Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Barong Wae (Bahasa Manggarai: Upacara untuk mengundang “roh” penjaga air)


Barong wae terdiri dari dua kata; barong yang artinya mengundang, memanggil (roh-roh untuk pesta) dan wae adalah air, sumber air. Barong wae berarti mengundang roh (-roh) penjaga air untuk ikut ambil bagian dalam pesta rakyat atau penti (Verheijen, 1967:31). Upacara ini dilaksanakan pada saat menjelang upacara penti atau upacara syukur panen di Manggarai. Air begitu penting bagi orang Manggarai. Air dilihat sebagai sumber kehidupan dan sumber kesuburan bagi tanah pertanian, sehingga ada ritus khusus mengundang “roh” (penjaga) air untuk ikut ambil bagian dalam upacara sykuran. Upacara ini disebut barong wae.

Barong wae merupakan ungkapan kekaguman dan penghormatan yang khusus terhadap air. Kekaguman dan penghormatannya terungkap dalam adat istiadat Manggarai yaitu barong wae. Barong wae merupakan upacara untuk mengundang roh penjaga air agar menghadiri upacara penti (Janggur, 2008:112). Upacara barong wae ini dilaksanakan dengan sangat meriah. Susunan acaranya diatur sedemikian rapi dan teratur. Upacara ini dimulai dengan ranggas sebagai tanda, bahwa upacara akan segera dimulai. Para peserta kemudian berarak dalam barisan menuju wae teku (sumber air). Perarakan ini diiringi dengan lagu dan pukulan gendang yang disebut juga paki tambor. Semua bunyian gendang dan nyanyian baru akan berhenti ketika sampai di wae teku.

Di wae teku ini akan diadakan torok. Tu’a adat memimpin upacara itu dan memulainya dengan menyapa roh yang penjaga air, kemudian mereka dihidangkan dengan sirih dan pinang. Tindakan ini merupakan ungkapan keakraban dan kedekatan dengan roh wae teku. Dilanjutkan dengan menyuguhkan minuman berupa telur yang merupakan tuak. Kemudian roh penjaga wae teku itu dijamu dengan kurban semblihan yaitu seekor ayam. Tetapi sebelumnya diadakan tudak (doa) sebgai berikut:

Denge le meu empo, ho’o de manuk kudut barong wae... Wali di’as lami kamping ite Morin agu Ngaran, ai ite poli teing ami wae bate tekugm ho’o. Tegi kali dami riang koe wae teku ho’o. Dasor mboas kin wae woang, kembus kin wae bate tekugm ho’o. Dasor neka koe Wong le roho agu rove le lus wae tekuho’o. Porong inung wae ho’o wae guna laing latangt weki agu wakar dami. Porong mese bekek kali, mbiang ranga.

Kemudian ayam disembelih, lalu dibakar untuk diambil sebagian hati, usus serta dagingnya untuk dijadikan sesajian. Acara ini ditutup dengan renggas disertai perarakan yang dipimpin oleh tu’a adat atau yang mewakili menuju compang. Maksud dan inti dari upacara ini adalah untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan Sang Pencipta karena telah memberikan sumber/mata air (wae teku) yang dapat memberi kehidupan kepada seluruh masyarakat dan berisikan permohonan agar mata air itu tidak pernah berhenti mengalir (dasor mboas kin wae woang, kembus kin wae bate tekugm ho’o). Dengan demikian, air bagi orang Manggarai adalah berkat dan anugerah dari Tuhan. Ia senantiasa memberi kehidupan bagi orang Manggarai.

Titik berangkat dari kekaguman dan penghormatan orang Manggarai dalam ritual barong wae adalah konsep orang Manggarai tentang air sebagai sumber kehidupan. Konsep air sebagai sumber kehidupan melekat erat dalam kehidupan dan adat istiadat orang Manggarai karena pada umumnya masyarakat Manggarai adalah masyarakat agraris. Air tidak hanya diperuntukan bagi hidup manusia melainkan juga untuk keperluan pertanian. Air menjamin kehidupan manusia dan menjamin berhasil atau tidaknya karya pertanian orang Manggarai. Maka ada ungkapan, “neka poka puar, neka tapa satar (jangan menebang hutan, jangan membakar belukar/alang-alang)”. Artinya sumber air itu dipelihara dan dirawat. Jangan menebang pohon sembarangan, karena hal itu akan menyebabkan bencana kelaparan, banjir dan tanah longsor.

