Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Pasae Tujung (Bahasa Batak Toba, Humbang, Sumatera Utara: “Ritual pelepasan kain kabung dari seorang Istri yang ditinggal oleh Suami”)


Di wilayah Humbang, tepatnya di Bakara, sekitar 120 KM dari kota Medan hiduplah suku batak Toba. Desa ini memiliki pemandangan yang sangat indah karena berada di pesisir danau Toba. Di wilayah ini masyarakat masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang. Di tempat ini juga masih dikenal salah sebuah ritual yang sudah banyak ditinggalkan masyarakat Batak Toba dewasa ini. Salah satu ritual yang masih dipertahankan di tempat ini yaitu ritual pasae tujung. Ritual ini menjadi begitu asing saat ini, karena kabanyakan orang sudah mengabaikan adat istiadat yang ada.

Di wilayah ini apabila seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka si istri wajib mengenakan tujung (pakaian berkabung) yaitu mengenakan pakaian berkabung dengan kepala terikat kain. Setelah mengenakan pakaian kabung maka si istri akan diperkenankan untuk mangandung (meratapi dengan bahasa yang sedih) terutama mengungkapkan secara terbuka dengan ratapan tangis perihal; apakah suaminya meninggal tanpa anak atau telah diberkati dengan keturunan.

J.C. Vergouwen (2004:316) mengatakan selama mengenakan tujung seorang janda tidak akan diperbolehkan meninggalkan rumah duka. Di samping itu juga ia tidak diperbolehkan berhubungan dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya. Pasae tujung (penanggalan pakaian berkabung dari seorang yang ditinggal oleh suaminya) akan dilakukan beberapa waktu setelah suami meninggal. Untuk melakukan itu, para anggota hula-hula (pihak keluarga isteri) harus mendatangi rumah duka dan menyucikan si isteri dengan utte pangir ( jeruk purut) yang di peras kemudian airnya digunakan untuk membersihkan rambut si isteri.

Setelah upacara marpangir (keramas) selesai, maka akan dilakukan mandok hata/umpasa (ungkapan filosofis Batak Toba) “hotang binebebebe hotang pinulos-pulos, unang hamu mandele godang do tudos-tudos”(ungkapan penghiburan untuk orang yang menghadapi penderitaan hidup. (bdk. Hojot Marluga: 2016.91). Setelah ungkapan ini selesai, maka semua yang hadir akan serentak menjawab “ ima tutu” ( seruan menyatakan setuju dan mendukung). Setelah acara dialog peneguhan, maka dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan makanan yang sudah di masak khusus oleh keluarga pihak isteri.

Setelah makan bersama selesai, keluarga akan membicarakan masa depan si isteri yang kini menjadi janda. Namun demikian si janda juga memiliki hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Dalam hal ini jika perempuan yang ditingggal mati suaminya dalam keadaaan mengandung maka apa pun tidak boleh diputuskan sebelum yang dikandungnya itu lahir. Jika ia tidak mengandung maka perempuan janda tidak boleh melalukan perkawinan dalam setahun. Perempuan yang menjanda harus hidup menyendiri selama satu tahun sebelum ia berniat untuk memiliki suami

Dalam mempertimbangkan posisi seorang janda yang pertama-tama harus diperhatikan ialah apakah ada seorang kerabat dekat dari yang meninggal, yang memungkinkan perempuan itu dapat dikawinkan berdasarkan adat. Dalam hal ini hak pertama ada pada adik atau sepupu almarhum. Jika perempuan yang menjanda bersedia untuk melakukan pernikahan sisolhot (kerabat yang sangat dekat), maka hal itu akan dilakukan secara resmi menurut adat dan hukum yang ada. Namun sebelumnya, si Janda harus terlebih dahulu melakukan pengenalan secara lebih dalam tentang pribadi yang ingin dijadikan pasangannya. Mengenali secara lebih dalam disini sangat penting. Mengenali identitas yang lain ingin mengatakan bahwa setiap orang harus memiliki kesadaran akan yang lain. Kesadaran ini memungkinkan seseorang menjadi subyek atas dirinya sendiri sehingga kehendak dan keputusan menjadi milik sendiri. Kesadaran akan subjektivitas ini menjadi syarat untuk melakukan tindakan manusiawi. (Riyanto 2013: 99).

Pada umumnya, bagi perempuan batak tidaklah menyenangkan hidup menjanda di antara orang-orang yang menganggapnya sebagai makhluk yang tidak berguna oleh karena nasib malang yang menimpanya. Namun berbeda dengan saat ini, dimana kekristenan sudah mewarnai seluruh hidup masyarakat batak.

Saat ini, seorang isteri bebas menolak perkawinan setelah menjanda. Seorang perempuan bisa mengemukakan pelbagai alasan untuk bersikap demikian. Mungkin dia lebih suka tinggal bersama anak-anaknya di tempat yang menjadi milik mendiang suami sampai anak-anak dewasa. Mungkin juga ia mempunyai anak tetapi sudah meninggal, atau mungkin juga ia tidak memiliki anak sama sekali dan karena itu lebih suka kembali ke hula-hulanya (kepada saudara-saudaranya).

Apabila seorang perempuan yang menjanda kembali kepada hula-hulanya, pada umunya pihak hula-hulanya tidak begitu suka karena kalau ia diterima berarti mereka harus membayar adat untuk pihak suami yang meninggal. Jika keinginan perempuan yang menjanda itu diindahkan yaitu diterima kembali dalam keluarga parboru(orangtua si gadis dan saudara-saudaranya) maka parboru wajib melakukan penyelesaian yang baik atas hubungan perempuan itu dengan kerabat suaminya yang telah meninggal.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Marluga, Hojot. Ungkapan Filosofis Batak. Bekasi: Halibutongan. 2016.

    Riyanto, Armada. 2013. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius.

    Sinaga, Richard. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Medan: Dian Utama, 1998.

    Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: Lkis, 2004.


    Lihat Juga

    Marsiadapari (bahasa Batak Toba, Siborong-borong, Sumatera Utara: “Tradisi Gotong Royong dalam masyarakat Batak Toba”)  Panombahion, Uhum Pupu dohot Toto ( Bahasa Batak Toba, Dolok Sanggul, SUMUT: “Tata cara tentang mengelola sawah atau ladang”)  Marripe-ripe (Bahasa Batak Toba, Siborongborong, Sumatera Utara: “Tentang kepemilikan bersama”) 

    Oleh :
    Jimson Sigalingging ()