
Asok tukon ( Tradisi Jawa, Desa Rogobelah, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah: “Tali Pengikat Sebelum Perkawinan”)
Asok tukon atau Pasok Tukon merupakan sebuah tradisi khas Jawa terutama yang berada di sekitar Jawa Tengah dan Jogjakarta. Asok berarti membayar, sadangkan tukon berarti pembelian. Dengan demikian kata asok tukon dapat diartikan membayar pembelian. Asok tukon mengindikasikan terjadinya transaksi jual beli. Asumsi tersebut memang benar, kendati demikian bukan transaksi seperti pembelian sepeda mator, mobil, rumah, lemari es, sapi, kambing dan sebagainnya.
Asok Tukon merupakan tradisi Jawa yang sudah terjadi secara turun temurun. Penulis yakin bahwa tradisi ini bukan hanya terjadi di Jawa, namun juga terjadi di tempat lain seperti bellis di Flores dan lain sebagainya. Perbedaannya hanya terletak pada nama. Asuk tukon dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan setelah proses lamaran yang definitif. Wujud asok tukon biasanya uang dan barang-barang khusus. Adapun besarnya uang sesuai dengan kemampuan pihak keluarga laki-laki ataupun kesepakatan bersama (Imam Budhi Santosa. IKAPI: hlm 123)
Berikut saya akan menuliskan upacara asok tukon atau yang sering disebut pula paningsetan yang dilaksanakan di Desa Rogobelah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Secara geografis Desa Rogobelah terletak di sebelah timur Gunung Merapi, persis di bawah gunung Bibi, dan di sebelah selatan Gunung Merbabu. Jarak Desa Rogobelah dengan puncak Gunung Merapi hanya 4 km, sedangkan dengan gunung Merbabu sekitar 8 km. Jarak dari Kota Boyolali menuju Desa Rogobelah kurang lebih 10 km, dengan jalan yang menanjak dan di atas desa ini sudah tidak terdapat desa lain lagi.
Di desa tersebut, Asok tukon berbeda dengan mas kawin. Mas kawin diberikan kepada pengantin perempuan pada saat jalannya upacara perkawinan. Mas kawin dalam perkawinan merupakan sesuatu yang pasti dilakukan, sedangkan asok tukon biasanya diberikan setelah proses lamaran yang definitif. Terdapat kesan bahwa seolah-olah wanita Jawa menjadi barang dagangan, karena semacam diperjualbelikan. Kebenarannya tidaklah demikian, karena dalam proses asok tukon tidak terjadi tawar-menawar sebagaimana yang terjadi dalam sistem perdagangan. Dalam tradisi asok tukon yang terjadi ialah keiklasan hati. Pihak keluarga perempuan tidak menuntut besarnya nominal. Biasanya kalau kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan sudah saling mencintai, dan cocok dalam perhitungan Jawa ( Bdk Pendidikan dan Kebudayaan. Hlmn:187-190) maka asok tukon hanya sebagai ritual yang harus dijalankan. Fakta banyak keluarga yang tidak mampu secara materiil hanya memberi asok tukon secukupnya.
Asok tukon, atau paningsetan biasa juga disebut ambundeli. Acara ini dilaksanakan setelah proses lamaran. Pada saat proses lamaran sifatnya masih tertutup dan rahasia, hanya pihak-pihak tertentu saja yang mengetahuinya. Hal ini terjadi karena belum tentu pihak perempuan yang akan dipinang mau menerima lamaran dari pihak keluarga laki-laki. Seandainya pihak perempuan menolak lamaran pihak laki-laki dan hal itu diketahui banyak orang makan akan menjadi hal yang saru (memalukan). Maka dari itu prosesi lamaran lebih bersifat tertutup.
