
Panombahion, Uhum Pupu dohot Toto ( Bahasa Batak Toba, Dolok Sanggul, SUMUT: “Tata cara tentang mengelola sawah atau ladang”)
Pada umumnya, orang batak sangat menjunjung tinggi hukum atau aturan. Segala sesuatu dalam perjalanan kehidupan orang batak selalu dikaitkan atau dilakukan dengan uhum atau aturan-aturan yang dalam melakukan sesuatu (bdk. Bungaran: 2015.144). Hal ini dilakukan tentu bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk menjaga keberlangsungan hidup yang saling menghargai dan saling menghormati.
Pada zaman dahulu di daerah Dolok Sanggul di kenal uhum panombahion (hukum pembukaan hutan) yaitu aturan tentang pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sebelum melakukan pembukaan hutan, biasanya orang yang ingin membuka atau mengelola hutan telah mendapat mimpi. Dalam hal ini pembukaan hutan itu selalu dihubungkan dengan arti baik atau buruk si pembuka hutan. Bila mimpinya itu baik maka kegiatan pembukaan hutan lebih lanjut akan dilakukan dengan pembersihan dan pengerjaan. Sebaliknya, jika mimpinya itu buruk maka pembersihan lebih lanjut dihentikan, walau dia sudah memberi tanda di hutan tersebut berupa pembersihan secara dipupu atau ditoto (membabat sedikit sekitar tanah hutan) di sekeliling tanah yang akan dikerjakan.
Di daerah Dolok Sanggul ini, dipupu atau ditoto pada suatu hutan merupakan pertanda dan pengingat bagi orang lain, bahwa tanah hutan itu sudah ada orang tertentu yang berencana mengambil dan mengerjakannya. Dalam hal ini uhum pupu dan toto ini tetap dihormati. Berbeda dengan hukum tentang pangarimbaion, yaitu seseorang yang mengusahai tanah yang sudah lama ditinggal oleh pemiliknya dan perlahan menjadi seperti hutan. Tanah itu dinamakan dengan dengan tanah yang sudah tarulang atau terlantar, atau ditelantarkan oleh pemiliknya yang semula.
Ada beberapa jenis pangarimbaon, antara lain rimba oma yaitu tanah yang telah ditelantarkan boleh dikerjakan oleh orang lain selama dua belas tahun, rimba arung yaitu tanah yang ditelantarkan yang boleh dikerjakan orang lain selama delapan belas tahun lamanya. Artinya selalu ada aturan tertentu dalam kurun waktu berapa tahun tanah itu boleh dikerjakan oleh orang baru yang berstatus pangarimba. Kemudian setelah itu, tanah harus dikembalikan kepada pemilik yang pertama.
Jenis aturan mangarimba gadu-gadu yang dijadikan sawah, dapat diusahakan oleh orang lain selama dua belas tahun (bdk. Bungaran: 2015.145) . Apabila masih ada tanah yang ditelantarkan di sekitar tanah yang akan dikerjakan itu, maka orang yang ingin mangarimba dapat memperluas area rimbanya dengan cara melempar segumpal tanah ke sekitar tanah yang ditelantarkan. Setelah melempar segumpal tanah dari tempat pertama, maka orang yang ingin mangarimba dapat mencari dimana tanah yang dilempar itu jatuh. Letak jatuhnya tanah lemparan itu menjadi batas sejauh mana ia harus mangarimba. Cara seperti ini dinamakan dengan mangarimba gadu-gadu.
Selain aturan di atas orang Batak juga mempunyai hukum dan aturan tenang perbatasan sawah. Pemilik sawah atau tanah yang bertetangga harus membuat taluktuk (batas sawah atau patok). Pembuatan taluktuk tidak hanya sederhana dan biasa. Tetapi ada hukumnya, seperti sumpah, supaya batas tidak boleh bergeser atau berpindah. Menurut J.C. Vergouwen (2004:393) pada zaman dahulu tanda batas sawah dibuat dari potongan kayu atau bambu yang ditancapkan. Jika untuk batas ladang atau tegalan maka tanda batas dibuat dengan meletakkan batu sebagai batas.
Pada saat membuat tanda batas itu, masing-masing pemilik akan bersumpah bahwa mereka tidak akan memindahkan tanda batas itu. Bila terjadi sikap saling mencurigai maka mereka akan diminta untuk bersumpah oleh tetua kampung. Nama sumpahnya pada zaman dahulu dinamakan dengan sumpah batangi ni apus. Bila para tersangka berani bersumpah dengan sumpah tersebut maka selesailah perkara. Bila pertikaian terjadi karena curiga atas tanda batas ladang atau tegalan yang berupa batu dan mengalami pergeseran, maka mereka akan diminta sumpah lubang hinalu ( lubang yang digali). Jika saling tuduh pergeseran tanda batas itu terjadi diantara kedua belah pihak, maka keduanya bersumpah sesuai dengan jenis sumpahnya masing-masing.
Di kalangan orang Batak Toba khususnya daerah Dolok Sanggul, dikenal juga soal dondon atau dipadondonhon (sewa-menyewa tanah). Lebih tepatnya dinamakan pemindahan penguasaan tanah dengan sistem gade (gadai). Tetapi hukum adat batak diatur sedemikian rupa bahwa penjualan tetap atau pate tidak dikenal. Artinya menjual tanah secara permanen tidak pernah dilakukan. Makna dari hukum dan aturan ini tampak jelas tidak pernah terjadi perpindahan kepemilikan tanah secara permanen dengan cara jual beli di kalangan orang Batak. Hal ini terjadi karena suatu hari jika si pemilik ingin mengerjakan tanahnya, maka dia berhak meminta kembali tanahnya dengan mengembalikan uang yang pernah diterimanya sebagai jual beli yang tidak permanen.
Lihat Juga
Jimson Sigalingging ()