Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Ili Bhou(bahasa Bajawa, Ngada, NTT: menyatakan perkumpulan, persatuan hidup bersama dalam masyarakat)


Ili bhou merupakan ungkapan yang umum sekali dan menyatakan perkumpulan, persatuan hidup bersama masyarakat. Dalam arti demikian, dipakai juga untuk menyatakan berbagai persatuan dan perkumpulan yang berbeda-beda ( Arendt, 2009: 238). Ili bhou merupakan sebuah terminologi yang sering digunakan masyarakat Ngada untuk menggambarkan kesatuan, kebersamaan dalam keluarga besar suku. Di mana semua problem dan persoalan biasa dibicara bersama-sama. Moment yang tepat adalah pada saat semua anggota suku berkumpul (Bhou). Pada saat berkumpul inilah semua peersolan dibicarakan di mana yang memimpin pembicaraan itu adalah mosalaki (kepala suku).

Di suatu wilayah di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kota Bajawa, terdapat sebuah terminologi adat “ ili bhou”. Di mana terminologi ini menjadi tempat yang digunakan oleh orang tua dan juga para ketua adat untuk memberi nasihat kepada semua anggota suku. Biasanya “ili bhou” ini terjadi pada saat upacara reba. Hal ini dapat kita lihat dari terminologi “Ili bhou” itu sendiri. Ili adalah serumpun tunas yang tumbuh dari satu pokok akar yang sama. Misalanya “se ili bheto” ( serumpun bambu), “se ili muku” ( serumpun pisang) dan lain sebagainya. “Ili” mengungkapkan suatu persekutuan yang telah ada dalam keluarga, persekutuan yang lebih dekat. Karena itu, kata ini sering dipakai dalam masyarakat ngada untuk menggambarkan sutu persekutuan atau persatuan.

Ili bhou ini terjani biasanya pada saat perayaan reba. Di mana reba merupakan momen perayaan persatuan. Masing-masing suku kembali kepada rumah adatnya untuk berkumpul (bhou) bersama dan merayakan kebersamaan mereka. (bdk. Dhogo, 2009: 43). Pada saat “ili bhou” dalam upacara reba inilah menjadi momen yang tepat bagi “mosalaki” (kepala suku) untuk menyampaikan nasihat-nasihat atau menceritakan struktur leluhur mereka dalam suku kepada semua anggota suku. Ili bhou ini menjadi sebuah terminologi yang sangat penting bagi masyarakat Ngada. Hal ini dikarenakan terminologi ini mengambarkan persekutuan atau persatuan. Di mana dalam persekutuan atau persatuan tersebut kita dapat berbicara banyak hal untuk kehidupan yang lebi baik di masa yang akan datang. Entah itu berbicara mengenai persolan tanah, perselisihan dalam suku atau pun persolan-persolan yang harus dibicarakan dan menyelesaikan secara bersama-sama dengan cara yang tepat dan baik. Semuanya ini dapat dilakukan apabila semua anggota suku berkumpul ( bhou).Terlepas dari itu, bhou ini juga menggambarkan tentang satu kesatuan.Dalam memecahkan sebuah persolan harus berlandaskan pemikiran kebersamaan(bdk. Ozias, 1990:31).

Menurut hemat saya,” ili bhou” ini menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan diri, memperbaiki diri dan menyatakan maaf satu kepada yang lain. Yang salah akan mendapatkan denda sebagai silih. Dan yang penting pada saat kegiatan “ili bhou” ini adalah kita harus mencarmati atau merenungkan dengan baik ungkapan adat"modhe ne'e soga woe, meku ne'e doa delu" yang artinya berbaik-baiklah dengan sahabat atau teman dan berlemah- lembutlah dengan sesama. Inti atau pesan yang mau disamapaikan dari ungkapan adat ini adalah merupakan ajakan bagi kita untuk hidup dalam kasih dan persaudaran tanpa memandang suku, bahasa, agama dan latar belakang dari mana kita berasal. Hal penting yang harus kita perhatikan dalam hidup bersama jika ditafsirkan dari ungkapan adat “ modhe ne'e soga woe, meku ne'e doa delu" ini adalah bahwa perbedaan bukan menjadi tembok pembatas bagi kita untuk menjalin persaudaran dan persahabatan melainkan kita harus melihat perbedaan itu sebagai jembatan untuk menghubungkan perbedaan-perbedaan tersebut yang pada akhirnya memperkaya diri kita untuk menjalin hubungan persaudaran dan persahabatan dengan orang lain bahkan dengan orang yang kita anggap musuh(Roga, 2014: 77). Ungkapan modhe ne'e soga woe, meku ne'e doa delu" ini harus menjadi dasar bagi kita untuk membangun hidup bersama yang damai.

