INE TANDA(BAHASA KEO: LARANGAN-LARANGAN MERUSAK LINGKUNGAN)
Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis dan terbentang hampir sebagian besar padang rumput, juga ditumbuhi pepohonan seperti kemiri, asam, kayu manis, lontar dan sebagainya serta kaya dengan fauna, antara lain hewan-hewan besar, hewan-hewan kecil, unggas, binatang menjalar dan binatang liar. Di samping itu daerah ini kaya dengan obyek wisata seperti Pantai Ena Gera, panorama alam sepertti air panas (Puta) dan wisata budaya seperti peninggalan batu rumah adat tradisional, kesenian dan kerajinan tangan.
Kecamatan yang luas wilayahnya paling kecil adalah Kecamatan Keo Tengah dengan luas wilayah 65,62 km2 atau 4,63 persen dari keseluruhan luas wilayah Nagekeo. Dalam wilayah kecamatan Keo Tengah ada sebuah upacara adat yang dikenal dengan nama Ine Tanda. Ine Tanda merupakan salah satu upacara adat yang terdapat dalam masyarakat suku Romba, Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo - Nusa Tenggara Timur. Ine Tandaartinya orang yang paling berpengaruh dikampung yang dipercaya untuk menetapkan larangan-larangan atau peraturan-peraturan untuk menjaga lingkungan.
Ine Tandadilakukan sebagai bentuk larangan bagi masyarakat adat suku Romba untuk tidak sembarangan memotong atau memetik hasil tanaman umur panjang sebelum waktunya atau memetik hasil yang masih muda. Harus ada kesepakatan dengan Ine Tanda apabila ada yang mau memotong bambu ataupun kelapa. Jika ada yang melanggar larangan-larangan tersebut, maka akan dikenakan sanksi tikam babi atau kerbau sesuai dengan keputusan Ine Tandadan warga kampung.
Kearifan lokal Ine Tanda berlangsung turun-temurun untuk menjaga dan mengelola lingkungan. Masyarakat diatur oleh ketetapan bersama untuk jangka waktu tertentu. Berhadapan dengan meluasnya perusakan lingkungan hidup, dimana-mana orang mulai mengerti bahwa kita tidak dapat terus mempergunakan harta kekayaan bumi seperti di masa lampau (Dokpen KWI No.92, 2014:37). Masyarakat adat disadarkan untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan selalu dipandang dari seberapa jauh keadaan lingkungan yang memberikan gambaran kemakmuran. Ukurannya dilihat dari dua jenis tanaman yaitu kelapa dan bambu. Topografi sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Nagekeo termasuk daerah yang beriklim tropis sehingga perubahan suhu tidak dipengaruhi oleh penggantian musim, tapi ditentukan oleh perbedaan ketinggian dari permukaan laut.
Lingkungan di mana kita hidup mempengaruhi cara kita memandang hidup, merasa dan bertindak (Dokpen KWI No.98, 2016: 87). Masyarakat adat Romba mempunyai peraturan untuk melindungi lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan peraturan adalah larangan-larangan bagi warga dalam mengelola lingkungan. Peraturan itu ditetapkan dan dimulai dengan sebuah pertemuan adat yang diadakan disalah satu lokasi terbuka di luar kampung yaitu sebidang tanah yang disebut ku tana. Pertemuan untuk mengadakan penetapan waktu larangan dan mengeksekusi sanksi-sanksi (denda adat) disebut pebhu tindu (perkumpulan untuk menerapkan waktu dimulainya masa menjaga lingkungan). Pertemuan diawali dengan warta atau pemberitahuan untuk mengadakan kapan dan tempat pebhu tindu.
Setiap pengumuman didahului dengan memukul gong besar (Nggo mere). Perintah berkumpul disebut beku. Pada waktu pebhu tindu (pertemuan) setiap keluarga menyumbang beras dalam ukuran yang ditetapkan yang akan dimasak di tempat pertemuan (ku tana). Lauknya adalah daging babi, diambil dari warga yang melakukan pelanggaran adat. Pertemuan pebhu tindu hanya dihadiri kaum lelaki termasuk anak-anak. Selain alat masak seperti kuali besar tidak ada lagi alat makan lainnya. Piring dan senduk juga tidak ada. Piring nasi dibuat dari tempurung kelapa untuk kuah dan nasi ditampung didaun lontar muda. Daun-daun lontar dari satu pelepah ditekuk dan diikat ujungnya melengkung seperti alat musik sasando. Senduk dibuat dari batok kelapa. Semuanya serba darurat.
