Oke Copel/ Oke Dara Ta’a (Bahasa Manggarai: Membuang sial, memutuskan nasib sial)
Oke copel merupakan sebuah ritus, bilamana orang manggarai mengalami atau berada dalam situasi ketakberuntungan atau nasib sial. Upacara ini dimaksudkan untuk menghapus dara taa atau nasib sial yang dialami oleh seseorang atau sebuah keluarga. Budaya oke copel hanya merupakan salah satu adat Manggarai, masih ada adat lain seperti upacara kaba oke jurak atau pana mata leso, yang bermaksud untuk memohon belas kasihan Tuhan atas kesalahan yang dilakukan seluruh masyarakat. Biasanya bermula dari persoalan seperti bencana kelaparan yang melanda seluruh masyarakat dalam satu kampunag yang dipercayai sebagai kutukan dari Tuhan (Janggur, 2008: 18-43).
Ritual oke copel dilaksanakan dilaksanakan oleh karena ada kenyataan, seperti bencana, kematian yang tidak dikehendaki (ditabrak, jatuh dari pohom, tenggelam dalam air dll). Kejadian-kejadian semacam ini disebut dara ta’a atau copel. Dengan demikian, Oke copel adalah cara orang Manggarai untuk menghindari atau memutuskan rantai kematian yang disebabkan oleh apa yang disebut dara ta’a. Dara ta’a atau copel ini dianggap kharma atau kutukan yang menyebabkan kematian tak terduga atau kematian tak wajar, seperti yang disebutkan di atas. Kematian demikian dianggap merengut kebahagian manusia yang adalah impian dan cita-cita semua orang. Maka, oke copel merupakan upacara adat dengan tujuan agar kematian yang tak wajar itu tidak terjadi lagi. Dengan demikian, orang bisa menjalankan hidupnya dengan wajar tanpa dihantui ancaman dara ta’a dan bias berziarah mengejar kebahagiaan hidupnya.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang diimpikan oleh semua orang. Siapa pun manusia di dunia ini pasti merindukan kebahagiaan. Kebahagian bisa dikatakan, itu yang diperjuangkan oleh semua manusia. Siapa manusia yang dalam hidupnya menginginknan penderitaan atau kematian? Tujuan hidup manusia adalah untuk menemukan dan mengalami kebahagiaan. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah kesempurnaan hidup manusia. Namun, tidak semua pengejaran atau perziarahan manusia dalam menemukan kebahagiaan itu berjalan mulus tanpa rintangan. Ia pasti selalu berbenturan dengan kenyataan akan kegagalan bahkan kematian yang meninggalkan duka yang mendalam. Inilah yang disebut Jasper, seorang filosof Jerman, sebagai “situasi-situasi batas manusia” (Jasper,1989:13-15), yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan” (bdk. Pandor, 2014: 211) .
“Menurut Jasper, kematian merupakan sesuatu yang mengerikan sekaligus peluang untuk manusia. Mengapa kematian itu sebagai peluang? Karena kematian dilihat sebagai kesempatan untuk berbenah diri, di mana ia menyadari eksistensinya sebagai mahkluk yang rapuh. Bahwasannya kematian adalah sesuatu yang meng-atasi ekasistensi manusia. Manusia tidak bisa menghalangi kematian. Semua manusia pada akhirnya harus mati. Kenyatan ini adalah kenyataan yang sulit dipahami manusia karena kematian adalah sesuatu yang sifatnya transenden” (Ibid., 212). Pemahaman Jasper ini sejajar dengan pemahaman orang manggarai yang melihat hidup manusia hanya sebagai mose dokong (hidup sementara). Hidup yang sebenarnya hanya one lime de Morin (hanya dalam tangan Tuhan). Kematian dengan demikian adalah kenyatann yang harus diterima sebagai wintuk de morin (kehendak Tuhan).
