Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Pio-pio Wale Io (Bahasa Manggarai: Bersikap ramah dan sopan)


Pio-pio wale io merupakan terminologi yang dimiliki oleh orang Manggarai untuk menunjuk pada sikap sopan dan ramah dalam berelasi antarmanusia. Pio-pio wale io mengungkapkan nilai etis masyarakat Manggarai dalam menata relasi dan kehamornisan hidup bersama. Keharmonisan itu tidak hanya ditunjukan dalam keadaan yang akur tanpa permusuhan tetapi harus mulai dari cara berkata dan bertutur yang sopan dan santun.

Bagi kami orang Rego, terletak 250 km di sebelah Utara Labuan Bajo, Ibukota Kabupaten Manggarai Barat, pio-pio wale io merupakan nilai kehidupan yang ditanam dan diajarkan sejak kecil kepada anak-anak. Alasannya jelas yaitu agar anak-anak bertumbuh dalam nilai-nilai etis perihal relasi dengan sesama. Relasi yang baik harus dimulai dari kata menuju aksi. Artinya apa yang saya ucapkan itu juga yang saya kerjakan. Menurut Petrus (Janggur, 2010: 85), pio-pio wale io, pertama-tama menunjukkan sikap sopan terhadap orangtua dan mereka yang dituakan. Yang kedua menunjukkan sikap sopan kepada mereka yang usianya lebih tua. Yang ketiga menunjukkan sikap sopan kepada tamu atau orang asing.

Dalam kebiasaan orang Rego, hormat terhadap orang tua dan yang dituakan merupakan sebuah kewajiban bagi anak-anak. Hal itu ditandai dengan sebuah kebiasaan untuk “wale io eme benta lata tu’a” (menjawab io ketika orangtua atau yang tua memanggil). Kebiasaan itu harus sudah dimiliki oleh setiap orang sejak kecil. Tujuannya ialah agar hal itu sudah menjadi kebiasaan sehingga pada saat mereka masuk ke dalam societas, nilai-nilai etis kehidpan bersama sudah mereka kenal. Hal itu dimulai dari cara mereka menyapa dan menjawab orangtua dan mereka yang dituakan dalam kehidupan bersama.

Pentingnya pio-pio wale io bukan hanya soal relasi tetapi juga soal keutamaan yang akan bertumbuh dan dimiliki oleh setiap orang Rego. Keutamaan jenis ini oleh Pius Pandor (2014: 182) disebut dengan keutamaan kemanusiaan. Cara untuk memperoleh keutamaan jenis ini adalah lewat cinta, kedekatan, kebaikan hati, dan berelasi. Pio-pio wale io mengungkapkan hal-hal yang menjadi jalan untuk menggapai keutamaan kemanusiaa itu.

Pio-pio wale io juga menjadi bentuk sikap sopan dan keramahan bagi mereka yang usianya lebih tua. Sudah menjadi kewajiban bagi anak-anak atau mereka yang usianya lebih muda untuk menghormati mereka yang usianya lebih tua. Hal itu menunjuk pada sebuah kesadaran etis bahwa penghormatan akan mereka yang menjadi kakak bukan terletak pada faktor usia. Penghormatan terhadap mereka di dasari pada kesadaran bahwa menghormati para saudara yang lebih tua merupakan keutamaan yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh setiap anak. Sebab, dalam kehidupan harian anak-anak selalu berhadapan dengan mereka yang usianya lebih tua dari mereka. Dalam lingkup yang lebih kecil yakni keluarga, anak-anak pun sudah berhadapan denga saudara-saudari yang lebih tua dari mereka.

Kebiasaan untuk menghormati saudara yang lebih tua dalam keluarga, bagi kami orang Rego merupakan dasar bagi anak-anak agar mampu untuk terjun ke dalam konteks kehidupan yang lebih luas yakni masyarakat. Pio-pio wale io tidak hanya menunjuk pada keutamaan yang dimiliki oleh anak. Hal itu juga menunjuk pada martabat pribadi manusia sebagai pribadi. Tentang hal ini, Armada Riyanto (2013: 211) mengatakan bahwa pribadi manusia itu berbicara soal unisitas pribadi manusia. Unisitas pribadi menurut Armada Riyanto berbicara tentang kemampuan manusia untuk mencintai dan dicintai…. Sebab cinta itu milik dan dimiliki oleh manusia sebagi pribadi.

Hemat saya, kebiasaan untuk mengajar anak di Rego agar bertumbuh dalam semangat pio-pio wale io, tidak bisa tidak didasari pada usaha untuk menumbuhkan semangat mencintai dalam diri mereka. Mereka dididik agar dapat mencintai orangtua, saudara-saudari, serta sesamanya. Hal itu akan bertumbuh jika martabat mereka sebagai pribadi pun ditumbuhkan. Artinya ialah mereka juga berhak mendapatkan cinta dari orang-orang sekitar mereka. Hal itu menjadi tugas utama dari orang tua. Dengan merasa dicintai dan dihormati, anak-anak akan tahu apa artinya mencintai dan menghargai. Cetusan yang mendasar untuk menghargai dan menghormati itu ada dalam domain relasi.

