KUWU SI’E (BAHASA NAGEKEO: PONDOK GARAM)
Ungkapan ini merupakan cetusan dari bahasa yang digunakan orang Nagekeo untuk menyebut beberapa gubuk yang digunakan untuk memproduksi garam. Pesisir pantai selatan Nagekeo terkenal dengan produksi garam sendiri dan di wilayah pesisir pantai utara Nagekeo juga memiliki padang garam yang luas dan bisa menempatkan Nagekeo sebagai salah satu produsen garam terbesar di Indonesia (Philipus, Theofilus, (ed.), 2007:367). Di pesisir pantai selatan Nagekeo, garam diproduksi di sebuah gubuk yang diberi nama Kuwu Si’e (Bahasa Nagekeo: pondok garam) dan masih menggunakan peralatan tradisional. Secara etimologis kata Kuwu Si’e berasal dari dua suku kata yaitu Kuwu yang berarti pondok atau gubuk dan Si’e yang berarti garam. Jadi, KuwuSi’e berarti tempat atau gubuk yang digunakan untuk memroduksi atau memasak air laut menjadi garam.
Kata Kuwu di wilayah Nagekeo selalu dikaitkan dengan dua macam industri rumah tangga, yaitu tempat untuk menyuling arak disebut KuwuTua dan tempat memasak garam disebut Kuwu Si’e. Dengan keahlian yang dimiliki secara tradisional, ada banyak pertimbangan sebelum mereka melakukan Kuwu Si,e. Mereka melakukan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Ilmu manusia muncul ketika manusia mempelajari alam dan dalam pandangan ilmu alam manusia sederajat dengan gejala-gejala alam lainnya (Bdk. Van Peursen, 1988:184). Dalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kehidupan sudah terjadi suatu perubahan besar, sehingga manusia berusaha untuk mempelajarinya sesuai dengan gejala-gejala alam yang terjadi.
Kuwu selalu dibuat memanjang mengikuti daerah garis pantai yang membentang lurus dari arah Timur sampai ke Barat. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan arah angin yang berhembus. Keahlian dalam membaca arah angin ini sudah diwariskan secara turun-temurun dari tiap-tiap generasi yang membudidayakan garam pesisir pantai selatan Nagekeo. Pada siang hari angin laut cukup kencang dan malam hari angin berhembus berbalik dari darat ke laut. Karena pertimbangan arah angin itu, maka pintu yang menghadap ke arah laut dan ke arah darat ditutup.
Proses memroduksi garam dilakukan dengan cara merebus air laut hingga kering dan endapan yang dihasilkan dari rebusan air laut itu tampak seperti butir-butir garam halus berbentuk butir kristal putih yang cerah. Bila hasil yang didapat dari rebusan air laut pertama sedikit, maka orang akan menambah lagi air ke dalam wadah setiap kali air mulai berkurang. Api dibiarkan tetap menyala sampai air benar-benar mendidih dan menghasilkan uap. Endapan garam akan tampak ketika air yang direbus itu mulai mengering. Biasanya air laut yang dimasak pada pagi hari dikeringkan pada sore hari. Sisa-sisa endapan garam akan kelihatan seperti butir-butir pasir putih.
Dalam proses memasak air laut, orang akan terus mengaduk-aduk air laut itu atau mengayuh seperti menggoreng agar tidak hangus. Hal ini dimaksudkan agar garam benar-benar kering dan tidak kelihatan hitam. Serbuk-serbuk putih dari hasil olahan itu dikumpulkan di tengah wadah seperti membentuk sebuah tumpeng, lalu disendok ke luar ke atas wadah lain yaitu berupa Mbao (Bahasa Nagekeo: pelepah pinang) yang dibentuk khusus untuk menaruh garam. Untuk menyimpan di tempat yang nyaman, orang Nagekeo menganyam sebuah Mboda Si’e (Bahasa Nagekeo: sebuah tempat yang dibentuk dari anyaman daun lontar) (Bdk. Djeki. J. Dkk, 1988:58). Kemudian, tempat penyimpanan terakhir yang biasa dilakukan orang Nagekeo untuk menyimpan garam adalah di bawah kolong rumah, persis di bawah dapur masak.