Upacara Asok tukon dimulai dengan mencari hari yang baik menurut perhitungan jawa. Banyak yang terlibat dalam acara asok tukon antara lain kedua belah pihak calon besan, sanak saudara dan para tetangga. Biasanya pihak yang mempunyai hajat akan meminta kepada sanak saudara terdekat dan juga para tetangga terdekat untuk membantu menyiapkan acara tersebut. Acara ini dalam bahasa Jawa disebut dengan rewang. Perewang laki-laki akan menyiapkan peralatan berat, bersihkan tempat acara, memasang sound sistem, meminjam peralatan makan dan sebagainya. Jumlah orang yang rewang tergantung besar kecilnya acara asok tukon. Para ibu menyiapkan segala jenis masakan baik yang akan digunakan pada saat menjamu undangan ataupun untuk makan mereka sendiri. Mereka juga memasak masakan untuk acara kenduri.
Biasanya acara asok tukon dilaksanakan pada malam hari. Dari pihak keluarga laki-laki ia akan mengundang para tetangga laki-laki mulai dari remaja hingga tua untuk menjadi saksi acara asok tukon. Biasanya mereka datang, lalu tuan rumah menjamu mereka dengan makan ringan. Sembari makan, pihak keluarga atau yang mewakili menyampaikan kata pengantar dan maksud dari undangan tersebut. Setelah makan bersama dilanjuttkan dengan acara inti yaitu kenduri. Inti dari kenduri ialah memohon kelancaran untuk acara asuk tukon.
Setelah acara kenduri, tibalah saatnya perarakan menuju rumah pihak perempuan. Biasanya pihak laki-laki akan ditemani oleh orang tua laki-laki dan pemuda-pemuda yang telah ditunjuk. Di rumah keluarga perempuan sudah terdapat banyak tamu undangan. Sesampai di rumah pihak perempuan terjadilah serah terima asuk tukon. Acara asuk tukon menjadi sebuah acara yang cukup penting sebelum acara lamaran. Jarak antara asuk tukon dan lamaran tergantung kesepakatan keluarga. Ada yang cepat, namun ada pula yang lambat. Tergantung kesepakatan bersama. Dengan upacara asok tukon maka antara si gadis dan pemuda telah berada dalam ikatan yang kuat. Seandainya terjadi persetubuhan yang mengakibatkan kehamilan tidak akan menjadi masalah bagi desa. Hal ini terjadi karena mereka sudah ada dalam satu ikatan sebelum ke jenjang perkawinan.
Asuk tukon bukan menjadi jaminan bahwa kedua calon mempelai tersebut akan sampai ke jenjang perkawinan. Misalkan dalam perjalanan waktu, salah satu dari pasangan mengalami ketidakcocokan, atau pihak perempuan selingkuh maka uang asuk tukon yang telah diberikan dapat dikembalikan (Bdk Pendidikan dan Kebudayaan:1976:193) Pihak perempuan wajib mengembalikan dan pihak laki-laki mempunyai hal untuk menerima kembali.
Acara asuk tukon mempunyai makna yang mendalam bagi masyarakat jawa. Acara ini mau menyadarkan bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan ialah sama. Asuk tukon juga sebagai bentuk penghormatan kepada pihak perempuan. Kenyataan ini bertolak belakang dengan apa yang dirasakan oleh Beauvoir. Ia berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sangat berbeda baik dari segi fisik maupun status sosialnya di tengah-tengah masyarakat. (Bdk. Armada, Marcelius, Paulus (eds) 2011:123). Kenyataan yang terjadi bagi perempuan Jawa secara khusus di daerah Rogobelah tidaklah demikian. Wanita sangat dihormati oleh kaum adam. Laki-laki akan berpikir berulangkali untuk melamar perempuan, ia harus memikirkan sandang, papan, dan pangan. Besarnya nilai rupiah dalam acara asok tukon juga menjadi perhitungan bagi piihak laki-laki yang akan melamar perempuan.
Bibliografi
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1977. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta.
Imam Budhi Santoso, 2013. Manusia Jawa mencari Keheningan Sejati. Yogyakarta: IKAPI.
Riyanto, Armada, Christy, Marcellius Ari, dan Widodo, Punjung Widodo (eds), 2011. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication.
Lihat Juga
Prof. Armada ()