Bugu Kungu Uri Logo (bahasa Bajawa, Ngada, NTT: merupakan ungkapan adat orang Ngada untuk menggambarkan pribadi yang kerja keras)
Bugu Kungu Uri Logo merupakan ungkapan adat orang Ngada untuk menggambarkan pribadi yang kerja keras. Dalam bahasa bajawa kata “bugu” berarti tumpul. Kata “kungu”berarti jari. Secara harafiah arti ini berarti jari yang tumpul. Dalam struktur tubuh manusia jari merupakan bagian tangan paling ujung. Dalam melakukan segala macam pekerjaan fisik, tentu tangan harus terlibat aktif. Dalam hal ini, jari memainkan fungsi yang sangat penting (Roga, 2014: 30). Sedangkan “logo” berarti belakan dan “uri”berarti keadaan kulit yang terbakar oleh panas matahari.Ungkapan “uri logo” di sini berarti belakang yang terbakar oleh panas matahari. Seorang pekerja yang ingin mendapatkan hasil kerja di ladang sacara maksimal adalah orang yang merelahkan seluruh tubuhnya terbakar oleh panasnya sinar matahari. Biasanya belakang atau punggung adalah bagian tubuh yang paling sering terkena panas matahari karena orang sering bekerja di kebun seperti mencangkul dan menyingi rumput dengan cara membungkuk.
Di suatu wilayah di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kota Bajawa, terdapat sebuah pepatah adat “bugu kungu uri logo”, di mana pepatah adat ini menggambarkan pribadi yang bekerja keras walaupun panasnya terik matahari. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu pekejaan pokok masyarakat Ngada adalah beratani dan berternak. Setiap orang Ngada khususnya pria harus memiliki kemampuan atau keterampilan yang cukup untuk mengolah alam meskipun masih dengan cara-cara sederhana seperti menggunakan parang, cangkul, tofa dan lain sebagainya. Ungkapan “bugu kungu uri logo” ini lahir dari dari kebudayaan masyarakat Ngada yang memiliki mata pencaharian utama sebagai petani yang bekerja keras untuk mengolah alam, mengusahakan ladang dan menghasilkan panen yang berlimpah (Roga, 2014: 30).
Pertanian yang didukung dengan keadaan alam yang subur telah membuat masyarakat berpikir bagaimana mereka bisa memperoleh makanan demi mempertahankan kelagsungan hidup seluruh anggota keluarga, sehingga mereka sampai pada satu kesadaran bahwa manusia tidak mungkin bertahan hidup kalau dia tidak bekerja. Kerja yang sesungguhnya menurut pemahaman orang Ngada apabila dilihat dari ungkapan adat ini adalah bekerja samapai jari menjadi tumpul dan belakang atau punggung terpanasnya matahari. Atau dengan sebuah ungkapan pepatah yang lebih lengkap yakni “Ngo sai go bojo, kema sai leza beja, bugu kungu uri logo” untuk mencapai sukses dan kebahagiaan, orang harus bekerja keras, membanting tulang sampai merasa letih, berkebun hingga matahari terbenam (bdk. Dhogo, 2009: 13).
Ungkapan “bugu kungu uri logo” ini terdengar sedikit berlebihan. Namun yang mau ditunjukkan di sini adalah hanya dengan bekerja orang dapat meraih sukses dalam hidup. Hanya dengan kerja keras, orang dapat menikmati hasil yang memuaskan. Hal ini senada dengan apa yang diajarkan oleh Sili orang pertama yang memperkenalkan pesta Reba “ kita da keti ku’a pu’u ngi’i go woka-bati; kita kete- kela wi mula uwi noa su’i”. Makna ungkapan ini ialah kita memanen karena bekerja, kita menyiangi rumput dan mencangkul agar dapat menanam ubi ( Roga, 2014: 32). Uwi (ubi) dalam masyarakat Ngada sering dipakai sebagai salah satu simbol penting dalam ritus su’i uwi pada saat perayaan reba. Dengan demikian, ada alasan bagi seorang pekerja yang tekun melaksanakan upacara syukur panen atau syukuran atas segala hasil kerja dan prestasinya. Ungkapan rasa syukur ini mau menggambarkan tentang pribadi yang bekerja keras yang tidak takut kan segala tantangan dan rintangan yang kan dia hadapi. Bekerja keras harus menjadikan seseorang mandiri bukan hanya dalam bekerja tetapi juga dalam berpikir dan bertindak.
