Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Martonggo raja (Batak Toba: Hal musyawarah)


Orang batak sebelum melakukan adat pertama-tama mereka martonggo raja. Martonggo raja adalah musyawarah yang dilakukan oleh kawan semarga. Hal yang dibahas dalam martonggo raja adalah terkait adat. Semua adat yang akan dilakukan oleh orang batak pertama-tama harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, baik secara intern di antara keluarga dekat maupun meliputi keluarga yang diperluas.

Dahulu martonggo raja dilakukan di partungkoan (tunggul atau pangkal pohon yang tertinggal dalam tanah). Partungkoan jaman dahulu diadakan di bawah pohon beringin yang rimbun. Pada waktu tertentu , tua-tua semarga atau beberapa marga bertemu di tempat saling berbagi informasi kejadian di kampungnya masing-masing. Dalam martonggo raja akan dibahas dan dirundingkan perilaku adat yang akan dilaksanakan oleh sesama mereka dalam suatu wilayah tertentu. Namun sekarang orang batak tidak lagi melakukan musyawarah di partungkoan melainkan di gedung dan rumah.

Sebelum memulai tonggo raja, akan diungkapkan perkataan ini “aek godang do aek laut, dos ni roha do sibahen na saut” artinya kesepakatan hati atau kesatuan hati membuat sesuatu telaksana degan baik. Ungkapan ini menunjukkan bahwa hasil dari tonggo raja merupakan nilai yang tinggi dalam setiap adat. Ini juga ingin mengatakan bahwa setiap orang hendaknya menyumbangkan ide atau pendapat dalam tonggo raja demi terlaksananya kepentingan bersama (Yunus 1984: 21).

Peserta dari tonggo raja adalah anggota keluarga inti dan dari luar. Apabila tonggo raja diadakan untuk pernikahan, maka peserta akan terdiri dari dongan sabutuha, boru dan dongan sahuta. Apabila tonggo raja terkait dengan kematian, maka peserta ditambah dengan pihak hulal-hula. Semua aspek dari adat yang akan diselenggarakan merupakan rancangan dari keluarga inti yang dibahas ulang dan ditetapkan.

Daslam martonggo raja akan diangkat atau dipilih seseorang sebagai juru bicara (raja parhata). Dalam tonggo raja sebutan bagi raja parhata diganti menjadi parsinabul yang artinya sama dengan pengacara. Tonggo raja adalah peristiwa atau acara yang sangat penting bagi orang batak karena berkaitan dengan adat. Karena itu tonggo raja harus dilakukan dengan baik yaitu raja parhata yang ditunjuk harus benar-benar mengerti adat terutama mengerti tentang hak dan kewajiban adat yang diberlakukan. Raja parhata tidak boleh berasal dari keluarga yang berhajat, harus di luar keluarga yang bersangkutan. Perilaku ini sebagai bukti kebersamaan orang-orang batak yang satu marga. Pada waktu martonggo raja akan juga dipilih panise (penanya) untuk memulai pembicaraan. Panise ini berasal dari dongan sabutuha.

Pada waktu martonggo raja diadakan, hak setiap peserta sudah mulai diwujudkan dengan apa yang lajim disebut jambar hata (hak bersuara). Hak bersuara itu dipakai untuk menanggapi, memberi pendapat, saran dan kritik sekitar peristiwa adat yang akan diselenggarkan. Semua pembicaraan dipandu oleh orang kedua dari yang berhajat. Hak bersuara diberikan kepada setiap peserta kecuali bila ditolak atau dialihkan kepada orang lain. Hak bersuara adalah hak adat tertinggi dari semua jenis hak adat lainnya.

Seandainya tonggo raja yang diadakan untuk membahas pernikahan putra tuan rumah, maka pada saat itu kawan semarga yang hadir akan memberikan bantuan yang disebut dengan gugu (konstribusi). Gugu tersebut merupakan hak tuan rumah dan kewajiban kawan semarga. Boru yang hadir, juga akan memberikan bantuan yang dinamai tumpak (sumbangan). Perilaku ini merupakan satu contoh bagaimana hak dan kewajiban semarga diamalkan berdasarkan kebersamaan (Situmeang 2007: 172-174).

Gambaran yang dilukiskan dalam musyawarah ini adalah gambaran kebersamaan, persaudaraan dan persahabatan yang penuh dengan solidaritas. Masyarakat batak sadar bahwa mereka hidup dengan yang lain atau mereka berada dalam societas. Mereka sebagai societas mendasarkan diri pada kepentingan bersama dan mengutamakan solidaritas (Riyanto 2011: 89). Persahabatan dengan yang lain itulah yang ditunjukkan dalam musyawarah ini. Persahabatan sejati adalah saling memperhatikan, menghormati, berbagi dan tolong menolong (Riyanto 2013: 112). Persahabatan bukan berdasarkan saling menguntungkan yang menghitung kerugian yang keluar (Riyanto 2011: 114). Orang batak yang memberikan bantuan pada saat tonggo raja tidak akan pernah menghitung-hitung bantuan yang telah diberikan. Mereka juga tidak akan pernah menghitung-hitung kerugian saat penyelenggaraan adat tersebut. Mereka dengan semangat persaudaraan dan solidaritas tulus menolong.

Orang batak yang akan mengadakan perhelatan namun terbentur oleh biaya yang kurang tidak akan mengalami persoalan yang serius. Kehadiran keluarga dan teman semarga selalu membatu mereka. Keluarga dan teman semarga dalam bahasa filsafat dapat kita sebut sebagai hadirnya yang lain sebagi sahabat. Kehadiran sahabat membuat seseorang tidak kekurangan apa pun. Persahabatan adalah oase yang menyegarkan (Riyanto 2013: 112). Itulah yang ditunjukkan dalam musyawarah yang dilakukan oleh orang batak. Setiap orang menyumbangkan ide, tenaga, dan sumbangan dalam berbagai bentuk. Orang batak mempertontonkan sikap yang tidak sibuk dengan diri sendiri tetapi terlibat dalam solidaritas dan kesetiakawanan. Mereka mau membuka tangan dan hati untuk kehadiran orang lain (Riyanto 2013: 166). Orang batak dalam musyawarah senantiasa menggumuli kebaikan, persaudaraan, kedamaian sehingga mereka hidup dalam tatanan hidup yang lebih baik dan beradab (Riyanto 2013: 89). Persahabatan orang batak dalam musyawarah adalah persahabatan yang berdasar pada solidaritas dan cinta.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Riyanto, Armada, 2011. Aku Dan Liyan Kata Filsafat Dan Sayap, Malang: Widya Sasana Publication.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius.

    Situmeang, Doangsa P.L., 2007. Dalihan Na Tolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta: Percetakan Dian Utama.

    Yunus, Ahmad, 1984. Ungkapan Tradisional Daerah Sumatera Utara, Jakarta: Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan.


    Lihat Juga

    Dalihan Na Tolu (Batak Toba: Hal tatanan sosial hidup Batak Toba)  Martarombo (Batak Toba: Hal menelusuri silsilah)  Ritual Pangungkapon Taun Partanoon (Batak Toba: Ritual sebelum mengolah sawah dimulai dengan cangkulan pertama) 

    Oleh :
    Rudianto Situmorang ()