Alat penyimpanan hasil produksi garam bisa diletakkan di atas loteng atau para-para dalam rumah. Di beberapa daerah di Flores seperti Lio, orang menyimpan jagung dengan mengikat dalam untaian dan digantung pada pohon. Terdapat juga alat seperti sokal yakni anyaman dari daun lontar, pandan atau gewang berbentuk keranjang yang sangat besar dan dipakai untuk menyimpan padi. Jadi, alat penyimpanan garam orang Nagekeo hampir sama dan mirip dengan alat-alat penyimpanan kebutuhan makanan lainnya seperti di daerah-daerah lain.
Orang Nagekeo biasa membuat kotak segi empat yang cukup luas di dalam rumah pangung untuk perapian. Di dalam kotak itu diisi tanah dan kemudian didirikan sebuah tungku untuk memasak. Tempat itu dibuat cukup luas sehingga beberap tungku dapat berdiri di atas kotak tersebut. Wadah untuk memasak berupa lembaran seng yang dibentuk kotak persegi empat. Untuk memudahkan pemanasan, maka digunakan wadah dengan ukuran lebih panjang. Pemasangan wadah di atas tungku harus agak tinggi dari permukaan tungku. Tungku yang dibuat memanjang itu dimaksudkan agar dapat memasukkan beberapa kayu kering yang agak besar tanpa dipotong-potong lagi.
Semua peralatan dalam memroduksi garam dilakukan secara tradisional dan yang mudah didapat di sekitarnya. Misalnya, orang Nagekeo menggunakan Bheto (Bahasa Nagekeo: bambu besar) minimal mengambil dua ruas dari Bhetoitu untuk mengangkut air laut. Air laut dibawa ke Kuwu dan kemudian disimpan dalam sebuah tempayan yang lebih besar atau dalam sebuah wadah kayu yang berbentuk sebuah perahu. Saat terbaik mengambil air laut adalah pada saat pasang naik. Karena pada saat air pasang penuh, ombak biasanya tidak terlalu kuat dan jarak antara Kuwu dengan pesisir pantai semakin lebih dekat.
Pada saat laut dalam kondisi tenang, orang akan bergegas mengambil air laut dengan cara membenamkan Bheto ke laut dengan posisi menghadap ke darat dengan maksud air laut yang masuk ke dalam Bheto tidak tercampur dengan pasir. Tempat Kuwu si’e di buat dekat dengan pesisir pantai sehingga memudahkan orang untuk mengambil air laut. Biasanya yang rajin mengambil air laut adalah ibu-ibu yang hanya mengenakan kain dan terkadang tanpa baju. Mereka mengikat kain di atas dada dan menutupi payudara. Pada saat mengambil air laut pakayan yang mereka kenakan akan basah, maka secara sederhana saja mereka melakukan pekerjaan mereka dengan mengenakan pakayan yang sederhana.
Pekerjaan memasak garam ini memang berat. Memasak garam sering dilakukan setelah musim panen sampai musim menanam tiba. Pada musim menanam semua orang yang memroduksi garam harus berhenti, karena mereka harus membersihkan kebun dan mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk persiapan pengolahan garam setelah musim menanam selesai. Pekerjaan memasak garam tidak hanya sekedar menuangkan air laut ke dalam wadah lalu memasaknya, tetapi membutuhkan suatu ketekunan dan kerja keras. Orang harus bergadang sepanjang malam menunggu air berkurang dan terus menambahkan air ke dalam wadah.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini kadang menjadi sebuah persoalan penting karena program pembangunan pertanian yang diperkenalkan tidak mengikuti pola perkembangan pasar atau tidak jelas pasarnya. Hal ini menjadi dampak bagi para petani garam untuk meninggalkan usaha mereka karena dinilai kurang laku di dunia pasaran. Sistem Kuwusi’euntuk zaman sekarang ini memang sudah jarang dijumpai dan ditemukan lagi. Seiring dengan perkembangan teknologi yang canggih dan lemahnya pasaran di daerah-daerah yang sulit mendapat akses komunikasi dan transportasi membuat para petani garam mengalihkan pekerjaan mereka pada hasil-hasil perkebunan dan persawahan.
Bibliografi
Djeki, J. J, Dkk, 1979. Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Nusa Tenggara Timur, Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Peursen, C. A. Van, 1988.Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Tulle Philipus, Woghe Theofilus (ed.), 2007. Rancang Bangun Nagekeo, Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero.
Lihat Juga
INE TANDA(BAHASA KEO: LARANGAN-LARANGAN MERUSAK LINGKUNGAN) | BAKO PO’O (BAHASA NAGEKEO: GULUNGAN DAUN TEMBAKAU) | BABHO NGASI: BAHASA NAGEKEO (SIDANG PENGADILAN) |
Andreas Leta ()