Air adalah penopang hidup manusia. Air tidak sekedar berfungsi untuk memuaskan dahaga manusia ketika mengalami kehausan. Tetapi menurut adat istiadat Manggarai, air juga memberi daya penyembuhan. Selain itu air juga dapat menjadi jalan atau sarana yang dipakai untuk membuang segala nasib sial dan ketakberuntungnan (copel atau dara ta’a) dalam hidup orang Manggarai. Sehingga ada ungkapan, “Kando one ngalors sangged copel, wa’a one waes sangged da’at. Menyadari akan pentingnya peran air dalam hidup orang Manggarai, maka air perlu dihormati melalui upacara barong wae. Dengan itu, kita boleh menimba air kebahagiaan yang terus mengalir dalam hidup ini, sehingga hidup kita semakain sejahtera dan tenang. Air itu identik dengan hidup itu sendiri. Karena semua manusia dan seluruh alam semesta membutuhkan air untuk dapat bertahan hidup.

Kebijaksanaan yang terkandung dalam upacara barong wae, kini disuarakan oleh Paus Fransisiskus dalam ensikliknya, Laudato Si, Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. Gema Laudato Si, sesungguhnya sudah ada dalam adat istiadat Manggarai, terlebih mengenai air sebagi sumber hidup. Dalam ensikliknya, Paus Fransiskus berbicara mengenai air sebagai sumber hidup. “Air minum segar merupakan topik yang paling penting, karena sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan untuk mendukung ekosistem di daratan dan perairan. Sumber-sumber air tawar diperlukan untuk perawatan kesehatan, pertanian, dan industri. Persediaan air dulu relatif stabil, tetapi sekarang di banyak tempat permintaan melebihi pasokan yang berkelanjutan, dengan konsekuensi dramatis untuk jangka pendek dan panjang.” (Paus Fransiskus, 2015:23)

Paus Fransiskus memberi suatu penegasan yang begitu tajam sehubungan dengan pentingnya air bagi kehidupan manusia dan ekosistim alam. Penegasan ini dilatrbelakangi oleh kenyataan bahwa pasokan air semakin berkurang dan tidak semua orang mendapatkan air minum yang bersih (Ibid.). Hal ini disebabkan oleh sikap manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan hidupnya sendiri. Manusia diburu oleh kerakusan dan keegoisan. Persoalan ini mendatangkan petaka dan bencana bagi manusia dan ekosistem alam. Bahkan dikatakan, “Eksploitasi planet sudah melebihi batas maksimal, padahal kita belum memecahkan masalah kemiskinan” (Ibid.). Itu berarti, eksploitasi terhadap alam menyebabkan masalah kemiskinan semakin menumpuk. Hal ini sangat relevan dengan konteks masyarakat Manggarai yang agraris. Air adalah komponen yang paling penting dan utama bagi usaha pertanian mereka.

Gema seruan Paus Fransiskus ini menjadi semacam “alarm” bagi orang Manggarai agar tetap melestarikan budayanya secara khusus upacara barong wae. Melalui upacara ini, kita (orang Manggarai) disadarkan agar tetap menjaga ketersediaan air dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Dengan demikian, upacara barong wae kiranya bukan sekedar upacara adat tahunan, tetapi merupakan cara bersikap terhadap alam, khususnya terhadap sumber air. Cara bersikap itu secara konkrit dapat dilakukan dalam upaya reboisasi.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Janggur. Petrus. 2008. Butir-Butir Adat Manggarai, Bukau 1. Ruteng: Perc. Gracia.

    Paus Fransiskus. 2015. Laudato Si-Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, (terj. P. Martin Harun OFM). Jakarta: Obor.

    Verheijen SVD. Jils J.A. 1967. Kamus Manggarai 1, Manggarai-Indonesia. S’Gravenhage-martinus Nijhoff.


    Lihat Juga

    Oke Copel/ Oke Dara Ta’a (Bahasa Manggarai: Membuang sial, memutuskan nasib sial)  Pio-pio Wale Io (Bahasa Manggarai: Bersikap ramah dan sopan)  Torok (Bahasa Manggarai:Ungkapan; tutur bahasa; cara berkata puitis) 

    Oleh :
    Gregorius Kurniawan ()