
Tradisi adat pantakng ( Dayak Ribun kalimantan barat, Desa Kampuh, Kec. Bonti, Kab. Sanggau: pantang)
Adat pantakng adalah adat yang rutin dilaksanakan oleh subsuku dayak ribun dalam setiap tahunnya. Adat ini merupakan warisan leluhur yang tidak pernah mereka lupakan, terutama Masyarakat Desa Kampuh, Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, adat pantakng ini dilaksanakan untuk mengusir roh-roh jahat.
Dalam melaksanakan adat ini para kampung bergotong royong untuk mempersiapkan Bahan-bahan yang akan dipersiapkan untuk pantakng. dalam hal ini Buber ingin menunjukan bahwa manusia itu adalah makhluk yang berelasi atau manusia yang berkomunikasi (bdk. Ryanto 2011:20). Dengan cara bekerja sama. Bekerjasama untuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan dibawa ketempat ritual.
Bahannya terdiri dari satu ekor babi yang dipotong menjadi 7 bagian, ayam jantan dan ayam betina, tuak 1 tempayan, arak 3 liter, telur 4 biji, bohah pelumang (beras ketan) 2 kg, beras kampung 2 kg, bambu munte dan sepuluh batang lemang. Selain itu peralatan adat pantakng terdiri dari 1 tail (8 buah mangkok adat), rengkatan/ tukeng (tempat sirih) kopi 2 kg, gula 5 kg, daun seludang dari pinang, daun saboaang, daun tebu, daun poteh, ngarok, ntomu (beras campur kunyit) daun kelapa, dan longo (buah bunga) (Linda, 2008: 84).
Sehari sebelum pelaksanaan ritual, warga kampung akan membuat pondok beratapkan terpal tepat di depan rumah yang mengadakan adat pantakng itu. Adat pantang ini merupakan bagian dari keseimbangan ekologis. Selama masa pantang dilakukan kita tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh pergi kehutan (Bdk. Anyang 2011:33). Di sinilah terlihat bahwa manusia sangat menghargai mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Terutama terhadap alam itu sendiri. Manusia dipanggil untuk mengadakan dan membangun relasi dengan bumi.
Adat pantakng ini dilaksanakan ketika hari beranjak sore. Prosesinya dimulai dengan membuat ancok (tempat sesaji) sebanyak 4 buah. Lalu keempat ancok itu dibawa kepondok, diisi dengan beragam macam bahan yang telah dipersiapkan ketika sebelum adat dimulai. Dan bahan tersebut sudah dibacakan mantra-mantra. Dipondok itu juga dibangun tempat untuk menyimpan kain, tempurung, ayau, bakul, dan beragam jenis lainnya.
Prosesi berikutnya adalah menentukan pantakng (larangan dalam bahasa setempat). Ketentuan pantakng ini dilakukan sebelum keempat ancok di antarkan ke beberapa tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat. Saat momen ini masyarakat Desa Kampuh akan berbondong-bondong datang kelokasi pelaksanaan adat pantakng itu. Mereka ingin mengetahui pantakng apa saja yang tidak boleh dilakukan selama ritual berlangsung. Dalam bahasa setempat pengumuman pantankng ini disebut dengan pomu sinyayo kubiyek ngan pohis. Mengingat pentingnya sesi ini, masyarakat dengan rela menunggu hingga berjam-jam lamanya.
Menurut salah seorang Pomang (dukun) Desa Kampuh, ketentuan adat Pantakng ini berlaku selama 4 hari 4 malam. “Pantangnya tidak boleh keluar masuk keluar kampung, membawa sayur rebung, pakis, dan daging pekasam,” ujar Acin. Kalau ada masyarakat yang melanggar pantang tersebut, maka akan dikenakan sanksi adat yang lebih besar lagi. Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat setempat akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, terutama bagi mereka yang melanggar pantang (Linda, 2011:84).
Sebagai bentuk dukungan terhadap adat itu, jauh-jauh hari masyarakat sudah mempersiapkan kebutuhan rumah tangganya seperti sayur-mayur dan lauk-pauknya. Setidaknya, segala kebutuhan itu mereka sudah siapkan untuk kebutuhan selama empat hari ke depan. Baru selepas berpantang masyarakat boleh keluar masuk kampung atau menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Ketika pantang sudah ditentukan, prosesi berikutnya adalah mengantarkan 4 ancok itu. Saat mengantarkan ancok, beberapa warga akan dibagi berdasarkan jumlah ancok itu. Ada yang bertugas mengantarkan ke sungai, awal dan ujung kampung, serta tempat keramat lainnya. Sepulang dari mengantarkan ancok, akan dilanjutkan dengan ritual memanggil semangat orang-orang kampung.
Prosesi memanggil semangat ini dilaksanakan di pondok yang telah disediakan khusus untuk buatkan ritual, dan diikuti semua warga. Sesudah itu, 7 potong babi dibagikan kepada warga secara merata kepada semua warga kampung yang hadir. Pembagian babi ini bermaksud agar semua warga kampung selamat dari mara-bahaya, terhindar dari segala gangguan, dan tidak mengalami berbagai kesulitan dalam berumah tangga.
Hingga kini, tradisi adat pantakng (pantang), masih terus dilestarikan oleh masyarakat adat Dayak Ribun, Desa Kampuh. Bagi mereka, tradisi harus tetap ditegakkan demi terciptannya masyarakat yang aman, damai, rukun, dan tentram. Masyarakat yang damai, rukun, aman dan tentram itu adalah masyarakat yang cinta dengan kehidupan. Cinta tidak hanya pada sesama manusia, tapi juga cinta terhadap semua makhluk yang ada di bumi ini.
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjaga dan melestarikannya. Demikian juga dengan adanya tradisi Pantakng yang sudah dilakukan oleh Dayak Ribun. Hal itu merupakan bentuk cinta dan penghormatan Mereka terhadap alam. Agar alam yang menjadi rumah kita ini, menjadi rumah yang nyaman dihuni dan ditempatkan sebagai keberlangsungan hidup.
Kini, kerusakan Alam berada dalam ranah yang sangat mengawatirkan. Alam lantas memiliki perspektif kedirian yang harus didengarkan. Alam memiliki nilai, suara, bisikan, dan kearifan yang harus digali dan disimak (Riyanto, 2013:31). Kepekaan terhadap alam dalam sejarah hidup manusia itu sangat penting. Alam adalah ibu dari hidup manusia.
Ritual pantakng adalah senjata penghormatan manusia Dayak kepada Alam. pantakng segala hal itu salah satu dari diri manusia untuk menahan diri untuk tidak menguasai alam dengan sesukanya. Sehingga Adat Pantakng merupakan bagian dari keseimbangan.
Lihat Juga
Borremius Buyono ()