
Dalihan Na Tolu (Batak Toba: Hal tatanan sosial hidup Batak Toba)
Tatanan hidup kemasyarakatan Batak Toba di dasarkan pada Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu secara etimologi berasal dari kata Dalihan berarti tungku dari batu, Na artinya yang dan Tolu berarti tiga. Maka Dalihan Na Tolu artinya adalah tiga tiang tungku. Ketiga tiang itu ditata sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain, tingginya sama dan harmonis satu sama lain. Di atas tungku itulah di letakkan periuk atau kuali (Gultom 1992: 52). Biasanya tungku ini berada di tengah-tengah rumah, sehingga menjadi pusat rumah (Antonius 2015: 137). Demikian jugalah seluruh kehidupan Suku Batak Toba didasarkan pada Dalihan Na Tolu.
Ketiga kaki tungku itu mengibaratkan tatanan sosial kemasyarakatan orang batak yang disebut Dalihan Na Tolu. Ketiga kaki itu melambangkan struktur sosial masyarakat Batak Toba, yaitu kelompok dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Nama dari setiap kelompok mengisyaratkan fungsinya masing-masing. Dengan demikian satu kaki tungku mempresentasikan kelompok dan fungsi dongan sabutuha, yaitu orang yang satu marga dengan fungsi yang sama. Kaki kedua mempresentasikan kelompok dan fungsi hula-hula, yaitu kumpulan beragam marga asal para isteri dari orang semarga. Kaki ketiga mempresentasikan kelompok dan fungsi boru, yaitu kumpulan beragam marga suami dari perumpuan semarga. Ketiga struktur dan fungsi sosial tersebut menjadi pilar tatanan sosial kemasyarakatan batak (Situmeang 2007: 205).
Dalam adat batak yang mengambil peranan sebagai tungku adalah suhu, hula-hula dan boru. Ketiganya merupakan pribadi yang mempunyai peranan, hak, kewajiban dan harga diri dalam melaksanakan tanggung jawab tertentu. Kedudukan boru tidak lebih rendah dari hula-hula dan sebaliknya. Oleh karena itu hula-hula tidak dapat bertindak sesuka hati kepada boru, namun hendaknya hula-hula elek marboru artinya, hula-hula menyayangi borunya. Hal itu karena boru memiliki peranan penting dalam sebuah pesta yang diselenggarakan oleh hula-hula. Perlu ditekankan bahwa boru tidak dapat bersikap manja kepada hula-hula, oleh karena dia selalu disayangi. Boru harus menaruh hormat pada hula-hula, yang dalam prinsip orang batak disebut “somba marhula-hula” artinya setiap boru dengan sepenuh hati harus menghormati hula-hula. Suhut merupakan penyelenggara sebuah acara oleh karena itu ia menjadi pusat. Yang masuk dalam kelompok suhut adalah penyelenggara utama acara dan teman semarganya (dongan sabutuha). Hubungan antara suhut dengan teman semarganya harus memegang teguh prinsip “manat mardongan tubu” (bersikap hati-hati dan menaruh rasa prihatin di antara mereka).
Dalihan Na Tolu yang menjadi struktur sosial atau tatanan hidup masyarakat batak telah menjadi sebuah hukum yang mengatur kedudukan, hak, dan kewajiban, sikap dan perilaku, urutan sebuah kegiatan, batasan, perbuatan baik, ugahari, sistem kekerabatan, silsilah, peristiwa adat, musyawarah, dan sebagainya. Ini adalah bentuk usaha para tetua batak dahulu untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Ketiga kelompok tersebut tidak dapat terpisahkan satu sama lain, tidak dapat berjalan sendirian dan tidak hidup sendirian. Ketiganya selalu berinteraksi dan berinterelasi, selaras, seimbang dan kokoh.
Dalihkan Na Tolu telah dilakukan sejak dahulu oleh leluhur Batak dan sekarang masih berlaku dan dilaksanakan oleh kami para keturunan batak. Dalihan Na Tolu menjadi tatanan sosial dan fungsi sosial yang tertata rapi telah memberikan ruang gerak kekerabatan kepada setiap individu untuk menampilkan dirinya. Sistem kekerabatan yang ada mendorong setiap individu bergaul dengan sesamanya. Sistem kekerabatan telah menjadi kunci untuk masuk dalam pergaulan dengan yang lain. Misalnya saja ketika ada pertemuan antara berbagai marga, kita dapat menempatkan diri sesuai dengan kedudukan berdasarkan Dalihan Na Tolu (Situmeang 2007: 221).
Pendekatan kepada orang lain menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda. Penguasaan dan penyesuaian sikap sangatlah penting dalam hidup bermasyarakat. Sebuah prinsip orang batak mengatakan “pantun do hangoluan, tois do hamagoan” artinya bahwa sopan santun membawa seseorang menikmati hidup bahagia dan sikap angkuh akan membawa seseorang ke dalam malapetaka.
Karena itu, sikap hati-hati (manat) kepada kawan semarga, hormat (somba) kepada hula-hula dan elek (bujuk rayu) kepada boru merupakan amanat panduan. Individu-individu itu akan menampilkan sikap yang berbeda menghadapi kerabat yang disebutkan di atas. Dia tidak akan bersikap sembarangan kepada setiap orang, melainkan memilih dan menyesuaikan sikap yang patut dan pantas. Oleh karena itu leluhur batak sejak dahulu menghendaki agar keturunannya menampilkan tata sapa, tata sikap dan tata laku yang baik dalam hidupnya. Itu bukti manusia yang beradat dan berbudaya.
Suhut, Hula-hula dan Boru adalah yang mengambil peranan dalam sistem Dalihan Na Tolu. Mereka saling berelasi dan berinteraksi sesuai dengan fungsi, hak dan kewajibannya masing-masing. Namun dalam relasi ini yang ditekankan bukanlah relasi subyek-obyek yang saling menaklukkan seperti konsep Sartre (Riyanto 2011: 97). Sesungguhnya relasi antara suhut, hula-hula dan boru adalah relasi yang berdasarkan cinta. Cinta mendorong mereka untuk mengambil peranan sesuai dengan fungsi, hak dan kewajibannya dalam adat. Relasi ini menciptakan keteraturan dalam adat, andaikata suhut, hula-hula dan boru saling memandang sebagai sesuatu yang absurd atau saling menolak kehadiran yang lain maka sistem kemasyarakatan batak tidak akan berjalan dengan baik. Keteraturan dalam masyarakat Batak Toba disebabkan oleh Dalihan Na Tolu.
Bibliografi
Antonius, Bungaran Simanjuntak, 2015. Karakter Batak Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Gultom, Rajamarpodang, 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Armanda.
Riyanto, Armada, 2011. Aku Dan Liyan Kata Filsafat Dan Sayap, Malang: Widya Sasana Publication.
Situmeang, Doangsa P.L., 2007. Dalihan Na Tolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta: Percetakan Dian Utama.
Lihat Juga
Rudianto Situmorang ()