninggal dunia di atas usia 80 tahun dan hampir tidak ada yang sakit parah kemudian dirawat berbulan-bulan di rumah sakit.
Tradisi menanam BakoPo’o di Nagekeo sebetulnya bukan hal yang relatif baru. Masyarakat Nagekeo sudah mengenal tembakau dengan sebutan bako sejak masa penjajahan. Mereka mulai diperkenalkan dengan tanaman tembakau yang ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan dan dapat menghasilkan uang bagi mereka untuk membeli kebutuhan hidup lainnya. Bagi sebagian besar orang yang mengusahakan budi daya tembakau memungut uang dari hasil penjualan tembakaunya dengan keuntungan yang besar. Namun, tradisi menanam BakoPo’o di masa sekarang ini berangsur-angsur melemah dan hampir menghilang dari wilayah masyarakat Nagekeo.
Kemajuan teknologi di bidang industri membawa dampak buruk dan citra buruk bagi masyarakat yang mengusahakan tembakau. BakoPo’o yang semula sangat nikmat diisap atau di konsumsi orang, kini perlahan-lahan menjadi bahan perbincangan yang hangat dan negatif tentang BakoPo’o. Ada yang mengatakan penyebab kanker atau paru-paru kotor itu karena terlalu mengonsumsi BakoPo’o. Padahal setelah ditelusuri ternyata penyakit yang menyerang pengongsumsi BakoPo’o adalah tembakau yang sudah diolah oleh pabrik dengan teknologi canggih dan BakoPo’o telah dicampur dengan zat kimia lainnya sehingga terasa lebih nikmat.
Tadeus Ta’a mengatakan bahwa ia salah seorang yang paling banyak mengongsumsi BakoPo’o dari umur 12 tahun hingga ia berumur 75 tahun sekarang, belum pernah dokter memvonisnya menderita kanker atau paru-paru. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa BakoPo’o yang ia konsumsi adalah BakoPo’o yang masih alami dan tidak pernah ia mencampurkannya dengan bahan-bahan kimia lainnya, sehingga kesehatannya baik-baik saja dan tidak pernah ia masuk rumah sakit. Bakopo’o harus dibudidayakan kembali agar orang tidak lagi mengonsumsi rokok-rokok yang sudah dicampuri dengan bahan-bahan kimia.
Bibliografi
Djeki, J.J. 1979. Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Juwono, B.S, 1995. Rokok dan Isu Kesehatan. Makalah ini Disampaikan Pada Seminar Nasional, Tembakau, Rokok dan Kesehatan di Hotel Sangri Surabaya.
Mulyodihardo. S, 1995. Peranan Komoditas Tembakau dan Cengkeh Terhadap Perekonomian Nasional, Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan dan Direktorat Bina Produksi.
Lihat Juga
INE TANDA(BAHASA KEO: LARANGAN-LARANGAN MERUSAK LINGKUNGAN) | KUWU SI’E (BAHASA NAGEKEO: PONDOK GARAM) | BABHO NGASI: BAHASA NAGEKEO (SIDANG PENGADILAN) |
Andreas Leta ()