Sadama (Dayak Bakati Kalimantan Barat, Bahasa Bakati: Orang Tua)
Sadama dalah suatu tempat yang keramat dan sakral, di mana tempat tersebut terdapat patung-patung kecil yang berbentuk manusia yang terbuat dari kayu yang disebut pantak. Sadama tersebut adalah nama tempat atau nama tanah itu sendiri. (Bahari, 1997:33) berdasarkan dari sumber yang didapat mengatakan bahwa, pantak yang dikenal dalam masyarakat dayak atau suku dayak berarti patung yang mengandung spritual. Di lokasi sadama tersebut jarang dikunjunggi oleh orang-orang kampung. orang-orang kampung mengunjungi tempat tersebut ketika ada diantara pengurus adat yang bermimpi atau pun ada situasi gawat (perang) maka orang-orang kampung akan datang ke sana untuk meminta perlindunggan.
Di tempat asal saya yaitu di Dusun Lamolda, Desa Baremada, Kecamatan. Lumar, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, terdapat sebuah tempat keramat yang disebut Sadama. Tempat Sadama ini adalah tempat yang paling sakral dan dilindungi oleh umat yang ada di Baremada. Karena di sana terdapat panglima yang paling kuat, panglima dayak yang ada di Baremada. Hal inilah yang membuat Masyarakat Dayak menganggap tempat tersebut sebagai tempat yang angker.
Lokasi Sadama terdapat di kawasan rimba belantara dan tempatnya sangat angker. Di kawasan lokasi Sadama tersebut dilarang untuk melakukan berbagai aktivitas manusia seperti menebang pohon, berburu, dan aktivitas lainnya. Pemberlakuan larangan beraktivitas di lokasi sadama ini sangat relevan dengan konservasi hutannya, karena di dalamnya terdapat kekayaan keanekaragama hayatinya, serta suatu pernghormatan secara khusus juga ada di tempat tersebut, sehingga hal inilah yang membuat sadama ini terkesan sakral dalam kepercayaan Masyarakat Dayak Bakati’.
Di tempat tersebut juga kita tidak boleh mengucapkan kata-kata yang sembarangan seperti mengeluh “aduh” atau pun kata” a’adek” (suatu bentuk makian yang terucap dalam celetukan) karena akan berakibat fatal. fatalnya adalah kita akan sakit, dan sulit untuk diobati. Maka dalam hal ini perlu menjaga dengan baik pembicaraan maupun kata-kata yang keluar dari mulut kita. Untuk mengobatinya maka yang kita lakukan adalah berobat kampung (biasanya pergi ke tempat dukun kamppung yang dipercayaai dapat menyembuhkan penyakit tersebut) atau balenggang/bari (merupakan sebuah cara pengobatan yang menggunakan kekuatan dari roh-roh halus, hal itu biasanya dilakukan dengan memanggail roh-roh tersebut dengan cara menari sembari berteriak kecil yang disebut dengan tariu). Dengan tujuan untuk meminta maaf atas kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan.
Sadama yang terdapat pada pantak tersebut juga bisa menolong masyarakat Dayak Bakati untuk memberkati hasil panen. Hal tersebut dilakukan lewat doa-doa yang dilakukan oleh para penatua-penatua adat. Karena masyarakat menganggap hubungan arwah leluhur dengan keturunannya secara spritual (rohani) berlangsung terus-menerus, tidak terikat dengan ruang dan waktu (Julipin, 1997: 38).
Di daerah sadama tersebut merupakan tempat para panglima tinggal. Tugas mereka tidak hanya berperang ketika ada perang, tetapi mereka juga menjaga kampung dan wilayah hutan tersebut. Agar pohon-pohon dan hasil bumi yang tumbuh di tempat tersebut tidak diambil oleh orang dengan sembarangan. Hal ini serupa dengan seruan Paus kita, Paus Fransiskus mengenai alam saat ini. Di mana ia memandang alam itu sebagai saudari yang sekarang sedang menjerit dan menderita akibat kerusakan yang dialami begitu hebat. (Bdk. Laodato Si, 2015:1).