Pio-pio wale io, akhirnya berbicara soal sikap sopan dan keramahan kepada tamu atau orang asing. Kami orang Rego menyebut mereka yang disebut tamu atau orang asing dengan sebutan meka (tamu). Bagi kami kategori meka itu berupa, keluarga sendiri yang datang dari jauh, orang-orang yang diundang untuk datang, dan orang asing yang sedang dalam perjalanan dan kebetulan melewati kampung. Kategori pertama dan kedua dengan sendirinya menunjuk kepada mereka yang memang dikenal. Sedangkan kategori ketiga menunjuk kepada orang asing yang memang tidak dikenal. Mereka itulah yang pantas disebut sebagai liyan. Dengan sendirinya, sikap kepada mereka pun mendapatkan tantangannya.

Pio-pio wale io kepada kategori meka yang pertama dan kedua pastinya tidak mendapatkan persoalan apa-apa. Persoalan muncul ketika pio-pio wale io itu dihadapkan dengan mereka yang disebut sebagai orang asing (liyan). Apakah kepada mereka itu, pio-pio wale io dapat diterapkan? Ketika liyan dimaknai sebagai neraka sebagaimana yang digagas oleh Sartre (Bertens 2006: 111) maka pio-pio wale io dengan sendirinya tidak relevan.

Liyan bagi kami orang Rego tidak pernah dimaknai sebagai orang asing yang patut dihindari, ditolak, atau dijauhkan. Liyan bagi kami malah dimaknai sebagai saudara-saudari sendiri. Buktinya ialah adanya semangat untuk tiba meka (menerima tamu) entah darimana atau siapapun mereka. Karena identitas mereka sebagai orang asing dan lain sama sekali makan adalah kewajiban bagi kami orang Rego untuk berlaku sopan dan ramah kepada mereka. Dasar dari keyakinan itu ialah kesadaran bahwa hakikat semua manusia juga adalah meka (tamu) dalam dan selama hidupnya.

Tiba meka sebagai wujud dari semangat penerimaan dan pengakuan akan liyan menjadi bukti bahwa pio-pio wale io harus tumbuh dan ada dalam diri setiap orang. Pio-pio wale io terhadap liyan mengingatkan saya akan konsep Emanuel Levinas tentang Yang Lain. Bagi Levinas (Bertens 2006: 320),

Yang Lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan di masa lampau, bukan aku yang lain. Saya tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari “aku”. Dia lain sama sekali. Orang Lain adalah si pendatang, Orang Asing (Bertens 2001: 321).

Sebagai pendatang liyan memiliki hak untuk dihormati dan diakui kehadirannya. Tidak hanya itu. Adalah hak dan kewajiban bagi kami orang Rego untuk memberikan perlindungan, sikap menghargai, dan mengakui kehadiran liyan dalam hidup. Sikap dan pengakuan itulah yang harus menjadi dasar agar kepada liyan pun semangat pio-pio wale io diwujudkan.

Pio-pio wale io sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya mengungkapkan nilai etis orang Rego dalam hakikat relasionalitas manusia. Dengan pio-pio wale io, kami orang Rego menunjukkan bahwa orang lain termasuk liyan berhak untuk dihargai, dihormati, dan diakui keberadaan mereka. Dari hal itulah, semangat untuk mencintai dan dicintai antarmanusia akan bertumbuh dengan suburnya dalam pribadi tiap manusia. Dengan demikian, kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan dalam kehidupan bersama akan tercipta.

Perjumpaan antarmanusia dalam hidup harian tidak bisa tidak melibatkan relasi satu sama lain. Relasi itu tidak mungkin terwujud jika tidak ada rasa menghormati dan menghargai satu sama lain. Penghargaan dan penghormatan akan sesama menjadi syarat dasar agar setiap orang dapat menjalin relasi satu sama lain. Dan kami menyebutnya, pio-pio wale io.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    B. A, Petrus Janggur, 2011. Butir-Butir Adat Manggarai, Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.

    Bertens, K, 2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jilid II), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

    Pandor, Pius, 2014. Seni Merawat Jiwa. Tinjauan filosofis, Jakarta: Obor.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi-Mencintai. Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Barong Wae (Bahasa Manggarai: Upacara untuk mengundang “roh” penjaga air)  Oke Copel/ Oke Dara Ta’a (Bahasa Manggarai: Membuang sial, memutuskan nasib sial)  Torok (Bahasa Manggarai:Ungkapan; tutur bahasa; cara berkata puitis) 

    Oleh :
    Gregorius Kurniawan ()