
Ruwahan (Tradisi Jawa, Desa Rogbelah, Kecamatan Selo, Boyolali Jawa Tengah: “Berkaitan dengan Silaturahmi”)
Ruwahan berasal dari kata “ruwah” yang merupakan bulan ke tujuh dalam kalender Jawa. Kata “ruwah” memiliki akar kata “arwah”atau roh para leluhur, nenek moyang sehingga muncul pengertian baru, ruwahan sebagai masa untuk mengenang para arwah leluhur yang telah meninggal (Bdk. Murdijati Gardjito dan Lili T. Edwin 2010:97) selain itu tradisi ruwahan/sadranan sebagai ajang silaturahmi antar penduduk desa. Tradisi ini hanya terkenal di daerah Jawa Tengah, secara khusus di daerah Boyolali sedangkan di kota-kota besar budaya ini kurang begitu nampak lagi. Ruwahan dilaksanakan selama kurang lebih 21 hari, dimulai pada tanggal 11 bulan ruwah dan berakhir tanggal 30, satu hari sebelum bulan puasa (bulan ramadhan). Adapun setiap desa mempunyai jadwal yang berbeda, sehingga mereka bisa saling berbalas-balasan satu keluarga/desa dengan yang lain.
Tradisi ruwahan dirayakan oleh sebagian besar penduduk yang berada di sekitar kabupaten Boyolali, namun saya secara khusus akan menuliskan tradisi ruwahan yang terjadi di Desa Rogobelah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Tradisi ruwahan di desa ini dilaksanakan pada tanggal 21 ruwah. Ada beberapa tahap dalam pelaksanan tradisi ini; Pertama bersih desa. Satu minggu sebelum ruwahan masyarakat Desa Rogobelah akan bergotongroyong membersihkan jalan desa yang akan dilewati oleh para tamu. Setiap keluarga biasanya mengirimkan satu wakil untuk mengikuti kerja bakti tersebut. Pada umumnya peserta kerja bakti merupakan laki-laki yang sudah bersunat, remaja atau orangtua. Dalam kerja bakti tidak ada peserta perempuan. Seandainya dalam satu keluarga tidak ada yang laki-laki, maka keluarga tersebut tidak akan mengirimkan wakilnya, masyarakat pun memahami hal tersebut.
Kedua ritual manci (selamatan). Ritual ini dilaksanakan pada tanggal 20 atau 21 bulan ruwah, satu hari menjelang sadranan. Ritual manci merupakan sebuah selamatan sederhana untuk mendoakan para arwah yang telah dipanggil menghadap Tuhan. Ritual ini memerlukan perlengkapan sebagai berikut: dua tumpeng kecil disertai dengan sayur, kerupuk, daging ayam (biasanya paha ayam) ataupun daging sapi, tempe goreng, tahu, senenjong teles (jadah, wajik, jenang), senenjong garing (emprid, renginang), rokok, daun pinang, air puti, kopi, teh, dan sebaginya. Tungku, dan juga kemenyan. Ritual ini dilaksanakan di rumah masing-masing, biasanya di tempat yang khusus/tempat berdoa. Langkah yang dilakukan yaitu, semua perlengkapan yang tertulis di atas dihidangkan sedemikian rupa. Kedua, kepala keluarga atau yang mewakili dengan keadaan bersih (jiwa-raga) memasuki tempat, membakar kemenyan di dalam tunggu yang telah tersedia dan berdoa (membaca mantra) secara khusu bagi para arwah sanak saudara yang telah dipanggil. Isi doa, mohon kebahagian para arwah leluhur supaya dapat beristirahat dengan tenang dalam kerahiman Tuhan. Ritual manci tidak dihadiri oleh siapapun. Konon dalam ritual ini para arwah datang mengunjungi keluarganya.(Bdk. Murdijati Gardjito dan Lili T. Edwin 2010:98)
Ketiga Kenduri.(selamatan) Kenduri hampir sama dengan manci dalam hal tujuan, yakni sama-sama ditujukan bagi para arwah keluarga yang sudah panggil. Perbedaannya, dalam acara kenduri bersifat publik, sedangkan manci bersifat pribadi. Ritual kenduri biasanya dilaksanakan pada tanggal 20 atau 21 bulan ruwah. Mengenai waktu sama dengan ritual manci. Di Desa Rogobelah jumlah penduduknya kurang lebih 70 keluarga. Dalam kegiatan kenduri dibagi menjadi beberapa kelompok, dan kelompok ini sudah paten. Artinya kelompok kenduri pesertanya dari keluarga-keluarga yang sudah ditentukan. Satu kelompok dalam acara kenduri ruwahan terdiri dari sembilan keluarga. Berikut merupakan perlengkapan yang diperlukan dalam kenduri: tumpeng rangsulan disertai golong, sayur, tempe goreng, kerupuk, kedelai, tumpeng yang berjumlah empat buah, ingkong, segelas air putih, kemenyan, tungku, tembakau, daun sirih, dan masih ada tambahan lain.(Bdk. Jajat Burnahudi, 2002:221-223)
