
Ire (bahasa Bajawa, Ngada, NTT: merupakan term khusus yang dipakai untuk larangan melukai tanah)
Ire merupakan hari terakhir dari pesta reba di Ngada. Pada hari ini semua orang bajawa tidak diperkenankan untuk masuk ladang mereka dan bekerja. Orang Ngada bekerja dari rutinitas mereka bekerja di ladang. Hal ini dikerenakan pesta rebah selama satu minggu menguras banyak tenaga dan pikiran, maka dibutuhkan satu hari untuk beristirahat. Selain untuk beristirahan menurut kepercayaan Masyarakat Ngada meyakini bahwa jika orang bekerja pada hari “ire” maka hama akan mengikutinya dan memasuki ladangnya (Dhogo, 2009: 43).Terminologi ire ini biasanya dilaksanakan pada hari kesembilaan dalam perayaan reba. Hari di mana masyrakat Ngada berhenti dari aktivitas bekerja di ladang.
Di suatu wilayah di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di kota Bajawa, terdapat sebuah terminologi “ire”. Di mana terminologi ini merupakan salah satu bagian dalam rangkaian perayaan reba. Kata“ire” ini sebenarnya berasala dari kata “pire” yang berarti haram, tabu. terlarang. Dalam pesta reba, ire merupakan term khusus yang dipakai untuk larangan melukai tanah(Dhogo, 2009: 43). Pada masa ire ini tanah disucikan dari hama.Masyarakat Ngada yakin bahwa hama-hama tanaman yang ada di kebun diusir atau melarikan diri karena tanah tidak diolah dan tidak menghasilkan apa yang hama inginkan. Sebab itu adala “pire gore” (amat terlarang) untuk melukai tanah atau mengerjakan kebun.Orang bias ke kebun hanya untuk memberi makanan babi atau ayam, tetapi tidak boleh bekerja.Melukai tanah adalah sutu pelanggaran, sebab orang Ngada khususnya daerah Toda meyakini bahwa jika tanah dilukai pada masa ire tersebut berarti mengundang kembali hama untuk dating dan menetap(bdk. Arendt, 2009: 623).
Larangan ini merupakan salah satu larangan alternatif pembasmian hama yang ramah lingkungan bila digunakan dengan penggunaan zat-zat kimia pengusir hama. Orang Ngada pada umumnya, khususnya orang Toda meyakini bahwa hama tidak akan datang jika larangan tersebut dipatuhi. Tetapi apabila larangan tersebut tidak dipatuhi maka hama akan menyerang tanaman yang kita tanam di lading. Oleh kare hal ini, masyarakat Ngada pada umumnya, khususnya Toda selalu saling memperingati satu sama lain untuk tidak bekerja pada hari yang bersangkutan (ire). Hal inilah yang menjadi kepercayan dari orang Ngada Khusunya toda tentang penting masa ire dalam rangkaian upacara reba. Suatu upacara syukur atas hasil panen. Dan upacara ini biasa dilaksanakan setahun sekali. Umumnya berlangsung mulai dari akhir Desember samapai akhir februari. Perayaan ini menjadi perayaan penuh makana karena semua orang Ngada mengungkapkan rasa syukur mereka atas anugerah kehidupan di tahun yang lalu dan sekaligus memahonkan berkat untuk perjalanan hidup di tahun yang baru(Dhogo, 2009:11 ).Di mana dalam susunan peraya reba tersebut ada masa yang disebut ire. Yang mana merupakan masa di mana melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas pada hari tersebut. Apabila mereka tetap melakukan pekerjaan pada masa ire, maka hama akan menyerang tanaman yang mereka tanam di ladang.