Terlepas dari penjelasan singkat dari “bugu kungu uri logo” di atas. Di sini saya mencoba untuk menarik poin-poin penting sebagai relevansi bagi kehidupan kita di zaman ini.Pertama,orang harus makan dari hasil keringat sendiri. Hal yang pertama ini berkaitan dengan kemandirian. Meskipun orang Ngada hidup dalam perkumpulan berupa woe (suku) yang masih kental dengan semagat kekeluargaan dan kerja sama, tetapi setiap orang tetap dituntut untuk tidak selalu bergantung pada orang lain. Ia harus mampu hidup dan makan dari hasil keringat sendiri. Kedua, refleksi selanjutnya tentang ungkapan pepatah “bugu kungu uri logo” ini adalah menyangkut bagaimana cara menikmati hasil kerja. Sejak dahulu kala, masyarakat Ngada sendiri dalam sistem pertaniannya telah memikirkan cara untuk memperoleh makanan meskipun dalam masa sulit. Dengan harapan agar hasil kerja tersebut tidak hanya dinikmati pada saat itu saja melainkan ia dapat dinikmati pada waktu yang akan datang. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Jhon Locke di mana menurut Lockekerja membuat manusia memiliki alas an natural akan hak milik. Apa yang dihasilkan keringatnya itulah miliknya ( Riyanto, 2013: 121).
Ungkapan “bugu kungu uri logo” ini juga mengajarkan kepada masyarakat Ngada untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Hal ini dikarenakan apabila kita bekerja dengan sungguh-sungguh maka kita akan mempeoleh hasil yang memuaskan. Begitupun sebaliknya apabila dalam melakukan sebuah pekerjaan, kita melaksanakannya dengan setegah hati maka hasil yang diperoleh pun sangat tidak memuaska. Oleh karena itu, ungkapan “bugu kungu uri logo” ini sungguh-sungguh menjadi semacam ungkapan motivasi bagi masyarakat Ngada untuk bekerja keras. Hal ini dikarenakan ungkapan tersebut sangat bertentangan dengan perkembangan zaman ini. Di mana zaman ini menjadikan orang sebagai pribadi yang instan dalam melakukan sesutu hal.
Dunia sekarang lebih dikenal dengan sebutan era digital. Segala sesuatu diperoleh dengan mudah hanya dengan menekan jari pada tombol-tombol tertentu. Di satu sisi perkembangan teknologi telah membantu manusia untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dengan sangat mudah dan tidak perluh membuang banyak waktu dan tenaga. Namun, di sisi yang lain terdapat juga kecemasan. Orang akan mudah terjebak dalam mental instan, mau cari yang gampang-gampang saja. Sehingga hal yang perlu diantisipasi jangan sampai kungu (jari) menjadi bugu (tumpul) bukan karena kerja keras, melainkan karena kecanduan menekan tombol-tombol di handphone dan tablet hanya untuk hal-hal yang tidak selamanya memberi dampak positif. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah logo (belakang) yang bias menjadi uri
kalau orang hanya menghabiskan waktu untuk duduk berlama-lama di depan televisi. Hal inilah yang menjadi kekewatiran terhadap perkembangan zaman ini.
Bibliografi
Dhogo, Cristologus. 2009. Su’i Uwi. Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Fernandes, Stephanus Ozias. 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini. Maumere: STFK Ledalero.
Riyanto, Armada. 2013. Menjadi-Mencintai. Yokyakarta: Penerbit Kanisius.
Roga, Jimmy. 2014. Barina Ledalero :Pata Adha Pata Dela. Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero.
Lihat Juga
Delfinus Dhobu ()