Langkah-langkah yang dilakukan dalam kenduri, pertama pihak keluarga akan mempersiapkan segala perlengkapan baik tempat untuk kenduri maupun perlengkapannya. Kedua, pihak keluarga akan mengundang para tetangga (kelompok) untuk datang ke rumahnya. Waktunya biasanya setelah shalat maqrib. Peserta kenduri semuanya laki-laki baik yang sudah bersunat maupun yang belum, namun biasanya kepala keluarga yang datang. Setelah semua undangan datang, pihak keluarga akan membawa semua perlengkapan kenduri ke tempat yang telah disiapkan. Kemudian pihak keluarga akan menyampaikan hajatnya kepada orang yang telah ditunjuk atau sesepuh untuk membacakan mantra/doa. Inti dari kenduri ini ialah untuk mendooakan para arwah yang telah dipanggil. Kenduri ruwahan ini biasanya disebut dengan punggahan yang berarti menaikkan para arwah. Selesai acara kenduri, mereka membagi berkat, artinya segala macam uborampe yang telah dihidangkan tersebut dibagi rata. Keluarga biasanya mendapat satu piring dari nasi dari tumpeng ransulan dan separuh ingkong. Keluarga juga menyediakan air minum, dan setelah itu mereka melanjutkan acara kenduri di tempat keluarga lainnya. Acara kenduri ini bisa memakan waktu hingga tengah malam, karena dalam satu rumah berdurasi sekitar 45 menit.
Ke-empat Sadranan. Acara mencapai puncaknya pada acara sadranan. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 21-22 bulan ruwah. Selama dua hari keluarga membuka pintu lebar-lebar untuk menyambut para tamu yang berasal dari berbagai macam tempat. Jauh hari sebelum sadranan tiba, setiap keluarga sudah mempersiapkan diri untuk menyambut para tamu dengan cara belanja makan ringan serta lauk pauk yang akan digunakan untuk menjamu tamu. (Bdk. Murdijati Gardjito dan Lili T. Edwin 2010:98). Mereka juga membersihkan lingkungan rumah serta menyiapkan tempat. Tempat ini berada dalam rumah, biasanya dibagi menjadi dua tempat, satu tempat lesehan untuk menaruh makanan ringan dan satu tempat untuk tempat makan. Para tamu biasanya berdatangan sekitar pukul 08.00. Mereka pada umumnya laki-laki, ada pula perempuan namun hal itu sangat jarang. Para tamu mengatur waktu sedemikian rupa, waktu bertamu berdurasi natara 5-10 menit, tergantung pada jumlah rumah yang dituju. Yang dilakukan keluarga ialah menyambut tamu, mempersilahkan tamu untuk makan dan minum, sedangkan yang dilakukan tamu, bercerita jikalau memungkinkan, makan dan minum secukupnya, dan akhirnya berpamitan.
Ritual Sadranan menekankan dua hal, hubungan antara manusia dengan para arwah leluhur dan hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan para leluhur terlihat jelas melului ritual kenduri dan manci. Kedua ritual itu ditujukan untuk mendoakan para leluhur, sekaligus untuk mengenang segala jasa yang telah mereka perbuat. Manusia tidak dapat berbuat banyak bagi para arwah leluhur, selain mengenang serta mendoakan. Kedua hubungan manusia dan sesamanya. Paul Ricoer mengatakan bahwa manusia di dunia ini tidak pernah bisa lepas dari orang lain (Bdk. Armada, Marcelius, Paulus (eds) 2011:123). Dapat dikatakan bahwa manusia selama masih hidup di dunia membutuhkan orang lain. Di tengah-tengah kemajuan jaman yang semakin tak terbendung, dimana kerukunan, kebersamaan, persaudaran luntur namun hal ini tidak terjadi di Desa Rogobelah. Melalui tradisi sadranan mereka membina diri, merajut persaudaraan yang sejati, mereka sadar bahwa manusia membutuhkan manusia lain. Di desa tersebut jarang terjadi konflik antar desa, karena persaudaraan terjalin erat.
Bibliografi
Burnahudin, Jajat, 2002.Ulama Kekuasaan, Jakarta: Mizan Publika.
Gardjito, Murdijati dan Edwin, Lili T, 2010. Serba-serbi Tumpeng, Jakarta: Gramedia.
Riyanto, Armada, Christy, Marcellius Ari, dan Widodo, Punjung Widodo (eds), 2011. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication.
Lihat Juga
Prof. Armada ()