Ada masa orang tidak boleh memanjat kelapa kecuali beberapa pohon untuk keperluan sayuran (nio ae uta). Pohon kelapa yang lain dibiarkan saja berbuah sampai tua, biasanya satu bulan. Pada saat itu orang tidak boleh mengupas buah kelapa, menjemur dan menjual. Salah satu tanaman yang paling diperhatikan pengawasan adalah bambu. Untuk menjaga agar tanaman bambu tidak musnah. Ada masa semua orang dilarang memotong bambu. Walau ada keperluan untuk pembangunan. Selama masa larangan orang berusaha untuk menahan diri dan hanya menggunakan bambu yang ada. Siapa yang melakukan pelanggaran memotong bambu pada masa larangan akan dikenakan sanksi. Sanksi biasa berupa babi besar yang disembelih pada saat akan memulai masa larangan (tanda).
Kehidupan masyarakat telah diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan adat yang sangat ketat. Ritme atau gerak kehidupan nampak seragam dan di bawah pengawasan pemimpin-pemimpin adat. Tidak dibenarkan anggota masyarakat menyimpang dari ketentuan-ketentuan adat yang berlangsung. Walaupun ketentuan-ketentuan itu tidak tertulis, namun seluruh warga masyarakat adat Romba mengetahui dan mentaatinya (Bdk. M. Widiyatmaka dkk, 1977:55). Sebab rakyat percaya bahwa ketentuan-ketentuan tersebut telah digariskan oleh nenek moyang mereka. Apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan bencana.
Pola kepemimpinan masyarakat pada masa ini adalah merupakan pola kepemimpinan tradisional. Dalam pola ini pemimpin-pemimpin muncul berdasarkan peranan mereka dalam memimpin kehidupan. Ine Tanda menjadi perwujudan kepemimpinan yang mampu menegakan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup agar tidak punah dan rusak. Untuk memulai membuka kebun, menanam ataupun memetik hasil, sebelum ada perintah dari pemimpin adat, anggota masyarakat tidak akan berani mulai. Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat Sabu. Sebelum moneama memberi perintah, maka warga tidak berani bekerja walaupun hujan sudah turun. Demikian juga di daerah Lio, sebelum mosalaki memberikan persetujuan, kegiatan pertanian belum boleh dilaksanakan.
Ine Tanda sebagai sebuah larangan yang berlangsung turun-temurun menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Romba untuk tetap melestarikan dan menjaga lingkungan hidup mereka. Kesetiaan mereka terhadap larangan-larangan tersebut menjadi tanda pemersatu dan pensejahteraan kehidupan bersama. Larangan yang berlaku merupakan keputusan bersama yang diwarisi oleh nenek moyang sejak zaman dahulu. Dan ini yang menjadi hukum adat atau peraturan adat yang tetap diakui sebagai simbol kedamaian. Di mana orang tidak lagi secara sembarangan menebang pohon ataupun memetik hasil sebelum waktunya atau sebelum tiba masa menuai.
Sikap dan tindakan yang dipengaruhi oleh budaya setempat menjadi sumber pengetahuan yang memiliki maanfaat bagi masyarakat dalam perkembangan dan kelangsungan hidupnya. Masyarakat yang selalu berkecimpung dalam upacara-upacara adat tidak pernah bisa untuk menjauhi hukum adat atau mencoba mengabaikannya. Akhirnya, Ine Tanda sebagai sebuah larangan yang ada di dalam masyarakat adat Romba membawa masyarakat pada kesadaran akan pentingnya menjaga dan melestarikan alam yang merupakan sumber yang memberi kehidupan bagi seluruh warga masyarakat.
Bibliografi
Go Piet (terj.), 2014. LingkunganHidup, Dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 92, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.
Harun, Martin (terj.), 2016. LaudatoSi’, Dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 98, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.
Widiyatmaka. M. Dkk, 1977. Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Daerah Nusa Tenggara Timur.
Lihat Juga
BAKO PO’O (BAHASA NAGEKEO: GULUNGAN DAUN TEMBAKAU) | KUWU SI’E (BAHASA NAGEKEO: PONDOK GARAM) | BABHO NGASI: BAHASA NAGEKEO (SIDANG PENGADILAN) |
Andreas Leta ()