“ Kenyataan kedua menurut Jasper, adalah kematian sebagai sesuatu yang mengerikan. Mengapa? Karena kematian itu meninggalkan duka yang mendalam. Ia mengancam dan membuat manusia mengalami keretakan eksistensial. Artinya manusia harus terpisah dari sesamanya yang telah lama berada bersamanya dan hal-hal lainnya yang turut membetuk hidupnya” ( Ibid.). Gagasan Jasper ini hendak mengatakan, bahwa manusia pada satu sisi, ketika berhadapan dengan kematian dalam dirinya sudah ada penolakan terhadap kenyataan kematian, entah karena alasan belum siap menghadapinya atau karena kematian itu tidak pernah didugai. Tidak ada indikasi apa pun tentang seseorang itu akan meninggal dunia. Apakah dalam keadaan seperti itu orang masih mengatakan kebahagiaan. Tentu tidak. Siapa ibu yang berbahagia ketika menyaksikan anak kandungnya meninggal. Kendati pun anak itu nakal atau tidak disukainya, sebagai seorang ibu ia pasti mengalami kesedihan yang mendalam. Karena anak baginya adalah wujud yang kelihatan dari kebahagiaan. Ketika kebahagiaan itu hilang bukan tidak mungkin ia akan mengalami kegalauan dalam hidup. Hidup yang tidak terarah. Orang kemudian mengatakan, “saya gagal” dalam menemukan kebahagiaan. Ungkapan semacam ini merupakan ekspresi dari kesedihan dan duka yang dialaminya. Kesedihan semcam ini akan lebih menjengkelkan ketika kematian adalah sesutau yang tidak pernah diinginkan atau tidak pernah didugai sebelumnya. Misalnya orang yang meninggal karena kecelakaan atau karena perang. Atau mati secara mendadak ketika bekerja, duduk atau berjalan, disambar petir, atau jatuh dari pohon.
Sebgaimana Jasper melihat kematian itu sebagai sesuatu yang mengerikan, maka orang manggarai juga mengatakan hal yang sama. Kenyatan yang seperti ini orang Manggarai menyebutnya dara ta’a. Orang yang dara ta’a biasanya rawan dengan kecelakaan atau bencana. Menurut kepercayaan orang Manggarai dara ta’a ini dapat bersifat genetik. Dalam artian dara ta’a itu akan secara turun temurun dialami. Jika seorang ayah meiliki dara ta’a, maka salah seorang anaknya akan mengalami hal yang sama. Karena itu dara ta’a tidak pernah dinginkan oleh siapa pun. Kematian seperti ini sungguh meninggalkan duka yang mendalam dan membuat orang yang ditinggalkan merasa putus asa dan kehilangan segalanya. Karean itu orang selalu mencari cara untuk bisa menghindari atau memutuskan ikatan dara ta’a itu. Dalam adat istiadat manggarai hal ini dikenal dengan istilah oke copel atau oke dara ta’a.
Upacara oke copel ini merupakan penyilihan terhadap bencana yang disebabkan oleh dara ta’a. Mereka tidak menerima kematian yang demikian. Karena peristiwa kematian itu tidak dinginkan dan merupakan sesuatu yang buruk maka, diperlukan manuk miteng (ayam berbulu hitam) sebagai bentuk penyilihan untuk membuang segala kesialan itu agar tidak akan terulang lagi. Istilah untuk acara ini, ‘keti le manuk miteng’. Keti artinya memutuskan rantai dara ta’a yang mengancam kehidupan, agar oke one waes laud, one lesos saled. Menurut keyakinan orang Manggarai jika acara ini diabaikan, maka kecelakaaan atau kejadian semacamnnya yang tidak pernah didugai akan terjadi dari generasi ke generasi. Supaya bencana-bencana tidak terulang, maka para tetua adat melansungkan acara podo (menghantar, membuang) dara’ta’a ke sungai. Namun tidak sekedar podo, melalinkan melalui sebuah acara adat.
Apa yang mau dikatakan dari upacara atau ritual oke copel ini? Sebagai suatu adat budaya, oke copel merupakan unsur yang sangap penting dalam tatanan dan keteraturan budaya Manggarai. Oke copel merupakan suatu prinsip etis dalam kazanah budaya Manggarai yang mengungkan sesuatu tentang kehidupan. Kehidupan (hidup) manusia adalah itu yang harus dijunjung tinggi dan dihargai selayaknya. Betapa penting hidup itu bagi manusia, sehingga tidak boleh siapa dan atau apa pun yang berani mengambilnya dari manusia.
Bibliografi
Janggur. Petrus, 2008. Butir-Butir Adat Manggarai, Bukau 1. Ruteng: Perc. Gracia.
Pandor . Pius, 2014. Seni Merawat Jiwa: Tinjauan Filosofis. Jakarta: Obor.
Hamersma. Harry, 1985. Filsafat Eksistensi Karl Jaspers. PT. Gramedia, Jakarta.
Lihat Juga
Gregorius Kurniawan ()