Jauh lebih mendalam, larangan ini juga mengandung arti bahwa tanah yang memberikan hasil yang menghidupkan patut dihargai keberadaannya. Tanah tidak dieksplositas secar terus menerus tanpa henti. Ire juga merupakan tindakan untuk membiarkan bumi mengolah dirinya dan memberikan kesuuburan kepada tanaman. Dengannya tetap tercipta relasi saling menghargai antara manusia dan alam. Kesatuan dengan alam dengannya mampu menjaga keharmonisan atau keselarasan hidup bersama dan dengannya manusia bisa menghindarkan diri dari bahaya yang disebabkan oleh ekspolositas yang berlebihan terhadap alam(bdk. Ozias, 1990: 272). Larangan ini terjadi karena masyarakat Ngada pada saat itu umumnya bekerja sebagai petani dan juga nelayan bagi mereka yang tinggal di pesisir pantai.
Bagi masyarakat Ngada alam adalah ibu dan sekaligus rumah bagi mereka. Hal ini juga sependapat dengan Armada di mana alam adalah ibu yang memiliki segalanya untuk manusia, alam juga merupakan sebuah tata kesempurnaan, keselarasan dan keindahan. Dalam maksud inilah penyatuan diri manusia dengan alam tidak boleh dimaknai secara dangkal, seolah bertentangan dengan ajaran agama atau dogma tertentu. Justru, penyatuan diri manusia dengan alam adalah wujud keluhuran warisan mentalitas itu (Riyanto, 2013:38).Terlepas dari itu, pemahaman masyarakat Ngada kepada alam sebagai ibu dikerenakan alam memberikan kehidupan kepada manusia. Oleh karena ketergantungan terhadap alam inilah maka orang Ngada sangat menghormati alam. Pada masa Ire ini bagi orang Ngada sebagai sebuah masa di mana mengajarkan mereka untuk menghormati dan menghargai alam dengan menjadikan masa ini sebagai masa pemulihan bagi alam itu sendiri. Dalam hal ini pada masa ire ini orang Ngada dilarang untuk bekerja. Hari ini adalah hari istirahat dari segala kegiatan pekerjaan, khususnya pekerjaan yang berhubungan langsung dengan ladang atau kebun.
Larangan untuk bekerja pada masa ire ini merupakan larangan yang bagi orang Ngada adalah suatu hal yang penting karena berkaitan dengan kepercayaan orang Ngada terhadap dampak yang akan terjadi apabila kita bekerja pada masa ire ini. Kepercayaan inilah yang menjadikan orang Ngada takut untuk melakukan pekerjaan pada masa ire.Terlepas dari itu, larangan untuk bekerja ini juga sebagai ungkap sykur terhadap alam yang telah menjadi tempat bagi masyarakat untuk hidup. Muara dari masa ire ini sebenarnya adalah menjaga orang Ngada agar tetap harmoni dengan sesama, alam semesta dan Sang penguasa jagat raya. Kesatuan dengan alam sebagai mikrokosmos sangatlah penting bagi orang Ngada karena tindakan melukai sesama, mencederai yang lain dapat mengundang murka alam (Arendt, 2009: 629). Karena itu, masa ire yang adalam dalam rangkai upcara reba ini merupakan upaya untuk meredahkan murka alam dan Pengusa jagat raya atas kehidupan manusia.
Pemahaman masyarakat Ngada terhadap alam sebenarnya sangat luhur. Hal ini dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa alam khususnya tanah memiliki keluhuran didalam dirinya karena ada penjaganya, hal ini diketahui dari ritus-ritus yang sering dilakukan orang Ngada sebagai bentuk penghormatan kepada alam yang menjadi tempat dan sumber bagi kelangsungan hidup manusia di dunia ini.
Bibliografi
Arendt, Paul, 2009. Masyarakat Ngada. Terjemahan: Paul Sabon Nama. Ende: Penerbit Nusa Indah Ende.
Riyanto, Armada. 2013. Menjadi-Mencintai. Yokyakarta: Penerbit Kanisius.
Dhogo, Cristologus. 2009. Su’i Uwi. Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Fernandes, Stephanus Ozias. 1990. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu Dan Kini.Maumere: STFK Ledalero.
Lihat Juga
Delfinus Dhobu ()