Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Marripe-ripe (Bahasa Batak Toba, Siborongborong, Sumatera Utara: “Tentang kepemilikan bersama”)


Pemilikan bersama atas suatu benda masih terdapat di kalangan orang Batak, khususnya orang Batak Toba yang tinggal di daerah Siborong-borong. Pemilikan bersama atas suatu barang ini menjadi suatu bentuk yang saling mengikat antara yang satu dengan yang lainnya. J. C. Vergouwen (2004:434) mengatakan bahwa dulu bentuk pemilikan ini mestinya lebih umum dari pada sekarang. Pemilikan bersama timbul dari keinginan agar barang yang diwarisi tetap tidak terbagi-bagi, atau dari kehendak yang sadar untuk mengadakan perjanjian pemilikan bersama. Dalam kasus pertama, menjadi milik bersama diantara orang-orang yang diikat oleh tali kekerabatan. Dalam kasus kedua, orang yang terpisah-pisah secara sukarela saling mengikat diri serta ahli waris mereka yang sah. Dalam hal ini semua harta dan kekayaan dan tanah dapat dimiliki secara bersama.

Jika yang menjadi tujuan utama dari pemilikan bersama adalah manfaat yag besar dapat diambil oleh masing-masing pemilik peserta (na marripe-ripe) dari benda tersebut, dengan cara memakaikannya secara bergiliran maka pemilikan bersama itu disebut ripe-ripean. Tetapi, jika semua pemilik peserta mendapat keuntungan dengan kadar yang sama dan pada waktu yang sama maka istilah yang lebih tepat untuk kasus ini ialah hatopan atau hadosan. Jadi, jika pemilikan bersama itu berupa seekor kerbau atau katakanlah sebuah rumah maka hal itu disebut dengan ripe-ripean, sedangkan jika pemilikan bersama itu berupa kampung atau saluran irigasi maka akan disebut dengan hatopan. Namun dalam hal ini, batas-batas penggunaan kata itu tidaklah selalu kaku. Adapun bagian seseorang dalam pemilikan bersama dinamakan dengan ripean.

Alasan mengadakan persetujuan pemilikan bersama pada umumnya adalah hubungan persahabatan tertentu, pemilikan bersama dapat menjadi sarana bagi seseorang untuk mendapat sebagian dari kesejahteraan seorang teman (mambuat tua ni donganna), dan karena orang melihat pemilikan bersama itu sebagai sarana untuk saling berbagi dan mengambil tuah masing-masing maka ia pun tidak sekedar bersifat ekonomis. Alasan seperti ini tampak jelas, terutama dalam hal ternak yang berkembangbiak di tangan seseorang yang tampaknya sudah ditakdirkan untuk makmur selama jangka waktu pemilikan bersama. Dalam hal ini, orang lain tidak dapat membeli sebagian dari lembu atau kerbau yang ada di pekan, karena bagian seperti itu tidak dianggap sebagai barang dagangan umum.

Kebanyakan dari pemilikan bersama biasanya timbul sebagai akibat dari perkawinan, ketika bagian ternak diberikan dalam penyelesaian pembayaran perkawinan, dan sebagai akibat pemberian antara keluarga dan sahabat. Oleh karena itu, kesediaan untuk saling berhubungan diantara para pemilik perserta tentunya diwarnai oleh rasa persahabatan dan keinginan untuk menjauhkan diri dari tindakan yang dapat membahayakannya (bdk. Bungaran: 2015.133). Misalnya, jika ada suatu perselisihan mengenai pemilikan bersama, orang akan berusaha agar perselisihan jangan sampai menjurus pada suatu titik dimana sumpah menjadi kata pemutus. Dalam hal ternak, para pemilik peserta akan saling bertukar pemberian jika ada anak ternak lahir.

Dalam J.C. Vergouwen (2004:436) mengatakan sebuah ketentuan yang terdapat secara umum pada semua bentuk pemilikan bersama tertuang dalam peribahasa:

Ugasan ripe-ripe ndang tarbahen panghimpalan”

(benda yang menjadi milik bersama tidak boleh dijadikan milik sendiri)

Peribahasa ini tentu memiliki arti praktis, terutama jika kita mengingat bahwa di dalam kelompok kerabat yang kecil tidaklah selalu jelas apa yang termasuk ke dalam milik perseorangan dan apa yang dimiliki secara bersama. Jika ada orang yang dengan diam-diam menjadikan milik bersama sebagai milik pribadi maka dia akan dituduh sebagai siago ripe-ripe (perampas barang milik bersama). Ini merupakan tuduhan berat, karena pemilikan bersama masih tetap merupakan unsur utama dalam lembaga peradilan Batak.

Setiap pemilik peserta mempunyai hak untuk mengambil alih barang yang bersangkutan (manantan), jika salah seorang pemilik peserta lainnya ingin melepaskan bagiannya. Bagian semacam ini harus ditawarkan, pertama-tama, kepada pemilik peserta lainnya (diandehon). Jadi, jika suatu barang hanya dimiliki oleh dua orang secara bersama maka satu diantaranya menjadi pemilik tunggal. Tanpa sepengetahuannya, seorang pemilik peserta dapat mencegah (mangambati), pengalihan yang sudah terjadi atas sebagian barang kepada orang lain. Hal ini mutlak. Tetapi hak atas penawaran pertama hanya berlaku dalam hal seorang pemilik peserta mau menjual bagiannya. Dalam hal ini hak itu tidak dapat diberlakukan jika pemilik peserta ingin memberikan bagiannya sebagai bagian dari suatu pembayaran perkawinan yang harus ditunaikannya, atau jika bagian itu harus dilepaskan kepada pihak ketiga karena suatu alasan yang ditetapkan di dalam adat, misalnya dalam kasus utang adat.

Tanggungjawab atas barang milik bersama berada di pundak semua pemilik peserta, kecuali jika kerusakan terhadap barang atau hilangnya barang merupakan akibat atau ulah salah seorang diantara mereka. Seandainya barang milik bersama mengalami kerugian, misalnya panen dirusak ternak dan jika sebuah rumah terbakar dan rumah sebelahnya ikut pula terbakar, maka yang pertama-tama harus dipersoalkan ialah siapa yang mengelola barang pada waktu itu. Jika pengelola dapat dibuktikan tidak bersalah, maka akibatnya akan dipikul bersama oleh semua rekan, dan tidak lagi semata-mata hanya urusan si pengelola.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Simanjuntak, Antonius B. Karakter Batak. Jakarta: Obor, 2015.

    Sinaga, Richard. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Medan: Dian Utama, 1998.

    Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: Lkis, 2004.


    Lihat Juga

    Marsiadapari (bahasa Batak Toba, Siborong-borong, Sumatera Utara: “Tradisi Gotong Royong dalam masyarakat Batak Toba”)  Pasae Tujung (Bahasa Batak Toba, Humbang, Sumatera Utara: “Ritual pelepasan kain kabung dari seorang Istri yang ditinggal oleh Suami”)  Panombahion, Uhum Pupu dohot Toto ( Bahasa Batak Toba, Dolok Sanggul, SUMUT: “Tata cara tentang mengelola sawah atau ladang”) 

    Oleh :
    Jimson Sigalingging ()