Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Wiwit (Tradisi Jawa, Desa Rogobelah, Kecamatan Selo, Boyolali Jawa Tengah: “Berkaitan dengan Upacara Tanam dan Panen”)


Wiwit berasal dari kata kawitan yang bearti awal atau asal. Tradisi wiwit terkenal bagi masyarakat yang hidup dalam kebudayaan agraris (Mulyana, 2002: 23). Tradisi wiwit berarti memulai. Tradisi ini cukup unik karena melibatkan peran manusia dan yang tidak kelihatan. Peran manusia nampak jelas dalam kegiatan gotong royong, baik pada saat wiwit tandur maupun pada saat wiwit panem. Manusia itu tidak lain ialah sanak saudara, keluarga dan tetangga yang dengan ketulusan mau membantu. Sedangkan yang tidak terlihat ialah Bapa Kawasa dan Ibu Pertiwi, dialah penguasa segala tanaman, yang berkuasa menghidupkan ataupun mematikan, menghasilkan atau menggagalkan panen. Manusia hanya berkuasa berusaha, namun tidak berkuasa untuk menentukan hasilnya.

Berikut merupakan tradisi wiwit yang dilaksanakan masyarakat di Desa Rogobelah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Secara geografis Desa Rogobelah terletak di sebelah timur Gunung Merapi, persis di bawah Gunung Bibi, dan di sebelah selatan Gunung Merbabu. Jarak Desa Rogobelah dengan puncak Gunung Merapi hanya 4 km, sedangkan dengan Gunung Merbabu sekitar 8 km. Jarak dari Kota Boyolali menuju Desa Rogobelah kurang lebih 10 km, dengan jalan yang menanjak. Desa ini merupakan desa terakhir, di atasnya sudah tidak terdapat desa lain. Keadaan geografis yang demikian menandakan bahwa tanah ini sangat subur, namun di satu sisi mau mengatakan pula bahwa di desa ini hubungan antara manusia dan alam masih sangat erat. (bdk. Armada, 2013:28). Masyarakat 100% bekerja sebagai petani, dari hasilnya mereka mampu mencukupi segala kebutuhan. Sepanjang tahun tanah di desa ini tidak pernah kosong/selalu tertanami. Musim hujan ditanami segala jenis sayur mayur, (kubis, kol, sawi, sawi box, buncis, wortel, cabe dan sebagainya) sedangkan pada musim kemarau tanah ditanami tembakau. Desa ini sangat makmur, warga yang hidup dalam kecukupan.

Masyarakat sangat dekat dengan tradisi wiwit. Hal ini dapat dipahami karena dalam waktu satu tahun mereka dapat menanam dan menuai lebih dari lima kali. Upacara wiwit seringkali hanya diidentikkan/dimengerti dengan upacara panen (Bdk. Mulyana, 2002:23). Namun di desa ini, upacara wiwit dipahami lain, upacara ini dibagi menjadi dua macam. Pertama wiwit tandur dan kedua wiwit panem. Perbedaannya, wiwit tandur merupakan sebuah upacara yang dilaksakanan pada saat petani akan memulai tanam. Sedangkan upacara wiwit panen merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan pada saat pesta panen. Selain perbedaan pengertian, kedua hal tersebut berbeda pula dalam tata pelaksanaannya. Upacara wiwit tandur biasanya dilaksanakan secara sederhana, sedangkan wiwit panen akan disertai dengan upacara ritual yang cukup lengkap disertai pesta.

Hampir semua jenis tananam yang memerlukan upacara wiwit, namun saya hanya akan menuliskan ritual wiwit tandur dan wiwit panen jagung. Pada saat akan menanam, orang harus mencari hari baik. Adapun kriteria hari baik menurut tradisi Jawa ialah hari yang dalam perhitungan jumlahnya paling sedikit. Berikut saya akan menuliskan nama hari dan nama pasaran dan juga perhitungannya: Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9, dan Minggu 9. Hari pasaran, Wage 4, Kliwon 8, Legi 5, Pahing 9 dan Pon 7.

Dalam perhitungan jawa, setiap hari dan pasaran mempunyai nilai yang tidak sama. Perhitungan jawa dalam waktu satu tahun hanya ada 10 bulan, tiap bulan terdiri dari 35 hari. Hal ini yang membedakan kalender jawa dengan kalender nasional. Berbeda halnya dengan kalender nasional yang dalam satu tahun terdiri dari 12 bulan. Dalam kalender Jawa ada istilah dinten yang terdiri dari tujuh hari, dan pasaran terdiri dari lima hari sebagaimana yang saya tulis di atas. Urutan waktu sebagai berikut. Senin Wage, Selasa Kliwon, Rabu Legi, Kamis Pahing, Jumat Pon, Minggu Wage, demikian seterusnya. Berikut saya akan menuliskan cara menghitungnya. Misalkan Seni Wage. Senin: 4, Wage 4: bila di jumlah : 8. Selasa Wage. Selasa: 3, Wage: 4 bila di jumlah : 7 (bdk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1976:188-189)

Masyarakat Rogobelah/Jawa pada umumnya yang akan mengadakan wiwit tandur akan memilih hari yang jumlah perhitungannya paling sedikit seperti hari Senin Wage atau Selasa Wage. Mengapa mereka memilih hari yang perhitungannya paling sedikit? Mereka berharap dan berkeyakinan bahwa pekerjaannya menanam akan segera cepat selesai. Selain perhitungan jumlah hari, orang jawa juga menggunakan istilah madep pada saat tandur. Madep berati menghadap arah mana pada saat menanam. Hari Senin dan Selasa madep ngalor kulon ( menghadap ke barat utara), hari Rabu dan Kamis madep ngalor (menghadap ke utara), Jumat madep ngetan (menghadap ke timur) dan pada hari Sabtu dan Minggu ngadep kidul (menghadap ke selatan). Pada saat upacara wiwit tandur, benih diserahkan kepada Bapa kawasa dan Ibu Pertiwi yang mempunyai kuasa untuk mematikan atau menghidupkan benih dengan cara berdoa/(bila orang kejawen membaca mantra). Setelah itu pemilik tanah akan melubangi tanah, menabur benih jagung, kemudian baru dilanjutkan orang orang-orang yang membantunya.