Pada masa zaman Belanda dan Sultan di Kabupaten Sambas. Sultan Sambas pernah pergi melewati tempat Sadama itu, mereka mengejek-mengejek dan mengolok-olok pantak tersebut serta memukul kepala pantak itu. Ketika dalam perjalanan pulang ke Sambas dengan menggunakan perahu. Perahu mereka terbalik dan tengelam di sungai (sungai Ledo). Tuannya itu tenggelam dan meninggal. Sehingga tempat dimana tempat dia tenggelam tersebut diberinama Pangkalant Tuan (orang kampung memanggilnya Tuan).
Pantak kalau dipandang secara sekilas memang tidak ada artinya bagi orang lain. Tetapi bagi Masyarakat Dayak Bakati pantak itu sangat dihormati dan dihargai. Karena di dalamnya terdapat roh-roh para leluhur yang masih bisa berkomunikasi dengan anak-anak cucunya melalui tradisi-tradisi. Salah satunya melalui ritual Nyabakng (ritual upacara adat menutup siklus tahun perladangan yang lama dan membuka tahun perladangan yang baru), dan ritual yang lain-lainnya.
Sesuai dengan kepercayaan terhadap adanya kehidupan kekal, maka masyarakat yakin bahwa para leluhur yang ada di dalam pantak tersebut selalu melindunggi dan menjaga kehidupan masyarakat Dayak Bakati (Bdk. Bahari1997:35). Dan itu terbukti sampai saat ini. masyarakat tetap damai dan alam tetap terjaga kelestariannya. Hal itu karena penghormatan terhadap tanah leluhur diwariskan kepada masyarakat, dan di pandang sebuah harta yang tak ada duanya.
Penghargaan yang diberikan Nenek Moyang kepada kita, itu harus dihormati, dijaga dan dilestarikan (Sutadi, 2011:269). ini menunjukan bahwa kebersamaan dengan alam, keheningan menjadikan mereka mapu menyerap getaran alam. Salah satunya dengan menghormati dan menjaga alam. Sadama adalah bagian dari tanah dan tempat pelestarian hutan oleh masyarakat Dayak Bakati yang ada di Baremada. Selain itu juga kebudayaan dan adat istiadat tetap terjaga dan terlestarikan (Bdk. Flourus, 1994: ix). Semua itu sangat penting, kelestarian alam dan budaya yang dimiliki adalah bagian dari hidup sebagai manusia Dayak Bakati.
Alam semesta yang hidup memiliki kemampuan menata diri sendiri dan mengatur diri sendiri. Artinya alam tidak dapat diatur oleh manusia, tetapi alam diatur oleh dirinya sendiri. Karena alam itu adalah ibu bagi manusia. (Bdk.Sutadi, 2011:265). Manusia hanya bisa dan dapat mengambil apa yang sudah disediakan oleh alam. Sadama yang menjadi tempat yang angker dan sakral tersebut merupakan hukum alam. Agar manusia dapat menghargai alam dan segala mahluk yang hidup di dalamnya.
Bibliografi
Andasputra, Nico Dkk, 1997., Mencermati Dayak Kenayatn. Pontianak :Institute of Dayakology Research and Development.
Dr. Phang, Benny dan Dr. Valentinus (edt), 2011., Minum Dari Sumber Sendiri Dari Alam Menuju Tuhan (dlm. Art. Dr. Lourensius Sutadi tentang “Lingkungan Hidup dalam Pertemuan Teologi Global dan Teologi Lokal”). Malang: Filsafat Teologi Widyasana.
Florus, Paulus dkk, 1994., Kebudayaan Dayak Akulturasi dan Transformasi. Jakarta: PT Grasindo.
Harun, Martin, 2015., ENSIKLIK LAODATO SI’ Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. Jakarta : Obor.
Lihat Juga
Borremius Buyono ()