Kebayakan dalam masyarakat Ngada ili bhou memakai nama leluhur, dan keturunanya memakai nama diri menurut leluhur tersebut. misalnya “ili bhou ema maku” (kumpulan anak bapak maku). Ungkapan “ili bhou” ini secara tidak langsung mau menggambarkan persekutuan atau persatuan dalam keluarga. Di mana dalam keluarga tidak boleh ada permusuhan dan pertentangan dan apabila terjadi permusuhan atau pertentangan maka hal yang harus dilakukan adalah dengan “bhou” (berkumpul) dan menyelesaikan persolan itu secara bersama-sama. Inilah menurut saya poin penting yang dapat kita ambil dari kegiatan “ili bhou”. Kegiatan yang menyatukan kita. Di sanalah kita berusaha untuk menyesuiakan diri dengan orang lain. Kita harus mampu menerima pendapat atau koreksi orang lain terhadap kita. Yang mana semua koreksi tersebut pada umumnya bersifat membangun keperibadian kita agar lebih baik lagi kedepannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Armada Riyanto bahwa setiap manusia diciptakan menurut citra Allah dan ditebus oleh Yesus Kristus. Keluhuran manusia haruslah dihormati dan dijunjung tinggi. Setiap manusia di sini dimaksudkan unruk siapa pun, tidak dibeda-bedakan atas dasar ras, seks, usia, asal-usul, status ekonomi dan kesehatan(Riyanto, 2014: 89). Hal ini mau menggambarkan bahwa kehidupan kita di dunia ini harus dijalani secara bersama-sama. Kita harus mempunyai kepedulian terhadap orang lain dengan cara menegur apabila dia melakukan sesuatu kesalahan. Hal semacam inilah yang hendak dan sering disampaikan dalam kegiatan “ili bhou” ini.

Singkatnya poin penting yang dapat kita ambil dari kegiatan “ili bhou” ini adalah sebagai moment yang tepat untuk merajuk persatuandan persahabatan yang mungkin telah retak karena terjadi perselisihan. Kegiatan “ili bhou” ini menjadi semacam sarana bagi kita untuk bersatu dalam persaudaraan dan persahabatan untuk membangun hidup yang aman dan damai. Aman dan damai kerena diantara kita tidak ada permusuhan dan perselisihan. Aman dan damai karena kita melihat dan menyadari bahwa tujuan kita untuk hidup bukan untuk permusuhan melainkan justru sebaliknya tujuan kita hidup adalah untuk membangun persaudaraan dan persahabatan dengan cara melayani dan menghormani orang lain seperti kita menghormati diri kita sendiri.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Arendt, Paul, 2009. Masyarakat Ngada. Terjemahan. Paul Sabon Nama. Ende: Penerbit Nusa Indah Ende.

    Dhogo, Cristologus. 2009. Su’i Uwi. Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.

    Fernandes, Stephanus Ozias. 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini. Maumere: STFK Ledalero.

    Riyanto, Armada. 2014. Katoliksitas Dialogal. Yokyakarta: Penerbit Kanisius.

    Roga, Jimmy. 2014. Barina Ledalero :Pata Adha Pata Dela. Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero.


    Lihat Juga

    Kolo Setoko Ne’e Aze Setebu( bahasa Bajawa, Ngada, NTT: kebulatan suatu tekad, tidak adanya keterpisahan dan melambangkan persatuan dan kesatuan)  Bugu Kungu Uri Logo (bahasa Bajawa, Ngada, NTT: merupakan ungkapan adat orang Ngada untuk menggambarkan pribadi yang kerja keras)  Ire (bahasa Bajawa, Ngada, NTT: merupakan term khusus yang dipakai untuk larangan melukai tanah) 

    Oleh :
    Delfinus Dhobu ()