Upacara wiwit tandur setiap daerah berbeda. Di beberapa tempat upacara ini dilakukan dengan cukup meriah, ada pula yang dengan cara ritual. Seperti yang terjadi di Yogyakarta, sebelum menyebarkan benih ke ladang, ada upacara sesaji yang bernama jenang katol. Setelah menyebar benih, mereka juga mengadakan acara selamatan di rumah mereka yang berujud nasi wuduk dan ingkung ayam. (Bdk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976:53-54). Demikian pula yang terjadi di Kulon Progo, sebelum menanam mereka mengadakan upacara yang berujud nasi tumpeng robyong. Upacara ini diadakan di sawah yang akan di tanami. Penulis hanya ingin mengatakan bahwa Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata yang berarti setiap daerah ataupun negara mempunyai adat atau kebiasaan masing-masing, tidak seragam.

Menurut tradisi, wiwit tandur terkadang melibatkan banyak orang, tergantung luas atau sempitnya lahan yang akan ditanami serta jumlah keluarga. Bila jumlah dalam keluarga hanya sedikit, sedangkan tanah yang akan ditanami sangat luas, maka pihak keluarga biasanya akan meminta bantuan kepada orang lain. Kebiasaan ini biasanya disebut dengan sambatan. (bdk. Koentjaraningkrat. 2004:57) Pihak keluarga tidak memberi imbalan dapat wujud uang, mereka hanya akan memberi minum serta makanan seadanya. Dan ketika para tetangga lainnya akan mulai wiwit tandur, ataupun panen maka mereka akan bergantian membantu.

Pada saat musim panem tiba, maka mereka akan mengadakan acara wiwit panem. Bila pada saat wiwit tandur mereka memilih perhitungan hari yang paling sedikit, pada saat wiwit panem sebaliknya, mereka akan memilih hari yang perhitungannya paling banyak. Mereka berharap akan memperoleh hasil yang berlipat-lipat. Musim panem jagung biasanya dilaksanakan pada saat menjelang musim panas. Hal ini terjadi karena jagung yang sudah menguning yang akan dipanem harus dijemur di tempat yang panas supaya tidak busuk. Mereka biasanya memanem tanaman pada hari Rabu-Kamis, atau Sabtu MInggu, sedangkan pada hari Senin, Selasa dan Jumat sangat jarang terjadi.

Pada saat menjelang panem masyarakat biasanya akan mengadakan ritual tungguk (sesaji). Adapun uborampe yang diperlukan sebagai berikut: jatah, jenang, gedang raja, rokok, dan dauh sirih. Mereka biasanya juga membakar kemenyan di area perkebunan yang akan dipanen. Intinya dari sesaji ialah bersyukur kepada Tuhan melalui Bapa kawasa dan Ibu Pertiwi. Dahulu mereka menitipkan benih dan sekarang benih tersebut sudah menghasilkan panenam yang berlimpah ruah (Mulyana. 2002:24) pada saat panen ini, keluarga membutuhkan tenaga para kerabat dan tetangga. Biasanya pihak keluarga akan mengundang/meminta tolong kepada mereka. Sebagai buah sukacita, pihak keluarga akan ater-ater (membagi hasil) kepada sanak saudara, tetangga terdekat, secara khusus bagi tetangga yang kurang beruntung dalam hal ekonomi.

Dalam Tradisi wiwit terdapat tiga unsur penting, pertama hubungan manusia terhadap Tuhan yang Maha Esa (bapa kuwasa, Ibu pertiwi). Pada saat mau menanam benih manusia menyerahkan kepada Tuhan dan pada saat panen ia pun bersyukur kepada Tuhan. Kedua hubungan manusia dengan alam, ketika manusia berbuat baik kepada alam, alam pun akan berbuat baik melalui hasil panen yang melimpah. Ketiga hubungan manusia dengan sesama. Dalam upacara wiwit tandur dan panem, manusia membutuhkan sesama. Tidak hidup sendiri, ia butuh orang lain. Kesadaran inilah yang menyadarkan manusia akan hakekatnya sebagai makluk individu namun juga sebagai makluk sosial.

Paus Fransiskus menekankan bahwa ekologi lingkungan, ekonomi dan sosial saling terhubung. (Paus Fransiskus, 2015:106). Dalam tradisi wiwit saya melihat bahwa hal tersebut sungguh menggema. Kesadaran bahwa masyarakat sebagai makluk sosial terbukti melalui cara bergotong royong pada saat wiwit tandur maupun pada saat wiwit panen. Mereka tidak dibayar namun dengan tulus hati membantu sesama yang sedang membutuhkan. Pihak keluarga berbagi hasil panem kepada sanak saudara juga orang yang berkesusahan pertanda bahwa mereka bertani semata-mata bukan untuk memperkaya diri sendiri, dan yang terakhir tradisi wiwit menandakan bahwa hubungan manusia dengan alam masih sangat dekat.

  • Bibliografi

  • Bibliografi

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Koentjaraningkrat, 2004. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

    Mulyana, 2002. Kejawen Junal Kebudyaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi Yogyakarta.

    Paus Fransiskus. 2015. Laodato Sii. Jakarta:Obor

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.


    Oleh :
    Prof. Armada ()