Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Martarombo (Batak Toba: Hal menelusuri silsilah)


Dalam masyarakat Batak Toba Martarombo adalah cara untuk menelusuri siapa berada dalam setiap generasi, berapa orang bersaudara, siap yang tertua berdasarkan urutan kelahiran, nomor generasinya dan siapa saja keturunannya. Martarombo memberikan jawaban tentang hubungan sesama anggota marga dan menetapkan panggilan yang tepat yang akan dipakai. Dengan demikian tatanan persaudaraan dalam ruang lingkup semarga dapat berjalan dengan teratur dan tertib.

Namun untuk dapat martarombo seseorang harus memiliki tarombo (daftar asal-usul leluhur). Alasan inilah yang mendorong orang batak memiliki kebiasaan untuk menuliskan asal-usul leluhurnya. Tulisan itu atau daftar asal usul itu disebut tarombo. Setiap orang batak memiliki tarombo. Daftar itu memuat nama anggota keluarga yang berasal dari seorang leluhur. Semua keturunan leluhur tersebut dicatat dari generasi ke generasi termasuk cabang-cabangnya. Tarombo mencakup garis keturunan laki-laki dan perumpuan atau hanya satu saja tergantung kebiasaan masyarakat tersebut. Orang batak menganut paham patrilineal atau garis ayah, maka dalam tarombo orang batak hanya mencakup garis keturunan laki-laki (Situmeang 2007: 93).

Tarombo memampukan orang batak untuk martarombo. Kebiasaan martarombo ini dilakukan ketika bertemu atau berkenalan dengan sesama orang batak. Sesama orang batak yang berkenalan memiliki kebiasaan martarombo (menelusuri posisi dalam silsilah keturunan nenek moyang) melalui martutur (menentukan relasi sosial sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu). Kebiasaan ini menentukan posisi masing-masing pihak dalam struktur hubungan kemargaan. Dengan demikian orang batak bisa menempatkan posisi dalam struktur sosial (Antonius 2015: 152).

Penguasaan atau pemahaman yang kurang sempurna tentang tarombo akan menimbulkan masalah ketika yang bersangkutan ingin menyelenggarakan perhelatan. Seseorang yang tidak mengetahui tarombo leluhur atau keluarganya tidak akan mendapat tanggapan dari masyarakat. Dia dianggap sebagai batak dale artinya tidak mengenal identitas diri atau disebut orang yang tersesat. Oleh karena itu setiap orang batak hendaknya belajar dan menelusuri tarombonya. Posisinya akan jelas dan pasti dalam percaturan pergaulan anggota marga yang bersangkutan dan statusnya tidak akan dipertanyakan. Petuah batak mengatakan “ndang mago sukun-sukun” artinya bertanyalah. Setiap orang batak harus berani dan mau bertanya kepada orang tua akan tarombo mereka.

Sebuah kritik atas orang batak yang tidak mengenal tarombonya dikisahkan dalam sebuah cerita ini. Pada suatu waktu seorang suami yang sudah lanjut usia meninggal dunia. Menurut adat kebiasaan paman harus memberikan ulos saput (kurang lebih sama seperti kain kafan). Namun orang yang telah meninggal tersebut selama hidupnya tidak pernah bergaul dan mengunjungi paman tersebut dengan alasan tidak tahu bahwa itu adalah pamannya. Orang ini disebut orang hilang (jolma na mago). Namun si paman tahu kewajibannya sebagai pengayom dan harus memberikan ulos saput, maka ketika di akhir kata penghiburan yang diberikan si paman mengatakan “on pe huboto na tulang ni na mate do au hape.” Artinya, baru hari ini saya tahu bahwa saya adalah paman orang mati.

Dengan demikian martarombo membantu seseorang untuk menetapkan dan meletakkan garis keturunan dan garis kekerabatan. Tarombo bukan sekadar daftar nama dan generasi, tetapi memiliki dampak yang positif untuk menjadi keteraturan dan ketertiban pergaulan hidup masyarakat batak (Situmeang 2007: 95). Orang batak yang kehilangan atau tidak memiliki tarombo hendaknya membuat tarombo dengan bertanya kepada tetua-tetua dari marganya. Peranan penting dari tarombo adalah sebagai warisan kepada generasi selanjutnya agar mereka dapat mengetahui asal-usul keberadaannya.

Martarombo adalah sebuah tindakan etis yang harus dilakukan oleh setiap orang batak. Apabila seorang batak tidak mampu martarombo dan lupa tarombonya maka dia disebut lupa identitas diri. Kita dapat memperhatikan bahwa setiap orang batak ketika bertemu dengan kenalan baru (khusunya sesama batak) akan menyebutkan nama lengkap. Menyebutkan nama lengkap (marga) adalah sangat penting untuk memulai martarombo. Marga membantu seseorang untuk menarik garis keturunan leluhur dari awal hingga akhir. Tanpa marga rasanya martarombo tidak dapat dilaksanakan. Marga mengambil peranan penting dalam martarombo. Sikap martarombo atau bersilsilah ini kiranya mau mengatakan bahwa setiap orang dalam bergaul harus mengenali identis orang yang menjadi teman bergaulnya.

Martarombo pertama-tama menunjukkan kesadaran identitas dan kesadaran sosiologis yaitu manusia bagian dari sosietas. Ini berbeda dengan konsep filosof Yunani yang mengatakan bahwa kesadaran merupakan perjalanan manusia menggapai kebenaran (Riyanto 2011: 25). Mengenali identitas yang lain ingin mengatakan bahwa setiap orang harus memiliki kesadaran akan yang lain. Kesadaran ini memungkinkan seseorang menjadi subyek atas dirinya sendiri sehingga kehendak dan keputusan menjadi milik sendiri. Kesadaran akan subjektivitas ini menjadi syarat untuk melakukan tindakan manusiawi. (Riyanto 2013: 99). Maka dengan martarombo orang akan sadar akan dirinya dan akan yang lain. Sehingga orang tersebut mampu menentukan sikap yang manusiawi kepada yang lain. Misalnya menentukan kekerabatan yang tepat, panggilan yang akan digunakan, dan perilaku etis yang harus dilakukan pada orang lain. Orang yang tidak sadar akan diri dan yang lain tentunya tidak akan mampu bertindak etis atas yang lain. Misalnya kita akan bersikap berbeda ketika bertemu dengan uskup atau orang yang memiliki jabatan tertentu. Sikap ini muncul karena kita sadar siapa saya dan siapa yang lain.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Antonius, Bungaran Simanjuntak, 2015. Karakter Batak Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

    Riyanto, Armada, 2011. Aku Dan Liyan Kata Filsafat Dan Sayap, Malang: Widya Sasana Publication.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius.

    Situmeang, Doangsa P.L., 2007. Dalihan Na Tolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta: Percetakan Dian Utama.


    Lihat Juga

    Dalihan Na Tolu (Batak Toba: Hal tatanan sosial hidup Batak Toba)  Martonggo raja (Batak Toba: Hal musyawarah)  Ritual Pangungkapon Taun Partanoon (Batak Toba: Ritual sebelum mengolah sawah dimulai dengan cangkulan pertama) 

    Oleh :
    Rudianto Situmorang ()